Selasa, 22 Juli 2008

Black Campaign dan Black Magic Woman

T. WIJAYA
Black Campaign dan Black Magic Woman

SAYA tergelitik membaca artikel milik seorang kawan di koran terbitan Palembang, mengenai adanya kampanye hitam atau black campaign di dunia internet, terutama di situs video www.youtube.com, selama proses Pemilukada Sumsel 2008-2013.
Menurut saya, teman itu cukup benar, dan tentu saja yang membacanya tidak harus mendengarkan Black Magic Woman punya The Offspring buat mencari kebenaran dari pemikirannya.
Namun, saya ingin memberikan sedikit pemikiran, yakni apa yang dimaksud dengan black campaign? Dan, apa perbedaannya dengan pembongkaran track record yang memang dibutuhkan public buat menilai seorang calon pemimpin?
Saya ingin menyodorkan persoalan, apakah ketika anak Soeharto yakni Mbak Tutut mau maju sebagai calon presiden, tiba-tiba media massa atau lawan politiknya membongkar semua persoalan yang menyangkut perilaku politik atau ekonominya di masa lalu, disebut sebagai tindakan black campaign?
Saya katakan itu bukan black campaign, tapi sebuah usaha membongkar masa lalu seorang calon pemimpin. Track record seorang calon pemimpin sangatlah penting buat dibongkar, sebab perilaku masa lalu seseorang jelas akan memengaruhi karakternya ke depan. Pemilihan presiden Amerika Serikat, misalnya, selalu melahirkan “pelacak” buat membongkar sekecil apa pun perilaku calon pemimpinnya yang dinilai negative.
Oleh karena ketatnya “pelacakan” ini, di Amerika Serikat seorang calon pemimpin sudah disiapkan sejak remaja. Segala perilakunya dijaga. Bukan di Indonesia, seorang penjahat dapat dilupakan begitu saja kejahatannya.
Tapi, bagaimana kalau informasi yang diungkap tidak ada kebenarannya? Maka, itu yang dimaksud dengan black campaign atau dalam bahasa moralnya disebut fitnah, dan di muka hukum dapat diproses sanksinya.
Jadi, menurut saya black campaign itu adalah sebuah pengungkapan negative tentang seseorang tanpa ada bukti atau tidak mendasar. Misalnya saya dikabarkan menerima sebuah mobil dari seorang calon kepala daerah sebagai sogokan. Kalau itu benar, itu merupakan catatan buruk saya seandainya mau maju sebagai calon anggota dewan. Saya jangan dipilih. Berdasarkan fakta itu saya adalah sosok yang gampang disogok. Skeptisnya, kalau saya sudah menjadi anggota dewan, pasti setiap ada kesempatan saya akan menerima sogokan.

Tameng Politisi Busuk
Saya sangat setuju dengan himbauan banyak pihak agar para calon tidak menggunakan cara-cara yang buruk dalam bersaing, termasuk melakukan black campaign. Sebab jangan dalam berebut kursi kekuasaan, dalam kehidupan sehari-hari saja kita dilarang—berdosa dan sanksi hukum—bila melakukan hal tersebut.
Namun, saya sangat mengkhawatirkan, jargon black campaign ini justru digunakan para penjahat atau politisi busuk buat menutupi boroknya di masa lalu. Misalnya iklan Wiranto beberapa waktu lalu yang memiliki dasarnya, dinilai sebagai black campaign. Atau, seorang juaro yang mau maju sebagai kepala daerah, identitasnya terjaga lantaran dilindungi jargon black campaign.
Misalnya saya dapat saja menuduh seseorang melakukan black campaign lantaran mengungkapkan perilaku saya di masa lalu yang memiliki banyak pacar, terhadap calon istri saya, meskipun itu benar adanya. “Itu tidak benar. Itu black campaign. Itu pembunuhan karakter,” kata saya kepada calon istri itu. “Saya ini wong populer, jadi banyak yang tidak senang dengan saya,” tambah saya.
Jadi, menurut saya, di era kebebasan informasi ini, berseliwerannya banyak informasi merupakan hal yang wajar. Biarkan public yang menilai; mana informasi yang benar dan yang tidak. Jika memang ada informasi yang buruk, tapi tidak mendasar, sebaiknya diproses secara hukum.

Akses Informasi
Justru yang berbahaya pada proses Pemilukada Sumsel ini yakni soal akses informasi yang macet. Setiap pihak menutupi atau menghalangi informasi yang dibutuhkan public.
Kalau akses informasi ini macet, maka public akan mendapatkan semua data atau informasi yang tidak benar atau tidak lengkap. Data atau informasi yang masuk akan dipenuhi dengan kebohongan atau ketimpangan. Dampaknya public akan salah menilai seorang calon kepala daerah. Nah, kalau ada sesuatu yang lain pada pemimpin ini, public pun akan kecewa dan menyesal.
Contoh ini mungkin dapat kita temukan pada actor politik yang menjadi anggota dewan. Saya percaya saat memilih mereka, public tidak mengetahui lebih banyak dan luas mengenai sosok mereka. Ya, seperti kata orang itu, membeli kucing dalam karung. Nah, sekarang mari kita nikmati Black Magic Woman yang ditembangkan The Offspring, yang tidak ada hubungannya dengan black campaign. (*)

Kamis, 17 Juli 2008

Helmy Yahya Hadir, Golput Berpikir Ulang

T. WIJAYA
Helmy Yahya Hadir, Golput Berpikir Ulang

DARI sejumlah pemilihan kepala daerah di Sumatra Selatan dalam tahun 2008 ini, angka golongan putih alias golput yakni orang-orang yang tidak menggunakan hak suaranya cukup tinggi. Rata-rata 30 persen. Bahkan, saat pemilihan kepala daerah Palembang periode 2008-2013, yang dimenangkan Eddy Santana Putra-Romi Harton, suara golput nyaris mencapai 40 persen. Maka, tidak heran, pemilihan gubernur Sumatra Selatan periode 2008-2013 jauh-jauh hari diprediksi sejumlah kalangan akan dipenuhi suara golput.
Namun, prediksi besarnya suara golput mungkin akan mengalami penurunan. Sebab kehadiran Helmy Yahya sebagai calon wakil gubernur Sumatra Selatan yang diusung PDI Perjuangan, PKS, PPP, dan sejumlah koalisi parpol kecil, membuat para golput berpikir ulang dengan sikapnya.
“Terus-terang, saya ini mau mengambil sikap golput dalam pemilihan gubernur Sumsel nanti, seperti saat pemilihan walikota Palembang kemarin. Tapi, setelah tahu Helmy Yahya maju, serta mendengar sejumlah pemikirannya melalui beberapa seminar dan talkshow di kampus, radio, dan tv, saya mungkin akan memilih dia,” kata Zulkarnain, seorang pelaku bisnis IT di Palembang, dalam sebuah perbincangan.
Menurut Zulkarnain, Helmy Yahya yang sebelumnya dikenal sebagai selebritis ternyata memiliki visi dan misi pembaharuan dalam karakter pemerintahan di Sumatra Selatan. Misinya dalam memperbaiki sumber daya manusia Sumatra Selatan, khususnya kaum muda, membuatnya tergugah. “Dia sangat tepat mengatakan bahwa selain ilmu pengetahuan, anak muda sekarang harus memiliki mental yang bagus. Sebab tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” kata Zulkarnain.
Sementara Vera Kurniawan, seorang pegawai sebuah perusahaan jasa komunikasi seluler, mengatakan dia tertarik dengan Helmy Yahya lantaran dia orang muda. “Saya melihat pada sosok Helmy ada keinginan perubahaan. Karier dan karya-karyanya menunjukkan hal itu. Bukan tidak mungkin kemampuannya dalam manejemen dan promosi dapat ditularkan saat dia mengelola birokrat nanti,” katanya.
Baik Zulkarnain maupun Vera, menilai tiga nama lainnya sebagai calon pemimpin Sumatra Selatan yakni Syahrial Oesman yang akan didampingi Helmy Yahya, maupun pasangan Alex Noerdin dan Eddy Yusuf, bukan sosok yang memberikan “harapan”. Kenapa? “Mereka itu kan birokrat sejati, orang lama, jadi sulitlah mereka diharapkan mau melakukan perubahan, apalagi mengerti keinginan orang muda,” kata Zulkarnain.
Bukankah Helmy Yahya berpasangan dengan Syahrial Oesman? “Ya, memang demikian. Tapi, nanti kan ada pembagian tugas. Harapan saya, Helmy dapat memengaruhi pemikiran Syahrial Oesman dalam memimpin Sumsel bila mereka terpilih,” kata Zulkarnain.

Anak Muda dan Ibu-Ibu
Selain kelompok golput, yang diperkirakan adalah kelompok kelas menengah, kehadiran Helmy Yahya yang merupakan anak orang miskin—bapaknya seorang ustad dan pedagang kaki lima di Pasar 16 Ilir—yang sukses mengembangkan dirinya sebagai seorang pengusaha dunia hiburan di Jakarta, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Berdasarkan beberapa kali kunjungan Helmy Yahya di sejumlah daerah, seperti di pasar dan kampung, Helmy Yahya banyak dikurumi anak-anak muda dan para ibu atau perempuan.
Bahkan, layaknya selebriti, ada sejumlah ibu-ibu yang nekad mencari kediaman Helmy Yahya di kawasan Jakabaring, Seberang Ulu, Palembang, hanya untuk berfoto bersama.
“Helmy persis anak aku yang tertua, sekarang merantau ke Batam. Aku mimpi nian anak aku itu bisa sukses seperti Helmy. Kami ini juga keluarga miskin, seperti orangtua Helmy. Ya, mana tahu kami dapat berkahnya,” kata Sri Sulastri (58), warga Kertapati, yang akhirnya berhasil menemui Helmy Yahya di kediamannya di Jakabaring buat berfoto bersama.
Tidak semua warga Palembang optimistis dengan kehadiran Helmy Yahya, sejumlah kalangan praktisi politik dan akademisi, menilai Helmy Yahya diragukan mampu memimpin Sumsel. “Dia kan seorang pengusaha dunia hiburan. Manajemen pemerintahan dan dunia hiburan itu berbeda. Saya ragu dengan kemampuannya dalam memimpin Sumsel,” kata seorang dosen dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang, yang tidak mau namanya disebutkan.
Menurut dosen pendidikan ini, masyarakat Sumsel harus jeli dan hati-hati menilai calon pemimpinnya ke depan.

Terhadap kritik ini, dalam sebuah wawancara dengan sebuah radio swasta di Palembang, Sonora FM, beberapa hari lalu, Helmy mengatakan dirinya memang belum berpengalaman menjadi pemimpin sebuah instansi pemerintah, meskipun dirinya pernah tercatat sebagai pegawai negeri di Jakarta. “Tapi, dengan modal niat saya buat kepentingan publik, mungkin saya akan dengan cepat mengerti manejemen sebuah pemerintahan,” kata selebriti yang mendapatkan beasiswa pendidikan dari sekolah dasar hingga menyelesaikan S2-nya di Amerika Serikat, serta menjadi pelajar teladan tingkat Sumatra Selatan maupun nasional itu. *

Foto: Helmy Yahya dikurumi ibu-ibu pengajian dalam sebuah kunjungannya ke kampung kelahiran orangtuanya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan (Foto: Istimewa)

Senin, 14 Juli 2008

Sekilas Kerukunan Agama di Palembang

T. WIJAYA
Sekilas Kerukunan Agama di Palembang

SELAIN Aceh, Palembang merupakan daerah awal penyebaran Islam di nusantara. Buktinya, Raden Fatah atau Raden Hasan, merupakan pemimpin besar Islam pada masanya yang berasal dari Palembang. Selain itu, pada abad ke-18, Palembang menjadi pusat pendidikan sastra Islam di Nusantara dengan tokohnya Abdul Somad Al-Valembani. Bahkan, Palembang pernah dikuasai oleh kesultanan Palembang memilih ideologi Islam sebagai tuntunan hukumnya yakni di masa Kesultanan Palembang Darussalam
Nah, apakah selama hukum Islam berkuasa di Palembang, para pemeluk keyakinan lain dilarang atau dimusnahkan dari Palembang? Pertanyaan ini memang tidak gampang menjawabnya. Tetapi, berdasarkan catatan sejarah belum pernah ada aksi kekerasan oleh kaum muslim terhadap kelompok nonmuslim, seperti halnya yang kita rasakan di sejumlah daerah selama ini.
Bahkan, para petinggi VOC, yang kebanyakan nonmuslim atau gelombang pelarian warga Tiongkok di awal abad 20, hadir dengan keyakinannya tanpa pernah diganggu kaum muslim di Palembang. Semuanya berjalan damai.
Bukti keselarasan antarumat beragama ini, misalnya dapat kita temukan hingga hari ini di berbagai keluarga maupun kampung di Palembang.

10 Ulu
Kampung 10 Ulu merupakan kampung yang berada di tepi sungai Musi. Sebelum dibangun jembatan Ampera yang mulai beroperasi tahun 1965, 10 ulu merupakan kampung yang harus dilalui warga dari utara Sumatra bila ingin menyeberang ke pulau Jawa.
Saya mengenal kampung ini ketika saya bersahabat dengan almarhum Koko Bae, seorang perupa yang juga penyair.Rumah Koko Bae berada persis di depan Klenteng Kwan Im, yang selalu ramai dikunjungi para penganutnya.
Yang menarik, di rumah milik Koko Bae yang panjangnya sekitar 40 meter itu hidup dengan damai sejumlah keluarga dari berbagai keyakinan agama. Koko Bae dan keluarganya memeluk agama Islam, keluarga adiknya memeluk agama Katolik, sementara orangtuanya beragama Budha. Mereka tidak memiliki persoalan dalam melaksanakan ritual atau melakukan komunikasi. Selalu rukun dan damai.
Bila Natal, rumah itu dipenuhi warga yang merayakan Natal. Idul Fitri, rumah itu dipenuhi orang yang merayakannya. Bahkan, selama bulan puasa, tidak jarang adik Koko Bae yang beragama Katolik membangunkan saur atau sebaliknya, saat berbuka puasa, dia memberikan makanan.
Ternyata, kehidupan rukun beragama dalam satu rumah ini, bukan hanya pada keluarga Koko Bae. Sejumlah keluarga lainnya di 10 Ulu juga berlangsung hal yang sama.
Di sisi lain, Klenteng Kwan Im yang berada di muka rumah Koko Bae, juga banyak dikunjungi warga muslim. Kenapa? Sebab di belakang klenteng itu terdapat makam seorang pemuka agama muslim, yang mana sering diziarahi kaum muslim maupun yang memeluk agama Budha. Tidak di situ saja, sebuah langgar atau masjid kecil yang berada di tepi sungai Musi, masih di 10 Ulu, pembangunannya dibiayai oleh pihak klenteng.
Di Palembang hubungan harmonis antarpemeluk agama ini bukan hanya di 10 Ulu, di kampung lain pun hal itu berlangsung. Banyak keluarga muslim bertetangga dengan keluarga nonmuslim. Mereka hidup harmonis. Tidak sedikit di antara mereka menjalin hubungan keluarga yang lebih jauh, seperti pernikahan atau membangun usaha bisnis secara bersama.
Hubungan harmonis antarpemeluk agama di Palembang memang sudah terbangun berabad-abad lalu. Prinsip mereka, antarpemeluk agama tidak saling mengganggu. Mereka berjalan dengan aktifis ritualnya masing-masing.
Apakah keharmonisan ini akan kita hancurkan? Saya pikir Tuhan menciptakan manusia bukan untuk saling membunuh, justru untuk saling melindungi, dan mengasihi. Dan, saya percaya kondisi yang sama sebetulnya berlangsung di daerah lain di Indonesia. (*)

Foto: Langgar atau masjid 10 Ulu yang terletak di dermaga 10 Ulu, dibangun atas sumbangan pengurus Klenteng Kwan Im (Foto: Zanial Mazalisa)

Sabtu, 12 Juli 2008

Menjaga Alam, Mengabdi Tuhan


T.WIJAYA
Menjaga Alam, Mengabdi Tuhan

“Setiap yang kami lakukan semata untuk Tuhan Yang Maha Esa. Kami menjaga ikan-ikan di laut, menjaga karang-karang di laut, menjaga persaudaraan kami, semata untuk Tuhan,” kata Sandhy Mamalanggo dari komunitas adat Musi, Sulawesi Utara, saat menjelaskan komunitasnya di hadapan 18 perwakilan komunitas adat lainnya, ketika mengikuti workshop di Villa Eden, Kaliurang, Yogyakarta, yang diselenggarakan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) 1-7 Juli 2008 lalu.
“Kami juga demikian. Hampir setiap perilaku kami adalah ritual untuk Tuhan Yang Maha Esa. Mulai dari kelahiran, berladang, hingga kematian,” jelas Mosom dari komunitas adat Dayak.
Seperti gayung bersambut, perwakilan komunitas adat lainnya juga mengakui hal yang sama. “Alam adalah sebuah keseimbangan, perlu dijaga. Manusia harus berperan menjaga keseimbangan itu. Itulah tujuan Tuhan menciptakan manusia,” Emanuel Un Bria dari Lembaga Adat Liuvai Timor.
Hanya, persoalan mulai muncul ketika para investor mulai memasuki tanah adat mereka. “Pada wilayah kami, kini banyak sekali orang asing yang masuk. Mereka mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Dalilnya buat melakukan penelitian, tapi masyarakat resah sebab kondisi laut mulai tidak stabil,” kata Sandhy Mamalanggo.
Sementara Mosom sangat khawatir dengan langkah para investor di Kalimantan, seperti pertambangan dan perkebunan, akan memusnahkan keberadaan komunitas adat Dayak. “Terus-terang kehidupan kami sudah hancur. Kami tidak antipendatang, tapi mereka sudah menghabisi kami. Kami kini mencoba bertahan dengan apa yang tersisa,” kata Mosom.

Tuhan Marah
Mengenai keberadaan Indonesia yang kian terpuruk, para perwakilan komunitas adat itu menilai lantaran pemerintah tidak pernah mendengar suara dari komunitas adat. Misalnya pemerintah terus memberikan ruang yang besar bagi para investor buat mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia, tanpa mempertimbangkan kearifan lokal yang ada.
“Coba kalau pemerintah mendengar apa yang disuarakan komunitas adat, mungkin Indonesia tidak terpuruk seperti sekarang ini,” kata Melvin Katoppo dari komunitas agama Walesung, Sulawesi Utara.
Adapun yang harus didengar pemerintah dari komunitas adat, kata Melvin, yakni kepercayaan atau sistem komunitas adat dalam mengelola sumber daya alam, serta menghargai sistem atau cara mereka mengabdi Tuhan. “Jangan dirusak dengan cara lain, sehingga kami marah, begitupun alam,” kata Melvin.
Melvin pun mencemaskan adanya sejumlah politikus yang mencoba menyeragamkan budaya dan kepercayaan pada masyarakat Indonesia. Menurutnya, jika ini terus diupayakan para politikus itu, bukan tidak mungkin Indonesia akan bubar. “Tuhan marah,” katanya.
Maka, ke depan, kata Muharam Puang Lolo dari komunitas adat Bissu, Sulawesi Selatan, pemerintah Indonesia harus lebih menghargai keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Menghormati bagaimana mereka memperlakukan alam, dan membangun sistem sosialnya. Jangan mengambil kebijakan yang membuat komunitas adat menjadi rusak atau musnah. Sebab komunitas adat-lah yang masih menjaga keseimbangan alam.

Komunikasi Budaya
Meskipun kecewa, para perwakilan komunitas adat itu masih mempercayai dan mendukung keberadaan Republik Indonesia. Hanya, mereka menginginkan pemerintah Indonesia harus menata ulang konsep pembangunannya. Konsep pembangunan yang berpihak pada kebhinekaan, yang selama berabad-abad telah membentuk kebudayaan nusantara ini.
“Indonesia ini dilahirkan komunitas adat. Komunitas adat lahir jauh sebelum Indonesia lahir. Jadi, kalau pemerintah terus melakukan berbagai kebijakan yang menghancurkan komunitas adat, maka yang hancur adalah negara ini,” kata Hemmy Koapaha dari komunitas adat Minahasa.
Tetapi, menariknya, sambil menunggu perubahan karakter pembangunan yang dijalankan pemerintah Indonesia, ke-19 perwakilan komunitas adat itu sepakat melakukan komunikasi budaya sebagai strategi menyelamatkan keberagaman budaya Indonesia. Bentuk komunikasi budaya yang akan diambil yakni dengan cara mengaktualkan komunitas adat melalui penulisan, foto, dan film, menggunakan media massa maupun internet. Menariknya, penulis maupun pembuat film dilakukan oleh komunitas adat itu sendiri. “Selama ini sudah banyak pihak yang mengaktualkan diri kami, tapi posisi kami hanya sebagai objek. Banyak hal yang belum terungkap seutuhnya,” kata Ikah Kartika dari komunitas adat Karuhun Urang Cigugur.
“Jangan heran dalam beberapa bulan ke depan, meskipun keberadaan kami jauh dari kota, semua orang dapat menyaksikan keberadaan kami melalui internet,” kata Lefmanut dari komunitas adat Tanimbar Kei, Maluku, yang selama sepekan bersama teman-temannya mengikuti workshop penulisan, pembuatan film, serta budaya, guna mewujudkan mimpi tersebut.
Demikianlah Tuhan telah memberi jalan bagi komunitas adat buat menjaga dirinya, dan menyelamatkan Indonesia. [*]

Jangan Seragamkan Kami




T. WIJAYA
Jangan Seragamkan Kami

...KOMUNITAS adat ada sebelum Indonesia lahir, jadi jangan bunuh keberagaman bangsa Indonesia yang dibangun oleh keberagaman komunitas adat. Komunitas adat yang melahirkan Indonesia...
Demikian pernyataan19 perwakilan komunitas adat yang melakukan serangkaian kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) 1-7 Juli 2008 lalu, di Jakarta dan Yogyakarta.
Pernyataan tersebut diambil mereka lantaran melihat ada kecenderungan pemerintah maupun kekuatan politik tertentu di Indonesia, melakukan penyeragaman budaya maupun kepercayaan.
“Contohnya RUU Pornografi dan Pornoaksi itu. Jelas, jika pemerintah mensahkan UU tersebut, keberadaan masyarakat adat akan tergusur. Sebab kami tidak boleh lagi mengenakan simbol kebudayaan lokal lantaran dinilai berbau porno,” kata Calvin Mansoben, perwakilan dewan pembina adat dari Papua.
“Selain itu, UU tersebut juga akan membuka peluang bagi para investor buat mengeksploitasi sumber daya alam yang selama ini dijaga komunitas adat. Artinya, jika komunitas adat hilang, investor akan mudah masuk. Selama ini perlawanan investor yang mengeksploitasi sumber daya alam adalah komunitas adat,” lanjutnya.
Sementara Hemmy Koapaha, perwakilan komunitas adat Minahasa, menambahkan kehancuran juga akan terjadi pada keberagaman agama tradisional yang sudah tumbuh selama ratusan tahun di Indonesia. “Agama-agama yang belum diakui pemerintah Indonesia ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sebelum datangnya agama dari luar seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, Konghocu. Jadi, kami mohon nian pemerintah membatalkan rencana pembuatan UU tersebut,” katanya.
Lalu, bagaimana dengan kecemasan sebagian masyarakat Indonesia dengan fenomena pornografi yang tengah tumbuh di masyarakat? “Itu merupakan kegagalan negara. Sebab selama rezim Orde Baru, ada upaya penyeragaman. Akibatnya, ketika ada arus budaya luar yang masuk, masyarakat tidak memiliki pilihan. Saat mau pulang ke budaya asal, mereka tidak tahu. Ya, terima saja yang masuk,” kata Ina Soselisa, pendamping komunitas adat Maluku.
“Sebenarnya banyak kearifan lokal yang tumbuh dari komunitas adat yang mampu menjaga masyarakat dari pengaruh luar, tapi kenapa justru menggunakan budaya luar buat menjaga pengaruh budaya luar yang lain, kemudian membuat peraturan yang justru mengancam keberadaan komunitas adat. Menurut kami, masyarakat Indonesia harus kembali mengangkat akar budayanya, yang lahir dan tumbuh dari komunitas adat,” ujarnya.

Gerakan Budaya
Adapun komunitas adat yang mengikuti kegiatan bertajuk Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Komunitas-Komunitas Adat adalah Dayak Siang (Kalimantan), Dayak Ma’Anyan (Kalimantan), Kejawen/Kebudayaan Jawa (Yogyakarta), Cirendeu (Jawa Barat), Cigugur (Kuningan-Jawa Barat), Kajang (Sulawesi Selatan), Talotang (Sulawesi Selatan), Bissu (Sulawesi Selatan), Musi (Sulawesi Utara), Malesung (Sulawesi Utara), Talaud (Sulawesi Utara), Sonafnaineno (NTT), Lopo Timor (NTT), As Manulea (NTT), Tanimbar Kei (Tual-Maluku), Naulu-Seram (P. Seram-Maluku), Sawang (Belitung), Dewan Adat Papua (Sorong, Wamena, Jaya Pura), serta Anak Rimba (Jambi).
Mereka sepakat guna mempertahankan Indonesia yang berdiri atas keberagaman budaya dan kepercayaan ini, hanya melalui gerakan kebudayaan. “Kita menolak segala bentuk kekerasan. Biarkan orang lain menggunakan kekerasan, kita pilih cara yang damai, seperti yang diajarkan para leluhur kita dulu,” kata Emanuel Un Bria dari Lembaga Adat Liuvai Timor.
Adapun gerakan kebudayaan yang disepakati ke-19 komunitas adat itu antara lain yakni memperkenalkan kembali identitas mereka ke masyarakat Indonesia dan dunia. Caranya melalui tulisan, foto, dan film. “Bedanya dari yang sebelumnya, kali ini kami sendiri yang menulis, membuat foto, dan membuat filmnya,” kata Gumirat Barna Alam dari komunitas adat Karuhun Urang, Cigugur, Jawa Barat.
Sebelum mengikuti workshop penulisan, kebudayaan, dan film, di Kaliurang, Yogyakarta, para perwakilan komunitas adat ini menyempatkan diri menyampaikan aspirasi penolakan mereka terhadap RUU Pornografi ke anggota DPD, serta DPR RI, yakni Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Golkar, di Jakarta. Di sini, para perwakilan komunitas adat sempat mengancam memisahkan diri dengan Indonesia apabila RUU Pornografi disahkan sebagai UU.
Selanjutnya mereka berdialog dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta, dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas di Kaliurang. Setelah acara, mereka mengunjungi komunitas adat Sedulur Sikep atau yang dikenal sebagai komunitas Samin di Pati.
Menurut Erwan Suryanegara, salah satu fasilitator workshop kebudayaan, keberagaman budaya di nusantara ini sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan penelitiannya, kebudayaan Pasemah yang berada di sepanjang Bukitbarisan merupakan bukti nusantara ini memiliki kebudayaan yang beragam, egaliter. “Meskipun sama-sama mengakui keberadaan Tuhan, tapi cara mengungkapkannya berbeda-beda. Artinya, sama tapi berbeda. Jadi, sangat penting jika saat ini mempertahankan keberagaman yang membentuk karakter budaya Indonesia,” katanya. (*)