Oleh T.WIJAYA
PENYAIR itu adalah manusia yang mampu mengendalikan kegilaannya melalui kata-kata. Maka penyair yang berhasil yakni penyair yang sangat gila, tapi juga sangat cerdas mengontrol kegilaannya. Intinya, penyair merupakan perpaduan orang gila dan orang jenius.
Mereka yang bermodalkan kecerdasan tapi tidak gila, yang terjun ke dunia kepenyairan akan gagal menjadi penyair. Mereka cenderung menempatkan dirinya sebagai orang pintar yang berharap mampu menciptakan penyair atau membunuh penyair. Mereka ini biasanya menjadi redaktur media massa, penggiat sastra, atau menjadi pengamat sastra.
Mereka yang gila tapi tidak cerdas, akhirnya juga gagal menjadi penyair. Mereka justru menjadi benalu bagi kepenyairan. Mereka berperilaku seperti penyair, tapi tidak menghasilkan apa pun. Mereka ini mampunya mengatakan dirinya penyair yang besar. Kemampuan mereka turut meramaikan sebuah diskusi atau komunitas. Jika kegilaan tidak terkontrol, mereka benar-benar lepas dari dunia sebenarnya. Setidaknya mereka menjadi pengacau dan merusak citra penyair di tengah masyarakat.
Mengapa Gila?
Gila di sini dimengerti sebagai sesuatu di luar kewajaran imajinasi manusia umumnya. Imajinasi yang liar, yang masuk ke dalam ruang-ruang gelap, menghentak, berputar-putar, bersetubuh dengan sunyi yang dingin, merupakan kanal yang harus dijalani penyair sepanjang waktu. Hanya kelelahan yang membuatnya berhenti. Tapi itu batasnya tidak jelas. Pada akhirnya dia akan menemukan berbagai benturan nilai. Mulai dari ruang Ketuhanan, sejarah benda-benda, ideologi, biografi angin, cinta, air, api, dan akhirnya dia menangis atau marah besar ketika seseorang mengatakan, “Aku mampu membelikanmu pakaian.”
Bagi seorang penyair kalimat seperti itu merupakan penghinaan yang paling dalam. Dia berpikir, orang lain telah menilainya dengan selembar pakaian. Hanya dengan selembar pakaian, dirinya dinilai orang merupakan sosok yang harus ditolong, atau orang yang lemah. Pernyataan itu pun menghancurkan berbagai keyakinan—begitu pun diyakini penyair—bahwa manusia itu sama. Dinilai dari jiwanya bukan dari pakaian yang dikenakannya.
Jadi tidak heran, kegilaan ini membuat banyak orang sulit berkomunikasi dengan penyair. Termasuk di lingkungan keluarga si penyair. Mereka setiap saat mengejutkan, sulit ditebak. Namun, justru sosok penyair seperti itu, yang membuat banyak orang menemukan sesuatu yang unik, baru, sehingga sering memberikan kesenangan atau kebahagiaan tersendiri. Tepatnya, kegilaan yang memberikan jutaan daya tarik.
Mengapa Cerdas?
Kalau tidak cerdas, tentu saja penyair akan gagal sebab dirinya tidak mampu mengelola kata dengan disiplin yang tinggi. Penyair dituntut mampu membaca, menyimak, dan menterjemahkan kata yang menjadi lambang dari penandaan yang dilakukannya atas dunia rupa, bunyi, yang berseliweran begitu cepat di sekitarnya. Dia harus teliti memilih kata, sehingga mampu menjadi pusat dari gambaran yang ingin disampaikan, sehingga puisi atau sajak yang lahir itu benar-benar memberikan ruang yang luas bagi orang menikmatinya; penuh kejutan, indah, benar, dan merangsang.
Dan, hanya kecerdasanlah yang mampu memfasilitasi kerja yang dilakukan penyair tersebut.
Ini artinya menjadi penyair itu sama serius seperti orang menjadi filsuf, dokter, insinyur, pemuka agama, atau profesi lainnya. Dia juga harus melakukan tahapan-tahapan ilmiah; seperti survei, menganalisis dan terus mencoba dengan berbagai hal yang baru. Bahkan, penyair itu kerjanya tampak lebih berat lagi, sebab tahapan ilmiah itu juga harus dikemas dalam keliaran atau kegilaannya dalam berimajinasi.
Hari Ini?
Saya menulis persoalan penyair ini, karena saya membaca hari ini atau kekinian lahirnya penyair tidak banyak yang mengejutkan. Biasa saja. Sama seperti kelahiran adanya polisi baru, pegawai negeri baru, atau sarjana baru. Puisi semata dijadikan formalitas bagi persyaratan atas identitas tersebut. Puisi bukan menjadi tanda dari sebuah karya penyair sebenarnya yakni gila yang jenius. Tidak ada usaha yang sungguh-sungguh, atau tidak ada yang betul-betul berbakat atau memiliki potensi penyair sebenarnya.
Kenapa ini terjadi? Penyair yang lahir lantaran kontradiksi kebudayaan dan sosial, terkalahkan oleh penyair yang lahir dari proyek-proyek kebudayaan yang membosankan atau menjenuhkan. Artinya, puisi yang lahir dari keindahan di Pagaralam, kekumuhan di sepanjang sungai Musi, jauh terbuang dibandingkan oleh puisi-puisi yang lahir dari lomba-lomba penulisan puisi; yang mana puisi yang diikutsertakan mengalami banyak campur tangan ideologi dan rasa, seperti keinginan guru, orangtua, dan terakhir para juri.
Bahayanya, puisi-puisi seperti ini mendapat dukungan jejaringan sosial dan politik yang cukup besar, seperti pemerintah, media massa, penerbit, dan organisasi kebudayaan. Benarkah? Saya hanya memberikan jawaban pada teks-teks puisi yang kita baca di buku-buku, koran, majalah, internet, dan lainnya. Adakah yang mengejutkan? Memberikan ruang buat merenung seluasnya? Masyarakat justru sering terhentak, merenung, dengan kata, rupa, bunyi dari sebuah peristiwa kriminalitas atau dongeng dari televisi, seperti Ryan membantai puluhan pasangan gay-nya.
Jadi, saran saya, jika tidak memiliki kegilaan dan jenius jangan menjadi penyair, sebab akan menjadi persoalan bagi proses kebudayaan Indonesia. Ambilah ruang-ruang lain, yang saya percaya membutuhkan banyak manusia. [*]
Minggu, 26 Oktober 2008
Penyair
Diposting oleh T. Wijaya di 10.07 2 komentar
Sabtu, 25 Oktober 2008
Kumpulan Sajak AKU DIMARAHI ISTRI
SALAM bahagia kawan-kawan. Dalam waktu dekat ini, saya akan meluncurkan kumpulan sajak terbaru. Judulnya "Aku Dimarahi Istri". Berbeda dari kumpulan sajak sebelumnya, "Krisis di Kamar Mandi" (1995) dan "Dari Pesan Nyonya" (1996), atau novel "Juaro" (2005) dan "Buntung" (2006) dalam bentuk cetakan, kumpulan ini kali dalam bentuk CD, dan ke-10 sajak ditampilkan dalam bentuk video slide foto. Tujuan dari penyebaran sajak dalam bentuk CD sebagai usaha memperluas ruang bagi apresiasi terhadap sajak, khususnya sajak-sajak saya. Sehingga kata dapat berbaur dengan rupa, bunyi, sebab kata itu sendiri rupa dan bunyi, lalu bunyi dan rupa adalah kata. Adapun ke-10 sajak itu Aku Dimarahi Istri, Saya Berhenti Menggergaji Batu, Angka Pancasila, Meninggalkan Surga Sebagai Manusia, Cinta 2011, Aku Mencuci Pakaian Anakku, Aku Sangat Serius Menyintaimu, Oi Melayu. Akulah Sungai Musi., Bapak, Aku Ingin Menjilat Dengkulmu, dan Aku Tetap Menjaga Cinta Itu.
Sebagian sajak itu sudah ditampilkan di blog www.sajakdigital.blogspot.com, tapi kumpulan ini ada sesuatu yang lebih istimewa akan saya berikan kepada Anda. Bagaimana mendapatkan kumpulan sajak ini? Sebagai biaya ganti produksi, dan apresiasi Anda, Anda dapat mengirimkan biaya sebesar Rp15.000 per keping CD di luar biaya ongkos kirim. Bagaimana memesannya? Kontak saya ke e-mail taufikwijaya2002@yahoo.com atau wijayataufik@gmail.com. Demikianlah, semoga kabar ini merupakan kabar baik, dan berguna bagi kehidupan kita. Terima kasih. Salam bahagia.[*]
Diposting oleh T. Wijaya di 09.10 0 komentar
Kamis, 02 Oktober 2008
Pengemis pun Tak Tahan Panas
SEPEKAN menjelang lebaran kota Palembang diserbu para pengemis. Mereka selain keliling kampung dan perkantoran, juga memenuhi jalan-jalan dan lampu merah di Palembang. Panasnya kota Palembang membuat orang Palembang menjadi kegerahan, tidak terkecuali pengemis yang mangkal di depan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), Jalan Merdeka, Palembang, ini. Meskipun mengemis, payung buat menghalau panas tetap penting.
Diposting oleh T. Wijaya di 09.48 3 komentar
Sampah dan Masjid Agung
SETIAP kali slat Id di masjid Agung, Palembang, yang paling sibuk adalah pekerja kebersihan kota. Kenapa? Merekalah yang bertugas membersihkan lokasi salat, baik di dalam masjid, halaman masjid, maupun di ruas-ruas jalan, lantaran sampah koran yang digunakan warga buat melapisi sajadah mereka. Dan, saat salat Id tahun 2008, tugas mereka kian berat. Sebab hujan yang mengguyur Palembang saat salat Id dilaksanakan, menyebabkan sampah koran itu menjadi basah. Menjadi bubur kertas. Para petugas kebersihan ini harus ekstra keras membersihkannya.
Diposting oleh T. Wijaya di 09.40 0 komentar
Lamunan Orang Gila pada Lebaran Pertama
TIDAK semua orang merayakan Idul Fitri, selain orang bukan beragama Islam atau orang gila. Seperti orang gila di simpang Jakabaring, Palembang, ini, saat lebaran Idul Fitri hari pertama (1/10/2008). Pada saat orang sibuk bersilahturahmi ke rumah kerabat dengan pakaian baru dan makanan enak, orang gila ini justru duduk melamun. Matanya menatap jauh ke depan, kosong. Mungkin, seseorang berbisik padanya, "Ayolah pulang, temui keluargamu!"
Diposting oleh T. Wijaya di 09.24 2 komentar