Sabtu, 17 Januari 2009

Dicintai No, Kemenangan Yes

Oleh T. WIJAYA

MENJELANG Pemilu 2009, di sejumlah daerah di Indonesia, jutaan orang maju sebagai calon wakil rakyat. Ada yang dikenal maupun tidak dikenal. Pertarungan kian sengit, ketika Pemilu 2009 ini memungkinkan orang menang meskipun nomor urutnya jelek, sebab ditentukan suara terbanyak. Maka dapat dipastikan mereka bertekad memenangkan pertarungan, bukan semata mencari pengalaman. Jadi, tidak mengherankan bila ada calon yang berprinsip seperti ini, "Saya bukan ingin dicintai, melainkan ingin menang."

Sepintas pernyataan tersebut cukup mengejutkan dan mengherankan. Namun, bila menelisik pemikiran seorang filsuf asal Italia pada abad pertengahan, Niccolo Machiavelli (1469-1527), pemikiran aktor politik itu cukup cerdas dan benar. Melalui buku miliknya, Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menyimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara politik dan moralitas, apalagi terkait dengan soal cinta dan mencintai.

Tepatnya, Machiavelli mencampakkan jauh-jauh aspek moral dan etika dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan. Meskipun pada 1559, Paus melarang peredaran buku Il Principe, pemikiran itu sangat memengaruhi para penguasa maupun politikus di Eropa saat itu.

Dalam pandangannya, seorang penguasa semestinya hanya berorientasi pada kekuasaan, dan hanya mematuhi aturan yang akan membawa kesuksesan politik. Penguasa harus kikir dan kejam dalam menghukum, tanpa belas kasihan.

Intinya, lebih baik menjadi penguasa yang ditakuti daripada dicintai. Bahkan, kata Machiavelli, kebaikan bisa mengakibatkan kejatuhan. Inti ajaran politik dari Il Principe adalah penguasa harus tidak segan-segan menipu guna mempertahankan kekuasaan.

Kunci kemenangan

Beranjak dari prinsip dasar pemikiran Machiavelli tersebut, saya memiliki sejumlah saran kepada para calon kepala daerah untuk memenangkan pertarungan politik itu. Saran-saran ini, seperti diajarkan Machiavelli, tidak boleh dilihat dari sisi moral atau etika.

Pertama, seorang calon harus mengeluarkan berbagai kebohongan sehingga publik menjadi senang atau memiliki mimpi soal kesejahteraan dirinya. Janjikan apa yang terkait dengan penderitaan atau persoalan yang dialami publik. Bila perlu, gunakan jargon-jargon agama sebagai jaminan janji tersebut. Tentunya harus dicari dalil-dalil agama sebagai penguat sehingga janji itu tampak meyakinkan.

Kedua, bila ada publik, kelompok, atau perorangan, yang mencoba membusuki atau diperkirakan dapat menghambat kemenangan, sebaiknya ditanggapi dengan kekerasan. Misalnya teror, intimidasi, pemukulan, bahkan bila diperlukan ancaman membunuh sehingga kekuatan yang menghambat itu menjadi ketakutan.

Ketiga, bila si calon memiliki banyak dana--baik hasil simpanan maupun sponsor dari pihak lain--sebaiknya melakukan penyuapan ke berbagai unsur. Agar suap itu efektif, sebaiknya diimbangi dengan teror agar prinsip ambil uangnya soal memilih nanti dulu, tidak terwujud.

Saya percaya, bila ada calon yang menjalankan prinsip tersebut ia akan terpilih. Apalagi, saat ini kondisi sebagian masyarakat Indonesia berada dalam 'kebingungan nilai'. Sebuah masyarakat yang setiap hari mengalami kontradiksi; otak memikirkan surga, tapi mulut memakan buntang atau kotoran.

Yang harus diingat, publik tidak akan pernah puas dengan apa yang diberikan pemimpinnya. Publik selalu akan menilai apa yang belum diberikan, dan menepiskan apa yang telah diberikan. Pemimpin yang selalu memikirkan kepentingan publik atau mengedepankan moral dan etika, secara historis kekuasaannya tidak langgeng.

Tapi, yang sebaliknya, yang menjalankan prinsip politik seperti dalam Il Principe, ia akan merasakan nikmatnya merebut atau mempertahankan kekuasaan. Simak saja perjalanan sejarah seperti Firaun, Napoleon Bonaparte, Benito Mussolini, Stalin, Hitler, Mao, Polpot, para raja Sriwijaya, Majapahit, atau kerajaan di nusantara pada masa lalu. Atau mungkin juga seperti beberapa nama pemimpin Indonesia masa lalu.

Bagaimana kalau seorang calon tidak menggunakan tiga cara itu atau memusuhi pemikiran Machiavelli? Saya pikir mereka akan kalah. Misalnya ia jujur bahwa dirinya sulit mewujudkan lapangan pekerjaan, memberantas korupsi, menggratiskan fasilitas publik, kemudian diam saja ketika namanya dijelekkan lawan politiknya, diam saja ketika spanduk, poster, baliho miliknya dihancurkan lawan politiknya. Atau ia mengharap massa pendukungnya membiayai sendiri saat menghadiri kampanye dirinya, seperti membeli kaos, makanan, transportasi, dan sebagainya.

Saya percaya memang masih ada yang memilih atau memberikan dukungan kepada aktor politik seperti itu. Tapi, kalau ingin menang, saya pikir sulit sekali diwujudkan. Apalagi aktor demokrasi yang ada saat ini, seperti yang disimpulkan para peneliti Demos (LSM Indonesia yang melakukan penelitian soal aktor demokrasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir), semuanya dalam keadaan mengambang alias demokrat mengambang, tidak membumi.

Artinya, sebagai aktor demokrasi mereka tidak memiliki alat produksi, tidak memiliki massa yang terikat dan tidak memiliki akses ekonomi dan politik yang meluas. Aktor demokrasi yang ada saat ini, masih sebatas aktor 'wacana'. Sehingga seperti yang pernah disinggung Gus Dur, negara ini pun menjadi 'negara wacana'.

Tidak percaya? Coba hitung berapa anggota legislatif atau senator dari kalangan aktor demokrasi yang dipilih rakyat dalam Pemilu 2004 lalu. Mereka kalah dari seorang mantan pegawai negeri, mantan pengusaha, mantan preman, bahkan seorang ibu rumah tangga. Bila pun kekalahan itu lebih disebabkan adanya politik uang, itu membuktikan mereka benar-benar mengambang.

Tiga usulan saya itu akan gugur bila para calon kepala daerah yang bertarung bukan semata buat meraih kekuasaan, melainkan sebagai ajang pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Sehingga dirinya dicintai rakyat sebagai pemimpin, meskipun tidak duduk sebagai wali kota, bupati, gubernur, maupun presiden.