Minggu, 21 September 2008

Mengaku Bersalah



T. WIJAYA
Mengaku Bersalah

TEWASNYA puluhan orang saat antri zakat beberapa waktu lalu, mengejutkan banyak pihak. Termasuk para pimpinan negara ini. Mereka pun berteriak, dan mencari pihak yang bersalah. Semuanya menangkis, dan menjawab bukan sebagai pihak yang bersalah.
Saya tidak terkejut. Sungguh, saya tidak terkejut. Sebab setiap hari kemiskinan di Indonesia melahirkan pertunjukkan teater yang benar-benar mengejutkan, dan sulit dijangkau dengan akal moral. Kemiskinan membuat banyak janda menjadi pelacur, membuat orangtua menjual anaknya, menjadi jongos di negeri orang, merampok, mencuri, membunuh secara berantai, dukun penipu, ulama penipu, pedagang penipu, pejabat korupsi, politikus pemeras, hingga aktifis proyek kemanusiaan dan lingkungan.
Saya justru terkejut jika masih ada orang yang menjaga harga dirinya meskipun miskin atau serba kekurangan. Anehnya, orang-orang seperti ini akhirnya dikatakan naif, bodoh, tolol, atau sok suci.
Lalu, fakta tersebut kemudian dilihat dari sisi moralnya, yang mengatakan pelacur berdosa, membunuh berdosa, mencuri berdosa, korupsi berdosa, menipu berdosa. Cara memandang persoalan dari sisi moral ini terlihat dari sikap pemerintah yang banyak “menghimbau”, pemerintah daerah berlomba membuat peraturan tentang pornografi, termasuk pemerintah pusat yang ingin menggolkan UU Pornografi. Benarkah? Yang terjadi justru peraturan moral ini merusak tatanan nilai moral yang sudah terbangun di masyarakat selama puluhan abad. Berbagai kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di nusantara, terutama kawasan timur Indonesia, secara perlahan akan dimakan oleh peraturan berbasis moral ini.
Saya menolak peraturan berbasis moral itu, sebab saya menemukan fakta bahwa setiap warga Indonesia tidak bercita-cita atau berkeinginan menjadi seorang pelacur, perampok, pencuri, maupun penipu. Apalagi, sejak dahulu, para leluhur bangsa ini berdoa dan membangun kebudayaan yang mulia dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Jadi, bagaimana mengatasi persoalan dampak dari kemiskinan tersebut? Bagi saya, satu-satunya cara yakni menemukan dan kemudian menghancurkan penyebab kemiskinan.
Dan, sudah sering disebutkan oleh kita, penyebab kemiskinan global, termasuk di Indonesia, yakni adanya kolonialisasi oleh kekuatan modal, yang kini bukan hanya berada di negara-negara Barat, juga di negara Timur.
Melawan kekuatan modal ini tentunya dengan kekuatan modal juga. Indonesia kaya, dan modal kita banyak. Tapi pengelolaan yang salah, menyebabkan kekayaan itu terbang ke kas kekuatan modal asing.
Sayangnya, di tengah kesadaran melawan kekuatan modal ini, para pemodal asing ini justru sudah melakukan investasi terhadap calon pemimpin di Indonesia, termasuk di daerah. Mereka memodali sejumlah elemen kekuatan demokrasi, seperti media, partai politik, organisasi massa, akademisi, dan perusahaan nasional. Jika mereka menginginkan si “A” menjadi pemimpin, semua kekuatan itu pun bergerak, ditunjang rakyat yang miskin gampang diberi janji yang enak, dan suka yang instan.
Kini, harapan justru kembali kepada kita. Maukah kita terus dijajah, dan melawan para penjajah modal itu? Biarkan hidup kita susah dan miskin pada hari ini, tapi pada masa mendatang semuanya akan jauh lebih baik.
Bukankah ini juga persoalan moral? Ya, tapi ini bukan sebatas pornografi, ini sudah menyeluruh. Bagi saya yang muslim, saya melakukan kesalahan dari semua ajaran Allah yang terdapat pada Alquran. Oleh karena itu, solusinya saya harus masuk Islam lagi, dan belajar Islam secara baik. Mungkin begitu juga dengan mereka yang menyakini berbagai ajaran atau kepercayaan. Modalnya, kita secara bersama mengaku bersalah.
Saya percaya, tidak satu pun ajaran dari Tuhan, baik yang diturunkanNya di Papua, Kalimantan, Sumatra, Jawa, Timur Tengah, Tiongkok, mengenai kesalahan atau kesesatan.
Hanya, yang menyakitkan, musuh kita saat ini terlalu dekat dengan kita, yakni para agen modal asing, yang kulit, wajah, rambut, dan kepercayaannya, sama dengan kita. Marilah terus membaca, mungkin jalan pertamanya.*

0 Comments: