Senin, 29 September 2008

Persetan Kebebasan!



T. WIJAYA
Persetan Kebebasan!

SAAT berusia 15 tahun, saya baru dapat meninggalkan Palembang. Menikmati suasana kota Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Padahal keinginan untuk meninggalkan Palembang sudah muncul sejak usia 9 tahun.
Tidak mudah meninggalkan Palembang itu. Saya harus melawan kemarahan orangtua, meninggalkan bangku sekolah, dan kecemasan-kecemasan dari orang yang saya kenal. Sepanjang perjalanan itu, setiap hari saya harus memberikan waktu buat memikirkan tiga hal tersebut. Kebebasan berupa migrasi itu benar-benar mahal dan melelahkan.
Saat berkesenian, yang dipercaya sebagai wilayah paling bebas, saya mendapatkan banyak hambatan yang kian banyak. Tidak mendukungnya orangtua, macetnya akses publikasi di lokal maupun nasional, tidak mendukungnya pemerintah daerah, kecemasan ekonomi dari orang-orang yang saya kenal, teror opini dari penjaga moral, hingga keterbatasan ruang dan modal untuk mengekspresikan diri. Saya betul-betul merasa di penjara dalam dunia kesenian tersebut.
Saya mencoba melebarkan ruang yang dikatakan penuh kebebasan, yakni wilayah jurnalisme. Ternyata bukan kebebasan yang saya dapatkan, justru saya mendapatkan penjara baru. Mulai dari kebijakan redaksi, teror dari subjek penulisan, teror kebijakan pemerintah, teror penjaga moral, hingga penjara akses komunikasi dengan dunia luar—selain Indonesia—baik terkait kebijakan pemerintah maupun kemampuan berbahasa asing.
Dus, saya mencoba melompat ke wilayah perkawinan. Mimpi saya; saya akan mendapatkan dunia baru, yang akan memberikan ruang buat mengekspresikan kebebasan diri dalam titik radikal sebagai manusia. Eh, lagi-lagi, itu hanya mimpi. Penjara dalam sebuah keluarga ternyata lebih banyak lagi. Mulai dari memenuhi standard atau profesionalisme dalam berkeluarga, etika berkomunikasi dengan keluarga, tetangga, penguasa kampung, hingga norma-norma yang absurd dalam berhubungan seksual termasuk membangun komunikasi seksualnya.
Mendapatkan anak—yang merupakan bagian dari gen saya—saya pun tidak berdaya. Begitu banyak orangtua yang turut campur terhadap anak saya. Mulai dari orangtua kandung saya, mertua, tetangga, dokter, bidan, penguasa kampung, penjaga moral, polisi, aparat pemerintah, hingga lembaga pendidikan. Terhadap anak, saya sebagai pelaksana teknis; penuh batasan yang membuat kebebasan saya kian mengecil.
Bila pun ada yang mengatakan, beberapa karya seni saya banyak yang mempertanyakan, menggugat, atau melawan Tuhan, sebenarnya itu tidak benar. Sebab jangankan untuk melawan Tuhan, ruang buat untuk bersiap-siap melawan saja tidak ada. Dari pagi hingga pagi, misalnya, saya harus mengurusi penjara ekonomi, komunikasi, kesehatan, dan keamanan.
Maka, hari ini, izinkan saya untuk mengatakan: Persetan kebebasan!

SEBENARNYA yang saya lakukan setiap hari, tidak lebih dari seorang fasis. Orang yang sibuk mengurusi subjek lain buat patuh pada aturan. Di jalan raya, saya marah kalau ada orang yang membawa kendaraan tidak mematuhi aturan di jalan raya. Di rumah saya marah dengan anak dan istri saya, bila mereka bertindak tidak sesuai dengan aturan atau kehendak saya. Di masjid, saya memperhatikan orang-orang yang tampak lain aturannya dengan saya, lalu membahasnya dengan mereka yang sama dengan saya. Sementara kantor tempat saya bekerja menginstruksikan saya menghasilkan produk yang intinya memonitoring orang-orang yang tidak patuh dengan aturan. Bahkan, setiap kali bertemu dengan teman-teman, tetangga, keluarga, yang kami bahas mengenai siapa saja hari ini yang telah melanggar aturan, dan mereka yang tampak bebas mengekspresikan dirinya.
Jadi, apakah bekerja memperhatikan, mengatur, menindak, sebuah aturan merupakan kebebasan diri seorang manusia? Jika ya, apakah bedanya saya dengan polisi, presiden, tentara, ulama, hansip, satpam, ketua RT, guru, ketua dewan kesenian, dan preman? Saya tidak mau menjawabnya. Sebab persetan kebebasan!
Kini, saya hanya memikirkan; apakah hingga meninggaldunia nanti, saya hanya disibukan mencari nafkah, mengurusi anak, mengumpulkan harta, membangun komunikasi dengan keluarga, tetangga, dan banyak orang, lalu membiarkan keinginan saya pergi ke pergunungan Alpen, mengunjungi banyak tempat di Nusantara, menyususri tanah Tiongkok hingga ke tanah Mesir hanya sebuah catatan atas keinginan untuk bebas? Seperti biasa, saya pun menjawab entahlah bagi jiwa saya.*

0 Comments: