Sabtu, 12 Juli 2008

Jangan Seragamkan Kami




T. WIJAYA
Jangan Seragamkan Kami

...KOMUNITAS adat ada sebelum Indonesia lahir, jadi jangan bunuh keberagaman bangsa Indonesia yang dibangun oleh keberagaman komunitas adat. Komunitas adat yang melahirkan Indonesia...
Demikian pernyataan19 perwakilan komunitas adat yang melakukan serangkaian kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) 1-7 Juli 2008 lalu, di Jakarta dan Yogyakarta.
Pernyataan tersebut diambil mereka lantaran melihat ada kecenderungan pemerintah maupun kekuatan politik tertentu di Indonesia, melakukan penyeragaman budaya maupun kepercayaan.
“Contohnya RUU Pornografi dan Pornoaksi itu. Jelas, jika pemerintah mensahkan UU tersebut, keberadaan masyarakat adat akan tergusur. Sebab kami tidak boleh lagi mengenakan simbol kebudayaan lokal lantaran dinilai berbau porno,” kata Calvin Mansoben, perwakilan dewan pembina adat dari Papua.
“Selain itu, UU tersebut juga akan membuka peluang bagi para investor buat mengeksploitasi sumber daya alam yang selama ini dijaga komunitas adat. Artinya, jika komunitas adat hilang, investor akan mudah masuk. Selama ini perlawanan investor yang mengeksploitasi sumber daya alam adalah komunitas adat,” lanjutnya.
Sementara Hemmy Koapaha, perwakilan komunitas adat Minahasa, menambahkan kehancuran juga akan terjadi pada keberagaman agama tradisional yang sudah tumbuh selama ratusan tahun di Indonesia. “Agama-agama yang belum diakui pemerintah Indonesia ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sebelum datangnya agama dari luar seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, Konghocu. Jadi, kami mohon nian pemerintah membatalkan rencana pembuatan UU tersebut,” katanya.
Lalu, bagaimana dengan kecemasan sebagian masyarakat Indonesia dengan fenomena pornografi yang tengah tumbuh di masyarakat? “Itu merupakan kegagalan negara. Sebab selama rezim Orde Baru, ada upaya penyeragaman. Akibatnya, ketika ada arus budaya luar yang masuk, masyarakat tidak memiliki pilihan. Saat mau pulang ke budaya asal, mereka tidak tahu. Ya, terima saja yang masuk,” kata Ina Soselisa, pendamping komunitas adat Maluku.
“Sebenarnya banyak kearifan lokal yang tumbuh dari komunitas adat yang mampu menjaga masyarakat dari pengaruh luar, tapi kenapa justru menggunakan budaya luar buat menjaga pengaruh budaya luar yang lain, kemudian membuat peraturan yang justru mengancam keberadaan komunitas adat. Menurut kami, masyarakat Indonesia harus kembali mengangkat akar budayanya, yang lahir dan tumbuh dari komunitas adat,” ujarnya.

Gerakan Budaya
Adapun komunitas adat yang mengikuti kegiatan bertajuk Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Komunitas-Komunitas Adat adalah Dayak Siang (Kalimantan), Dayak Ma’Anyan (Kalimantan), Kejawen/Kebudayaan Jawa (Yogyakarta), Cirendeu (Jawa Barat), Cigugur (Kuningan-Jawa Barat), Kajang (Sulawesi Selatan), Talotang (Sulawesi Selatan), Bissu (Sulawesi Selatan), Musi (Sulawesi Utara), Malesung (Sulawesi Utara), Talaud (Sulawesi Utara), Sonafnaineno (NTT), Lopo Timor (NTT), As Manulea (NTT), Tanimbar Kei (Tual-Maluku), Naulu-Seram (P. Seram-Maluku), Sawang (Belitung), Dewan Adat Papua (Sorong, Wamena, Jaya Pura), serta Anak Rimba (Jambi).
Mereka sepakat guna mempertahankan Indonesia yang berdiri atas keberagaman budaya dan kepercayaan ini, hanya melalui gerakan kebudayaan. “Kita menolak segala bentuk kekerasan. Biarkan orang lain menggunakan kekerasan, kita pilih cara yang damai, seperti yang diajarkan para leluhur kita dulu,” kata Emanuel Un Bria dari Lembaga Adat Liuvai Timor.
Adapun gerakan kebudayaan yang disepakati ke-19 komunitas adat itu antara lain yakni memperkenalkan kembali identitas mereka ke masyarakat Indonesia dan dunia. Caranya melalui tulisan, foto, dan film. “Bedanya dari yang sebelumnya, kali ini kami sendiri yang menulis, membuat foto, dan membuat filmnya,” kata Gumirat Barna Alam dari komunitas adat Karuhun Urang, Cigugur, Jawa Barat.
Sebelum mengikuti workshop penulisan, kebudayaan, dan film, di Kaliurang, Yogyakarta, para perwakilan komunitas adat ini menyempatkan diri menyampaikan aspirasi penolakan mereka terhadap RUU Pornografi ke anggota DPD, serta DPR RI, yakni Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Golkar, di Jakarta. Di sini, para perwakilan komunitas adat sempat mengancam memisahkan diri dengan Indonesia apabila RUU Pornografi disahkan sebagai UU.
Selanjutnya mereka berdialog dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta, dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas di Kaliurang. Setelah acara, mereka mengunjungi komunitas adat Sedulur Sikep atau yang dikenal sebagai komunitas Samin di Pati.
Menurut Erwan Suryanegara, salah satu fasilitator workshop kebudayaan, keberagaman budaya di nusantara ini sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan penelitiannya, kebudayaan Pasemah yang berada di sepanjang Bukitbarisan merupakan bukti nusantara ini memiliki kebudayaan yang beragam, egaliter. “Meskipun sama-sama mengakui keberadaan Tuhan, tapi cara mengungkapkannya berbeda-beda. Artinya, sama tapi berbeda. Jadi, sangat penting jika saat ini mempertahankan keberagaman yang membentuk karakter budaya Indonesia,” katanya. (*)

0 Comments: