T. Wijaya
Mari Mencari Ibu dan Bapak
SAYA menulis ini bukan lantaran saya tahu banyak, tapi karena saya memimpikan; di masa mendatang, setiap pekan kita jalan-jalan ke luar angkasa, tapi kita tetap ada dengan keyakini dan identitas kita. Atau, kita terus bercinta di tengah bisingnya kota. Tanpa ada yang mengganggu.Tenang.
Membayangkan kondisi yang indah itu, tidaklah mudah atau gampang. Kita perlu perjuangan. Apalagi realitas hari ini, kekerasan menjadi alat utama berbagai kelompok buat menjadi kekuatan yang mendominasi. Berebut menjadi pemenang. Bukan hanya di gelanggang olahraga, politik, juga merambah ke wilayah kepercayaan maupun keyakinan.
Di Indonesia, setelah jatuhnya rezim Soeharto, banyak yang berebut menggantikan posisi “Soeharto”. Meliter bukan lagi sebagai kekuatan utama yang ingin menguasai, sipil bersenjata yang mengatasnamakan keyakinan tertentu juga ingin menjadi pemenang, termasuk para pemilik modal.
Berebut kursi “raja” ini bukan hanya lahir atau muncul dari kekuatan di dalam, tetapi juga didorong dari kekuatan luar. Mengutip pemikiran Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib dalam sebuah sajaknya, “Ibuku Satu, Bapakku Satu, Orangtuaku Seribu”, saya mengibaratkan kita yang hari ini hidup sebenarnya memiliki ibu dan bapak satu, tapi memiliki sejuta orangtua. Macam-macam permintaan dan nasehatnya.
Kasarnya, kita hari ini diobok-obok para orangtua dari berbagai negeri yang jauh, baik dari Eropa, Amerika, Arab, India, Jepang, atau Tiongkok. Ada yang mengajari menari, baca puisi, berdagang, merampok, membuat film, menjadi jurnalis, menjadi politikus, hingga cara menjadi pelaku bom bunuh diri.
Lalu, di mana ibu dan bapak kita? Entahlah. Hanya kita yang dapat menjawabnya. Jadi, dari diskusi yang sederhana ini, mari kita mencari ibu dan bapak kita yang berabad-abad telah mengajari kita bagaimana hidup dengan damai, sejahtera, dan bersemangat. Sehingga para orangtua dari negeri asing itu angkat kaki, atau menjadi bagian dari kita yang selalu menikmati “pelangi”.
Di Kampung Sendiri
Ibu dan bapak, seperti halnya hewan, tidak akan meninggalkan anaknya begitu saja, kecuali ada hal yang sangat penting. Tetapi, sejauh-jauhnya ibu dan bapak pergi, dia akan kembali juga. Jadi, kemungkinan besar ibu dan bapak kita tidak berada di New York, Tokyo, Hongkong, Madinah, London, Paris, atau Moscow. Ibu dan bapak kita masih berada di dekat kita, di kampung kita.
Memang, yang menjadi persoalan, kita tidak mampu melihat ibu dan bapak itu. Kalaupun terlihat, cenderung samar-samar. Penyebabnya, ruang buat bertemu telah digusur oleh pabrik, pasar swalayan, rumah toko, atau pusat-pusat hiburan.
Tidak itu saja, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan para orangtua lain, telah memfitnah, merendahkan, bahkan menghilangkan eksistensi ibu dan bapak kita. Macam-macam penyebutannya, seperti primitive, kuno, feudal, terbelakang, kampungan, atau bodoh.
Di sisi lain, bila pun di antara kita masih memiliki ibu dan bapak, para orangtua dari luar akan memanfaatkan kita buat menghabisinya dengan berbagai stigma di atas itu. Bila masih bertahan, kekerasan menjadi pilihannya. Baik yang mengeluarkan suara “dor” maupun kata “amankan”.
Bersatu
Ibarat sapu lidi, kita harus bersatu. Bersatu mencari dan menemukan ibu dan bapak kita. Bersatu tapi kita tetap dengan jati diri kita. Bukan seperti butiran biji besi yang dileburkan menjadi satu. Tanpa ingin bersatu, kita dengan mudahnya dipatahkan atau disingkirkan. Dan, saya percaya keinginan mencari dan menemukan ibu dan bapak, membuat kita bersatu.
Bersedekah
Saya percaya, sejak 150.000 - 80.000 tahun Sebelum Masehi atau awal migrasi besar manusia dari Afrika ke berbagai penjuru bumi, berbagi atau bersedekah merupakan sikap baik yang sudah tumbuh pada manusia. Jadi, selain kita mampu bersatu, kita juga harus mampu berbagi. Berbagi ini bukan hanya sebatas harta juga ilmu pengetahuan. Penelitian kita yang dikerjakan bertahun-tahun, dengan biaya yang besar, mungkin tidak kita simpan rapat-rapat di perpustakaan atau di inti otak. Bagikan kepada siapa saja. Termasuk kepada saudara-saudara kita yang tidak atau belum sempat menguasai ilmu pengetahuan seperti kita. Logikanya, semakin banyak orang yang seperti kita—katakanlah berpengetahuan—kian gampanglah mencari ibu dan bapak kita.
Percayalah, bila kita memberi satu, kita akan menerima dua, seperti halnya kita di Toraja. Atau, seperti Tuhan berjanji dalam Alquran, berilah satu akan diberi 10.
Informasi
Sebelum mencari ibu dan bapak kita, sebaiknya kita mengetahui kekuatan para orangtua yang telah mengobok-obok kesadaran kita. Menurut saya, kehebatan mereka, yakni mampu menguasai informasi. Ilmu pengetahuan, bahasa, teknologi, yang mereka miliki, mereka kemas dalam sebuah jaringan informasi, sehingga menjadi sebuah mitos yang membuat mata kita tak mampu melihat ibu dan bapak kita.
Jelasnya, mereka mampu menulis dan membaca kita setiap hari, tapi kita sendiri gagal membaca dan menulis mereka. Kita hanya menjadi penikmat, pengagum, dan akhirnya kita gagal menjelaskan diri sendiri, lantaran kita termakan dengan mitos mereka. Dampaknya, ibu dan bapak kita pun hilang.
Memang, sebagian kita dengan kemampuan ilmu pengetahuan, bahasa, teknologi, juga mampu menulis dan membaca mereka. Namun, kebanyakan, segala item pada tubuh dan kesadaran kita justru bermigrasi ke mereka. Istilah saya, minum coca-cola sambil makan ikan asin dengan tubuh dililit bom, saat makan malam bersama istri dan anak. Parahnya, bahkan tanpa ilmu pengetahuan, teknologi, bahasa, yang mumpuni, di dalam pondok tanpa lampu, kita melakukan migrasi ke New York, menjadi Batman atau Superman. Terus-terang, saya sendiri mengalami hal tersebut.
Menulis Diri Sendiri
Seperti diyakini kawan Nasrani, saya ini seorang pendosa. Saya ini kotor. Atau, seperti diyakini kawan penyair Afrizal Malna, dirinya telah kehilangan “Minangkabau”, dirinya tanpa ibu dan bapak. Dirinya menjadi massa. Tak lebih dari susunan angka di kalkulator seorang pegawai kantor kelurahan atau pengusaha makanan instant.
Yang menjadi persoalan, apakah ibu dan bapak mau menemui kita yang kotor ini? Tentu saja mau. Tak ada orangtua yang membenci anaknya, seperti halnya harimau dan tikus. Tetapi, mungkin ada syaratnya, kita harus menjadi diri kita. Kita harus kembali menjadi anak yang tahu asal rahimnya, Toraja jadilah Kailise, Sigiese, Poso, atau Luwuk. Dayak jadilah Kajan, Bahau, atau Punan. Minangkabau jadilah Koto, Piliang, Bodi, atau Chaniago. Nias jadilah Nias. Kei jadilah Kei. Aceh jadilah Aceh. Palembang jadilah Palembang. Sasak jadilah Sasak. Kubu jadilah Pinggir. Mentawai jadilah Melayu. Jawa jadilah Jawa. Sunda jadilah Sunda. Badui jadilah Urang Kanekes atau Urang Rawajan.
Nah, dengan kesadaran ini, kita pun akan mampu menuliskan diri sendiri. Kita bukan ditulis dan dicatat oleh orang lain atau oleh kita yang menjadi “orang lain”. Kita akan menjadi media informasi sebenarnya. Tanpa sensor, tanpa kebencian, tanpa matematika saat menuliskan kasih dan sayang kita.
Saya percaya dengan cara seperti ini, kita akan bebas dari kata primitive, kuno, feodal, terbelakang, kampungan, atau bodoh. Fakta yang kita tulis, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan milik dunia, merupakan fakta bukan penilaian atau opini.
Bagaimana dengan para pendatang? Ya, jadilah diri mereka sendiri, sehingga mereka menjadi kita. Sebab sejak berabad lalu, para puyang atau nenek moyang di nusantara ini tidak pernah menolak kehadiran pendatang, seperti kedatangan puyang saya beberapa abad lalu, dan akhirnya menjadi bagian dari keberagaman yang mengagumkan ini.
Bertemu Ibu dan Bapak
Saya percaya, bila kita telah menuliskan diri kita, ibu dan bapak akan terus mendampingi kehidupan kita. Kita akan tahu bagaimana menghargai orang lain, berbakti pada Tuhan, seperti yang disampaikan dari pikiran dan hati mereka. Kita pun menjadi Toraja bukan menjadi Batman, Superman, atau Ali Baba, meskipun ilmu dan teknologi membuat kita setiap pekan dapat jalan-jalan ke luar angkasa, misalnya pada tahun 2030 nanti.
Kenapa? Sebab ibu dan bapak akan melindungi kita dari ancaman para orangtua yang memiliki keinginan “menguasai dunia” layaknya para pemuja fasisme. Ibu dan bapak kita dilahirkan Tuhan untuk memerangi pemikiran Benito Mussolini yang tahun 1932 menulis, “…Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya…” [*]
Mari Mencari Ibu dan Bapak
SAYA menulis ini bukan lantaran saya tahu banyak, tapi karena saya memimpikan; di masa mendatang, setiap pekan kita jalan-jalan ke luar angkasa, tapi kita tetap ada dengan keyakini dan identitas kita. Atau, kita terus bercinta di tengah bisingnya kota. Tanpa ada yang mengganggu.Tenang.
Membayangkan kondisi yang indah itu, tidaklah mudah atau gampang. Kita perlu perjuangan. Apalagi realitas hari ini, kekerasan menjadi alat utama berbagai kelompok buat menjadi kekuatan yang mendominasi. Berebut menjadi pemenang. Bukan hanya di gelanggang olahraga, politik, juga merambah ke wilayah kepercayaan maupun keyakinan.
Di Indonesia, setelah jatuhnya rezim Soeharto, banyak yang berebut menggantikan posisi “Soeharto”. Meliter bukan lagi sebagai kekuatan utama yang ingin menguasai, sipil bersenjata yang mengatasnamakan keyakinan tertentu juga ingin menjadi pemenang, termasuk para pemilik modal.
Berebut kursi “raja” ini bukan hanya lahir atau muncul dari kekuatan di dalam, tetapi juga didorong dari kekuatan luar. Mengutip pemikiran Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib dalam sebuah sajaknya, “Ibuku Satu, Bapakku Satu, Orangtuaku Seribu”, saya mengibaratkan kita yang hari ini hidup sebenarnya memiliki ibu dan bapak satu, tapi memiliki sejuta orangtua. Macam-macam permintaan dan nasehatnya.
Kasarnya, kita hari ini diobok-obok para orangtua dari berbagai negeri yang jauh, baik dari Eropa, Amerika, Arab, India, Jepang, atau Tiongkok. Ada yang mengajari menari, baca puisi, berdagang, merampok, membuat film, menjadi jurnalis, menjadi politikus, hingga cara menjadi pelaku bom bunuh diri.
Lalu, di mana ibu dan bapak kita? Entahlah. Hanya kita yang dapat menjawabnya. Jadi, dari diskusi yang sederhana ini, mari kita mencari ibu dan bapak kita yang berabad-abad telah mengajari kita bagaimana hidup dengan damai, sejahtera, dan bersemangat. Sehingga para orangtua dari negeri asing itu angkat kaki, atau menjadi bagian dari kita yang selalu menikmati “pelangi”.
Di Kampung Sendiri
Ibu dan bapak, seperti halnya hewan, tidak akan meninggalkan anaknya begitu saja, kecuali ada hal yang sangat penting. Tetapi, sejauh-jauhnya ibu dan bapak pergi, dia akan kembali juga. Jadi, kemungkinan besar ibu dan bapak kita tidak berada di New York, Tokyo, Hongkong, Madinah, London, Paris, atau Moscow. Ibu dan bapak kita masih berada di dekat kita, di kampung kita.
Memang, yang menjadi persoalan, kita tidak mampu melihat ibu dan bapak itu. Kalaupun terlihat, cenderung samar-samar. Penyebabnya, ruang buat bertemu telah digusur oleh pabrik, pasar swalayan, rumah toko, atau pusat-pusat hiburan.
Tidak itu saja, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan para orangtua lain, telah memfitnah, merendahkan, bahkan menghilangkan eksistensi ibu dan bapak kita. Macam-macam penyebutannya, seperti primitive, kuno, feudal, terbelakang, kampungan, atau bodoh.
Di sisi lain, bila pun di antara kita masih memiliki ibu dan bapak, para orangtua dari luar akan memanfaatkan kita buat menghabisinya dengan berbagai stigma di atas itu. Bila masih bertahan, kekerasan menjadi pilihannya. Baik yang mengeluarkan suara “dor” maupun kata “amankan”.
Bersatu
Ibarat sapu lidi, kita harus bersatu. Bersatu mencari dan menemukan ibu dan bapak kita. Bersatu tapi kita tetap dengan jati diri kita. Bukan seperti butiran biji besi yang dileburkan menjadi satu. Tanpa ingin bersatu, kita dengan mudahnya dipatahkan atau disingkirkan. Dan, saya percaya keinginan mencari dan menemukan ibu dan bapak, membuat kita bersatu.
Bersedekah
Saya percaya, sejak 150.000 - 80.000 tahun Sebelum Masehi atau awal migrasi besar manusia dari Afrika ke berbagai penjuru bumi, berbagi atau bersedekah merupakan sikap baik yang sudah tumbuh pada manusia. Jadi, selain kita mampu bersatu, kita juga harus mampu berbagi. Berbagi ini bukan hanya sebatas harta juga ilmu pengetahuan. Penelitian kita yang dikerjakan bertahun-tahun, dengan biaya yang besar, mungkin tidak kita simpan rapat-rapat di perpustakaan atau di inti otak. Bagikan kepada siapa saja. Termasuk kepada saudara-saudara kita yang tidak atau belum sempat menguasai ilmu pengetahuan seperti kita. Logikanya, semakin banyak orang yang seperti kita—katakanlah berpengetahuan—kian gampanglah mencari ibu dan bapak kita.
Percayalah, bila kita memberi satu, kita akan menerima dua, seperti halnya kita di Toraja. Atau, seperti Tuhan berjanji dalam Alquran, berilah satu akan diberi 10.
Informasi
Sebelum mencari ibu dan bapak kita, sebaiknya kita mengetahui kekuatan para orangtua yang telah mengobok-obok kesadaran kita. Menurut saya, kehebatan mereka, yakni mampu menguasai informasi. Ilmu pengetahuan, bahasa, teknologi, yang mereka miliki, mereka kemas dalam sebuah jaringan informasi, sehingga menjadi sebuah mitos yang membuat mata kita tak mampu melihat ibu dan bapak kita.
Jelasnya, mereka mampu menulis dan membaca kita setiap hari, tapi kita sendiri gagal membaca dan menulis mereka. Kita hanya menjadi penikmat, pengagum, dan akhirnya kita gagal menjelaskan diri sendiri, lantaran kita termakan dengan mitos mereka. Dampaknya, ibu dan bapak kita pun hilang.
Memang, sebagian kita dengan kemampuan ilmu pengetahuan, bahasa, teknologi, juga mampu menulis dan membaca mereka. Namun, kebanyakan, segala item pada tubuh dan kesadaran kita justru bermigrasi ke mereka. Istilah saya, minum coca-cola sambil makan ikan asin dengan tubuh dililit bom, saat makan malam bersama istri dan anak. Parahnya, bahkan tanpa ilmu pengetahuan, teknologi, bahasa, yang mumpuni, di dalam pondok tanpa lampu, kita melakukan migrasi ke New York, menjadi Batman atau Superman. Terus-terang, saya sendiri mengalami hal tersebut.
Menulis Diri Sendiri
Seperti diyakini kawan Nasrani, saya ini seorang pendosa. Saya ini kotor. Atau, seperti diyakini kawan penyair Afrizal Malna, dirinya telah kehilangan “Minangkabau”, dirinya tanpa ibu dan bapak. Dirinya menjadi massa. Tak lebih dari susunan angka di kalkulator seorang pegawai kantor kelurahan atau pengusaha makanan instant.
Yang menjadi persoalan, apakah ibu dan bapak mau menemui kita yang kotor ini? Tentu saja mau. Tak ada orangtua yang membenci anaknya, seperti halnya harimau dan tikus. Tetapi, mungkin ada syaratnya, kita harus menjadi diri kita. Kita harus kembali menjadi anak yang tahu asal rahimnya, Toraja jadilah Kailise, Sigiese, Poso, atau Luwuk. Dayak jadilah Kajan, Bahau, atau Punan. Minangkabau jadilah Koto, Piliang, Bodi, atau Chaniago. Nias jadilah Nias. Kei jadilah Kei. Aceh jadilah Aceh. Palembang jadilah Palembang. Sasak jadilah Sasak. Kubu jadilah Pinggir. Mentawai jadilah Melayu. Jawa jadilah Jawa. Sunda jadilah Sunda. Badui jadilah Urang Kanekes atau Urang Rawajan.
Nah, dengan kesadaran ini, kita pun akan mampu menuliskan diri sendiri. Kita bukan ditulis dan dicatat oleh orang lain atau oleh kita yang menjadi “orang lain”. Kita akan menjadi media informasi sebenarnya. Tanpa sensor, tanpa kebencian, tanpa matematika saat menuliskan kasih dan sayang kita.
Saya percaya dengan cara seperti ini, kita akan bebas dari kata primitive, kuno, feodal, terbelakang, kampungan, atau bodoh. Fakta yang kita tulis, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan milik dunia, merupakan fakta bukan penilaian atau opini.
Bagaimana dengan para pendatang? Ya, jadilah diri mereka sendiri, sehingga mereka menjadi kita. Sebab sejak berabad lalu, para puyang atau nenek moyang di nusantara ini tidak pernah menolak kehadiran pendatang, seperti kedatangan puyang saya beberapa abad lalu, dan akhirnya menjadi bagian dari keberagaman yang mengagumkan ini.
Bertemu Ibu dan Bapak
Saya percaya, bila kita telah menuliskan diri kita, ibu dan bapak akan terus mendampingi kehidupan kita. Kita akan tahu bagaimana menghargai orang lain, berbakti pada Tuhan, seperti yang disampaikan dari pikiran dan hati mereka. Kita pun menjadi Toraja bukan menjadi Batman, Superman, atau Ali Baba, meskipun ilmu dan teknologi membuat kita setiap pekan dapat jalan-jalan ke luar angkasa, misalnya pada tahun 2030 nanti.
Kenapa? Sebab ibu dan bapak akan melindungi kita dari ancaman para orangtua yang memiliki keinginan “menguasai dunia” layaknya para pemuja fasisme. Ibu dan bapak kita dilahirkan Tuhan untuk memerangi pemikiran Benito Mussolini yang tahun 1932 menulis, “…Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya…” [*]
0 Comments:
Post a Comment