Selasa, 03 Juni 2008

Narasi Thoyib

T.WIJAYA

Thoyib

SEBUAH kapal di perairan Sungsang, Sungai Musi, Palembang. Seorang pria mengayun-ayun sebilah pedang di depan para penumpang. Dia berteriak mengancam, “Jangan melawan! Aku bunuh kamu galo (semua) kalau melawan. Serahkan duit, emas atau jam tangan kalian!” Di belakang pria bernama Thoyib ini berdiri tiga lelaki dengan tatapan ganas.

Sejumlah harta benda pun berpindah tangan. “Gawe kito (pekerjaan kita) itu belum seberapa. Itu baru percobaan. Kalu galak awak melok kame (Kalau mau kamu ikut kami),” kata Usman Gopok, senior Thoyib, pemimpin perampokan itu.

Itu aksi pertama Thoyib, tahun 1967. Dia mengisahkannya pada saya. Saat bertemu saya, Thoyib ketua Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu atau disingkat PMPB. Anggota organisasi ini kebanyakan bandit, yang diklaim Thoyib “preman sadar.” Para anggota PMPB tak hanya menguasai pasar, tempat hiburan atau lahan parkir, melainkan bermain juga di dunia politik atau pemerintahan di Palembang dan Sumatra Selatan.

PMPB dideklarasikan pada 10 Oktober 2000. Jumlah anggotanya 70 ribu orang, tersebar di seluruh Sumatra Selatan. Di kepengurusannya terdapat sejumlah nama politisi maupun pengusaha, seperti Eddy Santana Putra dan Syahrial Oesman, masing-masing adalah walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan sejak 2003. Keduanya dari Partai Golongan Karya.
Dibanding organisasi massa seperti Pemuda Muhammadiyah atau Gerakan Pemuda Anshor, PMPB tampak lebih menonjol. Setidaknya berdasarkan jumlah plang nama. Plang nama PMPB tegak di sejumlah kampung di Palembang, yang di sana sulit saya temukan plang organisasi macam Muhammadiyah atau Anshor.

Thoyib, sang ketua, lahir 19 Agustus 1949 di Palembang. Nama lengkapnya Muhammad Thoyib Akib. Dia sulung 11 bersaudara. Tapi sembilan saudaranya meninggal sebelum beranjak remaja. Kematian adik-adiknya, menurut Thoyib, karena ilmu kebatinan yang dimiliki sang ayah, Masagus Akib. Ilmu tersebut membawa aura panas dan menuntut korban jiwa. Thoyib selamat karena dia kebetulan tinggal di rumah keluarga ibunya.

Masagus Akib sehari-hari bekerja sebagai pedagang. Keluarganya hidup berkecukupan. Thoyib kecil tak pernah susah.

Hidup keluarga Thoyib berubah drastis setelah Akib meninggal pada September 1967. Belum genap sebulan Akib wafat, komplotan perampok menjarah Kampung 3 Ulu, Kertapati, Palembang. Rumah keluarga Thoyib ikut jadi sasaran. Dan ketika pagi tiba, keluarga Thoyib resmi jatuh miskin.

Ketika itu negara Indonesia juga dilanda krisis. Perekonomian parah. Rezim beralih dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Banyak warga terpaksa makan bulgur dan mengenakan pakaian karung goni.

Thoyib mendendam pada keadaan. Dia ingin membunuh para perampok itu. Tapi, dia tak tahu caranya. Dia pun tak tahu markas mereka. “Kalu awak (kalau kau) memang mau balas dendam, cubo melok (coba ikut) aku,” kata Usman Gopok, enam bulan kemudian.

Thoyib langsung setuju. Malamnya dia ikut Usman beserta dua anak buah pria itu merompak kapal penumpang di perairan Sungsang. Niat balas dendam membuat Thoyib justru mengikuti jejak musuhnya: jadi bandit.

Thoyib tak lagi susah. Demikian juga keluarganya. Mau makan, beli. Mau pakaian, beli. Mau perhiasan, pakai. Dan, puluhan perempuan, minta dikawini. Selama setengah tahun Thoyib menuai hasil merompak kapal-kapal di perairan sungai Musi dan selat Bangka.

Namun, pada akhir 1968 dia ditangkap di rumahnya. Dia diangkut ke penjara Jalan Merdeka Palembang. Selama enam bulan dia dibui.

“Waktu saya ditahan itu, ibu saya baru tahu apa yang saya lakukan. Dia marah,” kenang Thoyib.

Keluar dari penjara, Thoyib kembali bergabung dengan kelompok Usman. Mereka terus merompak di sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka.

Sejarah bajak laut atau lanun di perairan Sungsang dan selat Bangka telah dimulai sejak abad ke-14. Cheng Ho, panglima tertinggi angkatan laut Cina, menangkap seorang bajak laut dan membawanya pulang untuk dihukum pancung. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari penjelajahan pertamanya keliling Champa (Vietnam), Majapahit (Jawa), Deli (Sumatra), Srilangka, dan Kalkuta.

Siapa bajak laut ini?

Dia Chen Tsu-I, eks perwira angkatan laut Cina asal Kanton. Dia lari dari Cina karena anti Dinasti Ming. Dinasti tersebut menguasai Cina sejak 1368. Chen Tsu-I membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau dalam bahasa Cina, Po-lin-fong yang berarti “pelabuhan tua.”

Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu-I menguasai daerah sekitar muara sungai Musi, perairan Sungsang dan selat Bangka. Anak buah Chen Tsu-I merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantong-kantong bandit Palembang.

Pada 1969 Thoyib pertama kali membunuh orang. Korbannya teman sendiri.
Suatu hari, setelah merasa cukup puas dengan hasil rompakan, Thoyib dan kawan-kawan naik ke darat untuk bagi hasil. Alangkah kecewanya Thoyib ketika Toni, yang selama ini dititipi hasil rompakan berupa uang dan emas, menyebut tabungan mereka telah disita polisi.

Semula Thoyib dan tiga kawannya, Cek Ing, Yohanes dan Herman percaya pada pengakuan Toni. Tetapi, seorang perempuan simpanan Toni mengadu bahwa selama mereka di laut, di darat Toni berfoya-foya.

“Aku setuju malam ini kita habisi budak taun (anak setan) itu,” kata Thoyib pada kawan-kawannya.

Mayat Toni penuh luka tusuk dan bacokan. Namun, mereka tak semua masuk sel. Cek Ing sukarela jadi tumbal. Dia mengaku sebagai pelaku tunggal kepada polisi.

Thoyib melarikan diri ke Lampung, bergabung dengan Basir, adik kandung Usman Gopok. Di daerah yang sebagian besar dikelilingi laut, kelompok baru Thoyib banyak beroperasi di kawasan Panjang. Mereka merompak kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Panjang.

Kelompok ini kemudian bertemu dengan sejumlah bandit Jakarta. Mereka sepakat beroperasi di dua wilayah, laut dan darat. Setiap anggota memiliki sepucuk pistol jenis FN. Pistol-pistol itu dibeli dari seorang tentara.

“Kelompok kami sangat terkenal saat itu. Kami merompak kapal Singapura, Jerman, Taiwan. Kami juga merampok toko emas, agen sepeda dan toko-toko yang besar,” kenang Thoyib.

AKHIR 1970. Empat orang memegangi tubuh Thoyib sambil memasang borgol dan rantai di tangan dan tubuhnya. Buk! Tubuh Thoyib dilempar ke bak belakang mobil Toyota Kijang milik Angkatan Laut. Tak berapa lama batu-batu melayang dan mendarat di tubuh Thoyib. Orang-orang di Pasar Bawah, Tanjungkarang, melampiaskan rasa benci mereka.

Beberapa menit sebelum penangkapan Thoyib, tujuh kawannya ditangkap di kamar kontrakan mereka.

Pemilik kontrakan melapor ke polisi. Perempuan tua itu sempat mengintip kegiatan Thoyib dan kawan-kawannya melalui lubang kecil di dinding papan. Dia terkejut melihat mereka tengah membersihkan senjata api.

Polisi menuduh kawanan Thoyib terlibat 17 kasus kejahatan. Thoyib dan kawan-kawan berusaha menyogok polisi, tapi gagal. Mereka divonis delapan tahun penjara. Ini menandai akhir masa jaya kelompok Thoyib di Lampung.

Memasuki bulan ketiga di tahanan kantor polisi, tiga dari kawanan itu berhasil kabur.
Akibatnya Thoyib dan empat rekannya dipindahkan ke sel isolasi di penjara Tanjungkarang. Satu orang menghuni satu sel. Selama setahun, dengan tubuh di rantai, mereka tak pernah menyaksikan siang maupun malam.

Pada 1972 pengadilan memindahkan Thoyib dan kawan-kawan ke penjara Cipinang, Jakarta. Di sini Thoyib hanya bertahan lima bulan. Dia berkelahi dengan kelompok bandit yang lebih dulu ditahan di sana. Thoyib lantas dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung, dan mendekam di situ cuma sepekan. Pasalnya, dia ribut dengan pegawai penjara gara-gara distribusi makanan para tahanan.

Kali ini Thoyib dipindahkan ke penjara Banceuy Bandung, yang sekarang sudah jadi pertokoan. Baru tiga hari di tahanan, dia sudah menusuk bandit yang berkuasa di penjara itu. Thoyib marah rambutnya dipaksa potong pendek.

Dia pun dipindahkan ke penjara Cirebon. Setelah dua tahun di situ, Thoyib kembali berkelahi dengan sesama penghuni penjara. Dia terpaksa dipindahkan ke penjara Kuningan, masih di sekitar Jawa Barat.

Pada 1977, Thoyib bebas. Tapi dia tak langsung pulang ke Palembang. Thoyib malah membentuk kelompok bandit Cirebon. Setelah bentrokan di dalam, kelompok itu bubar jalan. Thoyib pun memutuskan pulang kampung.

SUATU sore Thoyib duduk di teras rumah panggung orangtuanya. Dia memikirkan apa yang didengarnya semalaman: suara ibunya. “Nak, tolong ibu, berentilah. Ingat nerako. Nerako (Nak, tolong ibu, berhentilah. Ingat neraka. Neraka).” Sang ibu, Nuriah namanya, meminta Thoyib bertobat. Menjelang magrib, suara itu masih mengiang di telinga.

Dia pergi ke tepi sungai Ogan. Dia mengambil sebuah batu koral sebesar kelereng, lalu melemparnya ke permukaan air sungai. Sebelum melempar batu, dia bersumpah. “Jika batu ini mengapung aku tetap menjadi bandit. Apabila tenggelam aku akan berhenti menjadi bandit. Bila aku melanggarnya, berarti aku keluar dari Islam. Tetapi, kalau berkelahi untuk membela diri atau teman, kalau terpaksa, aku harus melawan.”

Batu koral itu tenggelam.

Thoyib menepati nazarnya. Dia berhenti jadi bandit. Itu tahun 1979.

Hidup dengan prinsip baru bukan hal gampang. Pemasukan tak ada. Godaan untuk merampok selalu datang. Untuk menghindari godaan itu, dia nekad pergi ke sebuah sawmill atau pabrik pemotongan kayu.

Di sepanjang sungai Ogan terdapat 20 pabrik pemotongan kayu. Pabrik-pabrik itu punya masalah. Para pemiliknya sering mengeluh soal kayu mereka yang hilang dicuri.
“Aku menawari jasa menjadi keamanan pabrik mereka. Mereka setuju,” kisah Thoyib.
Setiap bulan Thoyib menerima gaji. “Itulah gaji halal pertamaku.”

Para pemilik pabrik puas dengan kerja Thoyib. Pencurian kayu berkurang. “Saya mengajak semua kawan yang diduga menjadi pencuri kayu sebagai tenaga keamanan sawmill.”

Nasib baik datang lagi. Seorang pengusaha angkutan kapal bernama Anang Yunus alias O An, mengajak Thoyib berbisnis. Dia menawari Thoyib mengelola pabrik, bukan sekadar penjaga tapi pemilik. Thoyib menerima tawaran tersebut. Keuntungan usaha dibagi dua, meski Anang Yunus pemilik modal.

Namun, kejayaan Thoyib sebagai pengusaha kayu habis pada 1983 menyusul operasi militer terhadap kayu ilegal, termasuk sawmill tak berizin. Mereka yang biasa memasok bahan baku kayu pada Thoyib putar haluan. Mereka memilih menjual bahan baku kepada perusahaan resmi.

Kebangkrutan Thoyib disusul musibah lain. Thoyib ditangkap dan di penjara selama sembilan hari. Penyebabnya?

Dalam mobil milik Thoyib ditemukan mayat. Salah seorang sahabat Toyib, bernama Atai, membunuh orang di mobil itu.

Selama setahun ekonomi keluarga Thoyib pas-pasan. “Saya sempat terpikir mau menjadi perompak lagi, tapi saya selalu teringat dengan sumpah itu.”

Suatu hari dia bertemu Ramli Sutanegara, pengurus Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong atau Kosgoro.

“Awak bergabung bae dengan organisasi ini. Awak harus mengenal orang-orang penting, mana tahu nanti akan ada gawean buat awak,” kata Sutanegara kepada Thoyib sambil menuangkan bir ke gelasnya.

Saat itu Thoyib bertamu ke kantor Kosgoro di samping bioskop Sanggar, Jalan Rustam Effendy, Palembang.

“Kalau memang bagus buat aku, ya, aku bergabung. Tapi aku nih harus banyak belajar dari awak, aku belum pernah berorganisasi,” kata Thoyib pada Sutanegara.

Pada 1986, dua tahun setelah pertemuan dengan Sutanegara, Thoyib menjabat ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia wilayah Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Pada 1993, dia juga menjadi ketua Pemuda Pancasila wilayah yang sama. Posisi Thoyib di organisasi makin cemerlang saat dia menjadi ketua Pemuda Pancasila Kota Palembang periode 1994-1999.

Selama gerakan antikebijakan pemerintahan Soeharto, massa dari organisasi tersebut jadi tameng status quo. Mereka menjadi pengaman dalam setiap aksi ke kantor pemerintah, memobilisasi massa saat kampanye pemilihan umum, atau meneror masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah.

“Tugas kami selain memobilisasi massa saat kampanye, juga mengamankan kantor pemerintah ketika ada unjuk rasa dan mengamankan lokasi yang menjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah,” kata Ridwan, agen sayuran di pasar induk Jakabaring, anak buah Thoyib.

Saat kerusuhan Mei 1998 yang berujung jatuhnya Soeharto, para bandit menjadi salah satu pelaku utama penjarahan terhadap pertokoan dan rumah-rumah milik etnik Tionghoa. Mereka bersama warga lain merampas harta benda dan merusak pertokoan atau rumah orang Tionghoa. Bahkan, menurut informasi dari Tim Relawan Kemanusiaan di Palembang, terjadi pula pelecehan seksual terhadap perempuan-perempuan Tionghoa.

“Kami mengambil apa saja. Makanan, barang-barang elektronik. Ya, kami menimbun di rumah sebelum dijual,” kata Ridwan, bangga.

Di sisi lain, para bandit ini dapat uang juga dari orang-orang Tionghoa kaya. Mereka disewa untuk menjaga pertokoan dan rumah-rumah. Keuntungan ganda.

SENIN, 19 Februari 2001, Thoyib bersama anggota organisasi PMPB berunjuk rasa ke gedung Dewan Sumatra Selatan di Jalan Pekan Olahraga Mahasiswa IX Palembang. Massa sekitar 250 orang.

Thoyib menyebut aksinya untuk membendung aksi para provokator dari Jakarta dan Lampung yang datang ke Palembang. Provokator itu dikabarkan akan memicu konflik antar etnik dan agama di Palembang.

“Sebagai wong Palembang saya sangat khawatir. Saya tidak mau Palembang ini menjadi Ambon.”

Thoyib menilai konflik di Ambon adalah konflik antara “Islam” dengan “Kristen”, sedangkan di Lampung antara “penduduk asli” dan “pendatang” dari Jawa. Dia tak tahu kalau konflik di Ambon juga bernuansa etnik, yaitu antara “bangsa Alifuru” dan “pendatang” dengan label BBM; Bugis, Buton, Makassar.

Tetapi ada yang menganggap aksi Thoyib itu bertujuan melindungi kepentingan politik para anggota dewan. Saat itu mereka menjadi perhatian masyarakat dan sering jadi sasaran unjuk rasa mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat gara-gara dugaan korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp 2,1 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Sumatra Selatan tahun 2000.

Februar Rachman dari Partai Demokrasi Banteng Kebangsaan, menilai PMPB sebagai organisasi bandit.

“Perilaku mereka kan tetap seperti bandit. Melakukan kekerasan,” kata Rachman.
Pertengahan Maret 2005, Thoyib dan Febuar Rachman nyaris berkelahi di Pasar Induk Jakabaring, Palembang.

Pagi itu Rachman ingin bertemu walikota Eddy Santana Putra yang akan membuka kegiatan pasar murah. Dia datang bersama sejumlah aktivis dan mahasiswa. Tiba-tiba para pedagang dan Februar Rachman mendapat serangan dari orang-orang Thoyib, yang jadi petugas keamanan pasar tersebut. Mereka mengatakan ada kabar Febuar Rachman bersama mahasiswa dan aktivis itu hendak merebut lahan kerja mereka.

“Apa kami gilo? Kami mau bertemu dengan walikota untuk membahas lokasi para pedagang kaki lima yang digusur di Pasar 16 Ilir. Termasuk janji keringanan pembelian kios. Bukan minta jatah,” kata Febuar Rachman.

Thoyib membela anak buahnya, “Kita bukan meneror atau mengancam. Kita justru berjaga-jaga agar kondisi aman dan lancar.”

RUANG tamu terletak di bagian bawah rumah panggung itu, dicat putih. Ada dua stel kursi tamu di sana. Kursi sofa dan kursi jati ukiran. Di dinding dan bufet terpajang potret Thoyib bersama antara lain, Eddy Santana Putra dan mantan gubernur Sumatra Selatan Ramli Hasan Basri.

Di dinding lain juga terpampang foto Thoyib dengan Ibnu Hartomo. “Dia kan adik Ibu Tien Soeharto. Kami bertemu di rumahnya di kawasan Condet, Jakarta, sekitar tahun 80-an awal,” kata Thoyib. “Saya ke rumahnya untuk mengurusi perkebunan miliknya di Banyuasin yang bermasalah,” lanjutnya.

Thoyib kini berencana membangun sebuah pesantren di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, di atas lahan dua hektare. Pesantren ini akan diberi nama Al-Amanah. Untuk tujuan ini, Thoyib bekerjasama dengan Ali Singo, yang juga mantan bandit. ****) Dimuat www.pantau.or.id dan Koran Sinar Harapan. Artikel ini atas sponsor Unesco

0 Comments: