Selasa, 03 Juni 2008

Esai Gerakan Musi Raya

T. WIJAYA

Gerakan Musi Raya!


SEORANG mahasiswa dari Eropa yang melakukan penelitian politik, merasa sangat cemas dengan Sumatra Selatan hari ini. Menurut dia, bila tidak dilakukan konsolidasi sosial dan budaya, Sumatra Selatan berpotensi menjadi wilayah konflik yang lebih keras dan tajam, dibandingkan di Aceh, Papua, atau seperti sejumlah daerah di Indonesia Timur lainnya. Mengapa?

Menurut dia, saat ini hampir semua warga Sumatra Selatan mengindentifikasikan dirinya sebagai bagian dari etnis tertentu. Buktinya, saat ini lahir banyak organisasi yang berbasis etnis di Sumatra Selatan. Jumlah organisasi ini jauh melebihi organisas buruh, profesi, yang umumnya menjadi fenomena dari sebuah masyarakat transisi atau modern. Selain itu, dia menilai semangat "pemekaran" yang muncul di Sumatra Selatan, lebih banyak pendekatan etnisitas dibandingkan keadilan soal ekonomi atau pembangunan.

Sebenarnya fenomena ini juga berlangsung di banyak daerah lain di Indonesia, tapi jika Sumatra Selatan "meledak" dampaknya akan lebih luas dan panjang, melebihi apa yang telah terjadi di Aceh dan Papua. Bahkan, menurut dia, ledakan itu akan menyeret wilayah-wilayah yang berada di sekitarnya, seperti Bengkulu, Jambi, Lampung, Bangka, dan Sumatra Barat. Sebab etnisitas yang berada di Sumatra Selatan masih terkait dengan wilayah yang disebutkan itu.

Jadi, menurut dia, perlu dilakukan konsolidasi sosial dan budaya, sebelum berlangsungnya peristiwa politik seperti pemilihan kepala daerah, anggota dewan dan senator, presiden, yang dapat menjadi pemicu ledakan tersebut. Gerakan Musi RayaBeranjak dari pemikiran teman yang kini masih kuliah di sebuah universitas di Berlin, Jerman, itu, saya mempunyai gagasan berupa Gerakan Musi Raya. Gerakan ini semacam "nasionalisme" masyarakat Sumatra Selatan. Sehingga tiap warga Sumatra Selatan memiliki kesadaran untuk menjaga persaudaraan, sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Gerakan ini sebetulnya seperti yang pernah dilakukan para leluhur di Sumatra Selatan, yang mana dengan menggunakan ajaran Budha dan Islam, mereka mampu menyatukan puluhan suku di Sumatra Selatan, kemudian menjadi kekuatan yang mampu menyatukan berbagai suku bangsa di Nusantara, seperti yang diusung para pemimpin Sriwijaya dengan Budha-nya, atau keluarga Raden Fatah bersama Islam-nya.

Memang, secara teori Pancasila adalah ideologi pemersatu setelah ajaran agama yang sebelumnya menjadi alat pemersatu. Tetapi, berbeda dengan penyiar agama, penyiar Pancasila mengalami kegagalan saat berkonsolidasi dengan berbagai perbedaan budaya dan sosial di Nusantara, sehingga ideologi yang sangat tepat di Indonesia itu seperti "dipaksakan" atau sebatas formalitas bae. Akibatnya, seorang pemimpin yang mengaku berideologi Pancasila, saat melaksanakan pemerintahan cenderung mementingkan kelompoknya, baik eknisitas, kepercayaan, maupun keluarga.

Jadi, tepatnya, Gerakan Musi Raya merupakan penyiaran ulang Pancasila di wilayah Sumatra Selatan, sehingga keberadaan negara-bangsa ini bertahan hingga ratusan tahun atau puluhan abad, seperti Sriwijaya, Majapahit, maupun kerajaan Islam yang pernah ada. Simbol MusiSebelum adanya Indonesia, Kesultanan Palembang Darussalam, Kerajaan Islam Palembang, Kerajaan Sriwijaya, atau jauh sebelum adanya manusia di Sumatra Selatan, sungai Musi sudah ada. Dia hadir dengan ratusan anaknya. Dia bukan hanya menjadi produsen air dari Bukti Barisan ke laut di Selat Bangka dan Lautan Hindia, dia juga menjadi sumber kehidupan hewan, tumbuhan, sehingga wilayah ini menjadi kaya dengan sumber alamnya.
Melihat potensi ini, manusia jelas menjadi tertarik. Mereka kemudian memanfaatkannya sebagai sumber dan penunjang kehidupan.Termasuk sebagai sarana transportasi pada masa tradisional hingga modern.

Lantaran keberadaan sungai Musi ini, berbagai manusia yang berasal dari berbagai daerah di dunia, datang dan membangun komunitasnya di sekitar sungai Musi. Gelombang pendatang ini, saat ini, ada yang masih terlacak dan tidak sedikit yang tidak terlacak. Bahkan, kita harus percaya, nenek-moyang bangsa Malaysia dan Singapura, pernah dihidupi oleh sungai Musi.
Nah, para pendatang yang memanfaatkan sungai Musi ini melahirkan berbagai suku yang sebagian masih bertahan sampai saat ini, seperti Palembang, Komering, Besemah, Kisam, Dayo, Rawas, Ranau, atau Sekayu. Tepatnya, bila tidak ada sungai Musi, mungkin tidak semua eknis di atas masih bertahan di Sumatra Selatan.

Di masa lalu, pengakuan berbagai eknis itu terhadap sungai Musi dengan menyebutkan identitas mereka sebagai masyarakat "negeri batanghari sembilan".

Tepatnya, kita yang ada hari ini, dengan berbagai identitas, baik berdasarkan kesukuan, kepercayaan, profesi, mungkin tidak akan ada, apabila sungai Musi menolak kehadiran kita. Misalnya air yang dialirkannya mengandung racun, meskipun pada akhirnya justru manusia yang meracuni sungai Musi dengan limbah seperti amoniak, plastik, soda, atau klorin.


Kongres Sungai MusiLangkah awal dari Gerakan Musi Raya, yakni dilangsungkannya Kongres Masyarakat Sungai Musi. Kongres ini menghadirkan berbagai etnis yang hidup sepanjang sungai Musi, atau tepatnya kongres yang menghadirkan perwakilan masyarakat "Batanghari Sembilan". Baik tokoh adat, intelektual, praktisi politik, maupun pendamping sosial dan budaya.

Dalam kongres itu dirumuskan soal identitas masing-masing etnis, mulai dari bahasa, seni, maupun tradisi. Selanjutnya, disampaikan juga persoalan yang dialami mereka. Baik persoalan ekonomi, pendidikan, seni, budaya, keamanan, pembangunan, hingga lingkungan hidup.

Berdasarkan rumusan identitas dan persoalan yang dialami masing-masing etnis, selanjutnya dirumuskan agenda kerja ke depan yang tentunya bertujuan untuk memakmurkan semua warga atau masyarakat di Sumatra Selatan. Agar tidak melenceng dari cita-cita nasionalisme Indonesia, segala rumusan agenda kerja tersebut diukur dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. Tetapi, agenda kerja dirumuskan dahulu baru diukur dengan semangat Pancasila dan UUD 1945, bukan sebaliknya, sehingga sejak awal tidak ada pembatasan gagasan maupun persoalan. Katakanlah, bukan membatasi orang ingin membentuk kota baru, tapi apakah kota baru yang digagas itu bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.

Rumusan agenda kerja ini yang kemudian menjadi pegangan setiap warga Sumatra Selatan, termasuk menjadi kontrak politik, kontrak sosial, kontrak ekonomi, dengan para kepala daerah, investor, maupun penyiar agama dan pekerja kebudayaan.

Memang, rumusan agenda kerja ini tidak mungkin dapat disimpulkan dalam satu pertemuan, mungkin berulang kali, sampai didapatkan sebuah rumusan yang ideal. Cukup melelahkan pikiran, emosi, dan fisik. Tapi, itu mungkin lebih baik--damai dan cerdas--dibandingkan harus menjadi seorang cowboy seperti yang dialami Amerika Serikat, atau harus melahirkan Hitler, Bonaparte, Mussolini, seperti di Eropa.

Kesimpulan saya, jauh sebelum ilmu pengetahuan, ajaran agama, selera, membedakan identitas tiap warga Sumatra Selatan, kita sesungguhnya adalah ciptaan Tuhan YME yang datang ke Sumatra Selatan atau negeri Pasemah--suku bangsa di sekitar Bukit Barisan--ini untuk bergantung dengan sungai Musi. Seperti halnya sindiran penyair Yunen Asmara berbisik dengan saya, sekian puluh tahun lalu, "Lihatlah, sungai Musi menertawakan kita yang tengah berdebat soal makanan dan pakaian ini." [*] Dimuat di harian Sriwijaya Post dan Berita Pagi, Oktober 2007

0 Comments: