Selasa, 03 Juni 2008

Esai Wildres








T. WIJAYA
Wildres vs Indonesia

SEANDAINYA ibu saya tidak menikah dengan wong Palembang, abah saya, mungkin saat ini saya menetap di Belanda. Sebab saat itu, menjelang kemerdekaan Indonesia, ibu saya sudah bertunangan dengan seorang perwira Belanda. Tapi Belanda keburu diusir dari Indonesia.

Seandainya saya mau menikah dengan seorang gadis Belanda, dengan status berbeda agama, saya mungkin hari ini sudah menetap di Belanda. Tapi, saya takut dihukum Allah, seandainya anak-anak saya nanti tidak memeluk agama yang saya yakini.


Dan, Tan Malaka, berpikir sebaliknya, seandainya Indonesia tidak dijajah Belanda, misalnya Inggris, mungkin Republik Indonesia jauh lebih maju kualitas sumber daya manusianya. Lalu, seandainya lagi Indonesia tidak dijajah Belanda, mungkinkah para pemain sepakbola di Yogyakarta dan Solo, bermain dalam Piala Dunia 1938 meskipun atas nama Dutch East Indies.

Namun, pertanyaan lebih penting, seandainya Indonesia tidak dijajah Belanda, mungkinkah Indonesia berdiri pada tahun 1945? Sebab dijajah Belanda saja, sebagian rakyat Indonesia bangga menjadi “Londo hitam”, apalagi dijajah bangsa Eropa lainnya, yang memiliki kebudayaan yang lebih maju seperti Inggris atau Prancis. Jangan-jangan kesadaran orang Indonesia untuk merdeka lebih lamban tumbuhnya.

DAN, kini kita membenci Belanda, khususnya anggota parlemen Belanda yang bernama Geert Wilders, yang memproduksi film Fitna. Sebab film itu mengutip ayat Alquran tanpa melakukan kajian mendalam, dan dijadikan dalil buat memojokan umat Islam yang dinilai prokekerasan.

Semua orang Indonesia bereaksi; termasuk yang nonmuslim. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun bereaksi. Reaksi bukan hanya mencekal Geert Wilders, tapi juga seruan memboikot produk industri Belanda, termasuk menyerukan pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda

Bahkan, reaksi juga muncul seperti menyebutkan halal membunuh Geert Wilders, suatu reaksi yang sebetulnya membenarkan kampanye Fitna mengenai sikap umat muslim yang senang dengan kekerasan.

Lalu, dapatkah kita membuang Belanda dari kebudayaan Indonesia? Tampaknya sulit. Mulai dari kamus bahasa Indonesia yang banyak memasukkan kata-kata dari bahasa Belanda, hukum perdata dan pidana Indonesia yang banyak dipengaruhi hukum Belanda puluhan tahun lalu, serta ilmu pengetahuan yang dimiliki intelektual Indonesia yang banyak belajar di negeri Belanda, seperti sejarah, hingga penyanyi sekelas Ahmad Albar dan Harry Roesli yang banyak menimba ilmu dan pengelaman kreatif di Belanda.

Tampaknya, Geert Wilders memproduksi film Fitna sudah memperhitungkan Indonesia. Sebab dia yakin film itu akan menjadi perdebatan di Indonesia, sebagai negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di Indonesia, serta memiliki hubungan erat dengan Belanda. Apalagi, di mata international, di Indonesia sudah tumbuh kelompok Islam radikal alias para teroris.

Ada sesuatu yang diinginkan Geert Wilders dari Indonesia. Bila reaksi keras muncul, khususnya dari Indonesia, itu membuktikan opininya mengenai masyarakat muslim yang suka kekerasan. Jika tidak, itu juga membuktikan bahwa umat muslim di Indonesia masih menghormati bangsa Belanda, sebagai bangsa asing yang mewarnai kebudayaan Indonesia. Ibarat film milik Warkop, kondisi Indonesia terhadap Belanda, seperti “Maju Kena, Mundur Kena”.

SEANDAINYA saya menjadi Geert Wilders, saya bukan hanya memfitnah umat muslim dengan tuduhan Islam mengajarkan kekerasan, saya juga menuduh Islam tidak rasional, lantaran banyak intelektual dan pejabat pemerintah di Indonesia masih senang pergi ke dukun guna mengatasi persoalan kemiskinan dan politik di negeri ini. Sampai-sampai ada peramal yang masih keturunan Belanda, yang dikagumi di Indonesia.

SAYANGNYA, ada satu hal yang dilupakan Geert Wildres. Tindakannya membuat film Fitna, menimbulkan pertanyaan, apakah ajaran agama yang diyakininnya mengajarkan sesuatu buat mengadu domba umat manusia atau senang memancing kekerasan di dunia ini? Atau, Geert Wilders memang percaya setelah mati tidak ada surga dan neraka, maka ekspresikan kebebasan seutuhnya di dunia, seperti ajakan filsuf Michel Faucold? Entahlah. [*]

0 Comments: