Minggu, 08 Juni 2008

Narasi Manipulasi Tanah Lahat








T. WIJAYA
Sambil Latihan Tempur, Yon Zipur Pun Menggusur

PERUSAHAN perkebunan kelapa sawit PT Artha Prigel (PT AP)termasuk salah satu perusahaan yang menyebabkan sedikitnya munculnya 140kasus pertanahan di Sumatera Selatan (Sumsel). Setidaknya itu yang ada dalamdata Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang.
Bermodalkan dua surat dari Gubernur Sumsel Ramli Hasan Basri (dua periode:1988-1993 dan 1993-1998), bertanggal 2 Juni 1993 tentang izin pencadanganlahan dan 24 Juni 1993 tentang izin lokasi, perusahaan yang termasuk dalamResat Salim Aceh Group itu mendapatkan lahan seluas 5 ribu hektare.Akibatnya, lahan seluas 1.735 hektare milik 700 kepala keluarga (KK) di DesaTalangakar, Karangendah, Pagarbatu, Talang Sejemput, Padanglengkuas, dan Pulaupinang--semuanya ada di Kabupaten Lahat--digusur begitu saja tanpaterlebih dahulu bermusyawarah dengan para petani.
Padahal, berdasarkan surat dari Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Sumsel Djulkif Siregar, 20 September 1993, penggusuran itu hanya diperbolehkanuntuk tanah negara dan berupa alang-alang dan semak belukar. Bila ada lahanpetani di lokasi konsesi, harus dilakukan inclave jika mereka menolakdigusur. Penggusuran yang dilakukan sejak awal Desember 1994 itu tentu sajamendapat reaksi dari para petani. Mereka melakukan, misalnya, penghadangandatangnya buldoser ke lahan mereka. Namun, usaha mereka sia-sia lantaranratusan anggota ABRI dari Batalyon Zeni Tempur 12 Komando Daerah Militer(Yon Zipur 12 Kodam) II Sriwijaya melakukan latihan militer di lokasi lahanyang akan digusur. Selain itu, buldoser-buldoser merobohkan ribuan pohonkaret, kopi, dan tanaman produktifnya lainnya, dan itu dilakukan pada malamhari, pada saat petani beristirahat di rumah.
Karena tidak tahu harus mengadu ke mana, para petani akhirnya diam saja. Duabulan kemudian, saat buldoser-buldoser itu turut menggusur makam puyang(nenek moyang), para petani di enam desa tersebut tak dapat lagi menahanemosi. Mereka protes dan menghadang lajunya buldoser-buldoser. Mereka jugamenduduki base camp perusahaan dan berhadapan dengan ratusan aparat militerdan polisi.
Pemerintah Daerah (Pemda) Lahat akhirnya turun tangan. Bupati Lahat Solichin Daud (1993-1998) mengeluarkan surat kepada Artha Prigel, yang isinyamemerintahkan agar pihak perusahaan itu meng-inclave areal persawahan,menginventerasisasi tanam tumbuh, dan meng-inclave makam atau perkuburanpuyang.
Surat itu memang kemudian mampu meredam emosi para petani. Hanya sebatasitu. Nyatanya, hingga saat ini perusahaan tersebut tidak mengindahkan satupun dari tiga perintah Bupati. Sayangnya, Bupati Daud pun tidak bereaksihingga masa jabatannya habis, November 1998.
Kecuali tuntutan petani agak mereda, setelah turun surat itu, perusahaanbersangkutan hanya memberikan uang yang disebutkan sebagai ganti rugi kepadapara petani dengan perhitungan setiap hektare lahan dihargai Rp75 ribu.

Isu Kristenisasi
Tapi, keadaan itu tak berlangsung lama. Para petani kembali menuntut agarlahan adat yang telah mereka kelola selama puluhan tahun itu dikembalikanlagi. "Tanah adat itu tidak dapat dinilai dengan uang sebesar apa pun. Kamihanya ingin tanah itu dikembalikan," kata Kepala Desa (Kades) Padanglengkuas, Achmad Rifai Ya'cub, 28 Desember 1998.
Pada 15 Desember, ratusan warga menduduki base camp PT AP. Massa yang sudahmembawa berbagai senjata tajam itu kembali dihadapkan dengan ratusan aparatmiliter dan polisi yang menjaga infrastruktur perusahaan.
Keputusan pun diambil. Mereka berunding dengan pihak perusahaan, disaksikanBupati Lahat (yang baru) Harunata, 21 Desember 1998, di Pemda Lahat. PT APyang dipimpin Uuh Subhi Sidiek itu tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Tuntutan para petani agar lahan mereka dikembalikan dijawab oleh EstateManager (EM) PT AP, Kiswan Prihanto, dengan tiga jawaban, yakni pertama,perusahaan tidak mungkin menambah ganti rugi; kedua, para petani akandijadikan plasma apabila lahan yang masih mereka miliki diserahkan kepadaperusahaan; dan ketiga, lahan yang sudah ditanami kelapa sawit tidak mungkindiberikan kepada petani karena sudah menjadi kebun inti.
Selain Bupati Lahat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lahat,Muhammad Sohid, dan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Lahat, Tajuddin,dan para petani tetap kecewa. Sekian jam setelah pertemuan itu, ratusanwarga lantas mendatangi base camp perusahaan. Mereka lalu membakar meskaryawan berpintu tujuh dan merusak ratusan bibit kelapa sawit yang siapditanam. Sekian jam kemudian karyawan dan para pimpinan lapangan perusahaanminggat ke Jambi. Sepekan kemudian, kuasa hukum perusahaan Amin Kias, S.H.,dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lahat--tak ada kaitannya dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)--mengumumkan kerugian perusahaan sebesar Rp250 juta.
Aksi yang dikatakan oleh Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Lahat Letkol(Pol) Tamanihe Pontolumiu sebagai aksi spontan ini justru dikatakan olehKades Padanglengkuas, Achmad Rifai Ya'cub, sebagai aksi yang terkesandirekayasa oleh pihak tertentu. "Ada orang-orang yang memprovokasi warga.Apalagi, sebelum peristiwa para karyawan telah mengemasi barang-barangnya dibase camp," kata Ya’cub yang tidak dapat mengindentifikasi orang yangmemprovokasi aksi pembakaran itu.
Sebab, setelah peristiwa itu, tanda positif perundingan warga denganperusahaan malah kian menjauh. Bupati Lahat saat dihubungi hanya menjawabakan membuat tim untuk melakukan penelitian soal ini. "Kami akan membentuktim yang akan turun ke lapangan," katanya pada 31 Desember 1998. Sedangkankuasa hukum Kias akan melakukan tuntutan hukum terhadap para petani atasperistiwa tersebut. "Setelah saya bertemu dengan Pak Uuh, diputuskan PTArtha Prigel akan menuntut mereka yang telah membakar dan merusak basecamp," katanya.
Pernyataan kuasa hukum perusahaan itu ditanggapi LBH Palembang. "Itupernyataan ngaco. Sebelum mereka menuntut rakyat, terlebih dahulu merekadibawa ke muka hukum karena pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukanterhadap petani," kata Nurkholis, S.H., dari LBH Palembang. "Kami akanmendampingi para petani dari ancaman itu," sambungnya.
Kini, penghasilan para petani itu anjlok atau sama sekali hilang.Penghasilan puluhan juta setiap tahun dari berkebun kopi, karet, sertatanaman produktif lainnya seperti durian, jengkol, cempedak, jadi lenyap.Yang diberikan perusahaan kepada mereka kemudian adalah pekerjaan sebagaiburuh di perkebunan kelapa sawitnya dengan gaji Rp5.800 per hari, tanpamakan dan ongkos.
Selain itu, akibat pihak perusahaan menabur racun babi di lokasi perkebunandan tidak memasang pagar sebagai batas kebun, puluhan ekor sapi peliharaanpara petani mati keracunan. "Saat kami laporkan kematian sapi-sapi itu,pihak perusahaan diam saja," kata Zainal Abidin, warga Pagarbatu.
Saat memberikan ganti rugi terhadap para petani pun mereka memalsu tandatangan petani. "Masa warga saya yang buta huruf dapat membuat dua tandatangan?" tanya Ya’cub. Dan jumlah petani yanag diganti rugi pun terhitungfiktif. "Bahkan ada karyawan perusahaan yang disebutkan sebagai warga desakami. Makanya, saya menolak menandatangani laporan mereka," kata Ya’cublagi. Kias kembali membantah. Menurutnya, keterangan kades itu mengada-ada.
Nasib Nurdiana, S.H., warga Lahat yang ditunjuk sejumlah petani untukmemperjuangkan haknya, sangat tragis. Perempuan ini menjadi korban darikonflik yang kemudian muncul di antara sesama petani. Nurdiana, yangberagama Nasrani, agama minoritas di Lahat, diisukan akan melakukankritenisasi terhadap para petani yang haknya ia perjuangkan. Akibatnya,beberapa petani yang termakan isu tersebut, pada pertengahan 1996,mengeroyok Nurdiana. Mereka memukulinya hingga tulang pinggangnya retak.
Ada yang menduga, pengeroyokan terhadap Nurdiana ini adalah bagian darirekayasa perusahaan. "Saya juga diisukan memotong uang yang diberikanperusahaan kepada warga," kata Ya’cub lagi. Kias membantah bahwa isutersebut sengaja diciptakan perusahaan. "Dia itu tidak normal. Agama sajatidak jelas. Jangan dipercayalah omongan dia," tukasnya.
Langkah Nurdiana lainnya adalah juga mengirim surat pengaduan ke berbagaipihak, termasuk mengajak warga mengirim surat kepada Panglima ABRI (saatitu) Jenderal Feisal Tandjung. Akibatnya, ia dan Ya’cub sering menerimateror melalui telepon. "Jangan lagi mengirim surat ke Pangab kalau tidak maumenerima akibatnya," katanya menirukan ancaman itu. ***
(Palembang, 7 Januari 1999. Narasi ini saya tulis ketika menjadi wartawan Lampung Post, dan peserta Workshop Liputan Politik LP3Y)

2 Comments:

VaILiXI said...

inilah kebusukan keluarga suharto dulu..masalah alih lahan yang dipaksa, sehingga menyengsarakan penduduk asli..

Unknown said...

Bisa mnta no hp yg bisa di hubungi