Selasa, 03 Juni 2008

Narasi Pabrik Udang (1)








KASUS PT WACHYUNI MANDIRA (1)

Kerusuhan yang Direkayasa Dua Bulan Sebelumnya

IBARAT penumpang kapal Titanic, ribuan petambak plasmaudang windu di Desa Bumi Pratama Mandira, Mesuji, Ogan Komering Ilir,Sumatera Selatan, itu kini terkurung di geladak sebelum kapal tenggelam.


Ini adalah ekor dari kerusuhan yang terjadi pada 13 dan 15 November 1998 dikawasan pertambakan itu. Para petambak dianggap telah melakukan pembakaran dan perusakan, sementara ada yang menengarai peristiwa itu justru diprovokasi pihak perusahaan sendiri dibantu oleh aparat militer dengan niat untuk menyingkirkan para petambak yang menuntut perjanjian kerjasama dan akad kredit yang baru, serta pengembalian bagi hasil selama dua tahun. Bahkan disinyalisasi, perusahaan yang juga dimiliki Jenderal (Purn) Machmun Murod itu dianggap juga menciptakan konflik antara petambak dan karyawan perusahaan pengekspor udang windu terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Kerusuhan itu terjadi justru di saat perwakilan para petambak berada di Palembang, menunggu panggilan dari pihak Pemda Sumsel untuk melakukan perundingan lanjutan dengan pihak PT WM.

Sejak kejadian itu, para mahasiswa Palembang terus menerus melakukan aksiturun ke jalan, sementara di kantor Lembaga bantuan Hukum di Jakarta punbeberapa di antara warga Palembang itu melakukan aksi diam hingga pekankedua desember 1998 ini.

Dari aksi 2.500-an petambak pada Minggu, 15 November itu, beberapa fasilitas milik PT WM di bawah grup PT Gajah Tunggal milik Sjamsul Nursalim mengalami kerusakan: mess karyawan, gedung serba guna, kantor koperasi, perkantoran adminitrasi, peralatan komunikasi, tenda, dan pos-pos keamanan. Nilai kerugian atas kerusakan tersebut, menurut PT WM. Sebesar Rp100 miliar.

Para petambak juga merampas 8 speedboat dan 2 perahu bermesin, tapi padasore harinya, 2 speedboat dan 2 perahu bermesin, dapat diambil aparat keamanan.

Sekian jam setelah peristiwa, tiga batalyon aparat -- terdiri atas MarinirPanjang Lampung, Yon Infantri 141, Kodim 0420 Lampung, Korem Lampung, KoramilPematangpanggang, dan Dalmas Kepolisian Resort Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel -- mengepung dan mengisolasi desa pertambakan yang dibuka tahun 1995 itu. Esoknya, ribuan karyawan PT WM dan PT Depasena Citra Dramala juga milik grup Gajah Tunggal, yang lokasinya lebih kurang 10 kilometer dari PT WM dibentuk menjadi pam swakarsa. Mereka turut mengisolasi para petambak beserta ribuan jiwa anggota keluarganya. Selanjutnya, aliran listrik ke desa pertambakan diputuskan, dan suplai sembako dihentikan.

Kepada anggota pam swakarsa, Jayakesumah Arief, Manajer Sumber Daya Petambak PT WM, memerintahkan untuk memukul atau menganiaya para petambak yang ditemui baik di dalam maupun di luar lokasi pertambakan, asal tidak dibunuh.

Akibatnya, empat petambak yang tertangkap saat ingin keluar lokasi, dipukuldan dianiaya oleh anggota pamswakarsa. Mereka menyusul sorban sebelumnya, tiga petambak luka memar akibat pemukulan aparat keamanan, dan empat petambak kakinya terkena tembakan senjata aparat militer.

Awalnya, pihak perusahaan memancing emosi petambak dengan cara menundaperundingan, dan menghentikan suplai sembako untuk bulan November kepadapetambak. Perusahaan hanya menyuplai sembako buat petambak di jalur 1-6 diBlok 4. Sembako itu, seharusnya diterima pada akhir Oktober.

Menurut Wahyudi, 22 tahun, salah satu petambak yang berhasil meloloskan diribersama tiga petambak lainnya setelah berjalan kaki menyusuri sungai danrawa-rawa selama delapan jam aksi pengrusakan dan pembakaransebenarnya dimulai oleh sejumlah orang tak dikenal. Entah siapa, yang jelasbukan petambak.


Masih menurut Wahyudi, pada saat para petambak mau melakukan aksimimbar bebas di lapangan sepakbola, 15 November, ada empat lelaki takdikenal di atas panggung menarik terpal atap panggung, lalu menyiramnyadengan minyak, dan membakarnya.

Dua dari mereka kemudian melemparkan kayu dan batu ke arah kaca kantorKepala Desa. Melihat aksi tersebut, massa petambak mendekati panggung yangterbakar, lalu massa petambak yang semula mau melakukan mimbar bebasterpancing oleh aksi keempat lelaki itu. Mereka turut merusak kantor Kades.

Di depan kantor pusat inti plasma, seorang karyawan memancing massa untukmendatangi dirinya, dengan cara mengepalkan tangan ke arah massa. Melihatsikap karyawan tersebut, massa mengejarnya. Massa menjadi beringas, karenakaryawan tadi buru-buru masuk kantor. Pada saat bersamaan, menarakomunikasi di samping kantor roboh.

Menurut petambak lainnya, Kiswanto, 28 tahun, di dekat menara yang roboh ituada beberapa orang yang tidak dikenal -- juga bukan petambak. Saat didekati,mereka segera pergi dan mengajak petambak lainnya meneruskan aksi.

Karena penasaran, setelah kejadian itu, Kiswanto bersama beberapa petambakmelihat menara tersebut. Ternyata, robohnya menara itu bukan semata akibatdorongan, tapi 16 mur kaki menara seperti disengaja dilepaskan. Masih menurutKiswanto, 16 mur menara itu hanya dapat dibuka dengan menggunakan kuncipas nomor 28. "Kami tidak pernah disuplai perusahaan kunci pas nomor 28.Jadi itu bukan petambak yang merobohkan," tegasnya.

Sebelumnya, pada saat massa mendekati mess karyawan, seorang karyawanPT WM, Supri, mantan Kadit Sumber Daya Petambak, memprovokasi massaagar membakar dan mengambil barang-barang di mess tersebut.

"Hancurkanlah! Hancurkanlah rumah saya! Bakar! Ambil semuabarang-barangnya, jangan tanggung," kata Wahyudi menirukan provokasi Supri. Akibatnya, massa petambak yang sudah panas menjadi beringas. Mereka pun membakar mess karyawan tersebut.


Sabtu malam, 14 November, sebelum terbakarnya sebuah kantor cabang,Wahyudi juga melihat ada dua karyawan PT WM berjaket panjang hitamberada di sekitar kantor tersebut. Tak lama kemudian, saat Wahyudi ke dalamrumah, kantor itu telah terbakar.

Salah seorang perwakilan petambak yang berada di Palembang, Mulyadi, 35tahun, juga yakin kalau aksi itu direkayasa oleh pihak perusahaan. "Kalaudibakar, yang rugi kami juga, karena kalau perusahaan rugi atau tutup, kamitidak dapat menuntut mereka," katanya.

Menurutnya, tanda-tanda rekayasa sudah dirasakan sejak dua bulansebelumnya, pada saat diadakan perundingan di lokasi antara petambak denganpihak perusaahan yang disaksikan LBH Palembang, Tim Pemda Sumsel, danutusan Komnas HAM Clementino Dos Amaral.
Di tengah kesibukan perundingan, Arief, Manajer Sumber Daya Petambak tadi,memanggil para karyawan untuk berkumpul di kantor pusat, dan merekadiwajibkan membawa senjata tajam, seperti parang dan arit.

Arief mengatakan. kalau perusahaan tutup maka karyawan di-PHK. Karena itu,mereka harus berani menghadapi para petambak bila terjadi keributan yangmemungkinkan perusahaan tutup.

Tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa PT WM bakal menutuppertambakannya juga tampak dari penjelasan Kepala Bagian Umum PT WMAgus Ismail. Menurutnya, akibat peristiwa tersebut, pihaknya mengalamikerugian Rp100 miliar, sehingga 2.700 karyawannya terancam menganggurkarena perusahaan terancam bangkrut.

Mengenai jumlah kerugian itu, menurut Munarman, sangat tidak realitis.Berdasarkan penjelasan para petambak, selain hanya sebagian bangunan yangrusak, benda-benda berharga yang rusak cuma beberapa unit pesawat televisi,menara komunikasi, dan beberapa unit komputer. "Kerusuhan dan penjarahanyang terjadi saat Sidang Istimewa MPR lalu, menurut saya jauh lebih besar, apikerugiannya hanya Rp16 miliar lebih," kata Munarman.

Wartawan Disogok
Menurut petambak yang berhasil lolos dan mendapatkan informasi darikaryawan PT WM yang kebetulan keluarga atau teman mereka, provokasi inisecara getol dilakukan Arief beserta karyawan PT WM lainnya.


Bahkan, setiap kedatangan wartawan -- termasuk yang diajak pihakPerusahaan -- atau tim peninjau, karyawan PT WM melakukan aksi unjukrasadi Dermaga Tanah Merah, 8 km dari Desa Bumi Pratama Mandira, atau dilokasi lainnya.

Pihak perusahaan juga mengiring karyawan melakukan aksi ke Pemda Sumseldan DPRD, 23 dan 24 November, untuk selanjutnya mengirim surat ke SenatMahasiswa Universitas Tridinanti dan Taman Siswa Palembang.

Terhadap mahasiswa dan aktivis LSM yang membela kepentingan petambak,karyawan PT WM dan PT DCD melakukan intimidasi saat mereka meninjau kelokasi. Ini dialami dua mahasiswa Universitas Sriwijaya, Hendri Dunand danShofuan, serta Melky, aktivis Pijar Indonesia, saat meninjau ke lapanganbersama Tim Pemda Tk.I Sumsel yang dipimpin Kadit Sospol Kol. Inf.Karyono, 20 November.

Ketika mereka ingin menemui petambak dan keluarganya yang sakit, merekadihalangi para karyawan. Alasan yang dikemukakan, mereka yang sakit sudahdibawa ke rumah sakit.
Yang mengejutkan Dunand, yang juga aktifis Walhi, dia mendapatkan informasibahwa beberapa media massa telah diberi uang oleh pihak perusahaan berkisarRp50-100 juta per media massa. Informasi itu didapatkannya saat mengobroldengan para karyawan yang melakukan unjuk rasa. "Mereka mengatakannyasetelah saya katakan bahwa peristiwa tersebut akan mencuat ke tingkat nasionaldan international. Mereka langsung mengatakan itu tidak mungkin, sebabperusahaan telah membantu operasional beberapa media massa," kata Dunandyang tidak mendapatkan informasi nama-nama media massa yang dimaksud.
Namun, dari beberapa wartawan yang hadir ke lokasi, baik terbitan setempat maupun Jakarta, hanya Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Lampung Post,Tamtama, Kompas, TVRI, dan Republika yang memberitakannya.

Esoknya, 23 November, pihak perusahaan dan karyawannya mengedarkan duasurat edaran lewat aparat militer. Surat pertama dikeluarkan Direktur Eksekutif PT WM Sutrisno. Disebutkan bahwa peristiwa 15 November 1998 merupakan tindakan anarkis para petambak yang telah merugikan masyarakat luas. Karena itu, pihak perusahaan sangat sulit melanjutkan kemitraan dengan petambak, kecuali para petambak mau menyatakan penyesalan secara tertulis kepada perusahaan. Jika hingga 26 November 1998 para petambak tidak memberikanpernyataannya, pihak perusahaan memutuskan hubungan kemitraan. Dan yangtidak menandatangani adalah pelaku pengrusakan dan pembakaran fasilitasperusahaan.


Surat edaran kedua, atas nama karyawan PT WM, berisi ancaman yangmenyebutkan apabila petambak tidak menyerahkan pengurus BadanMusaywarah Plasma Sementara dan pelaku pengrusakan dan pembakarankepada aparat keamanan, maka distribusi beras kepada mereka tidak terjamin.***

*) Palembang, Indonesia 12 September 1998, saat menulis ini saya bekerja di Lampung Post dan peserta Workshop Liputan Politik yang diselenggarakan LP3Y

0 Comments: