Rabu, 04 Juni 2008

Esai Migrasi dari Indonesia








T. WIJAYA
Migrasi Pikiran dari Indonesia

Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati
Air matanya berlinang, bak intan yang kau kenang
Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan
Kini, ibu sedang lara, merintih dan berdoa…

MENGAPA kita masih bertahan di Indonesia sampai hari ini, meskipun hidup di Indonesia tidaklah bahagia. Selain miskin, penuh kecemasan, juga nyaris tidak punya jaminan masa depan?

Seekor binatang, apa pun jenisnya, jika tempat hidupnya tidak layak lagi, misalnya tidak tersedianya makanan yang cukup, akan melakukan migrasi atau mencari tempat baru. Saat pergi, tanpa tangis dan kesedihan di wajah mereka. Tempat yang dicari adalah tempat yang menjanjikan bagi kemakmuran hidup mereka.

“Itulah bedanya manusia dengan binatang. Binatang hanya mengandalkan insting, sementara manusia punya emosi, akal, dan punya keyakinan terhadap Tuhan,” kata seseorang kepada saya malam ini.

Tapi, bukankah beranjak dari emosi, akal, dan kepercayaan terhadap Tuhan, hidup di Indonesia justru merugikan.

Secara emosi, misalnya soal rasa cinta, Indonesia yang telah kita cintai sejak lahir, tidak pernah membalasnya dengan baik. Kita selalu disodorkan dengan berbagai persoalan. Mulai dari bencana alam, korupsi, kemiskinan, tindak kekerasan, hingga kelaparan.
Secara akal, dengan kondisi yang ada saat ini, kira-kira apa yang akan kita dapatkan bagi diri kita untuk hari esok atau masa depan? Ketidakpastian. Dan, ironinya, kita justru terus melakukan reproduksi manusia untuk hidup di Indonesia .
Lalu, berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan, bukankah kita telah menyiksa diri sebagai makhluk. Kita membiarkan diri kita bodoh, miskin, dan terpancing untuk melakukan tindakan berdosa seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu, melacur, dan melakukan kekerasan terhadap orang lain, istri, bahkan anak. Apakah Tuhan rela dan maklum dengan pilihan kita ini?

PULUHAN abad lalu, nenek moyang saya tidak mampu bertahan hidup di Tiongkok dan India . Para rajanya kejam. Akibatnya nenek moyang saya lari, dan menetap di tepi sungai Musi. Di tepi sungai Musi, dia membangun rumah, mencari makan, berkeluarga, hingga meninggal dunia.

Hari ini, James Taylor dari London , meninggalkan Inggris dan menjadi warga negara Indonesia . Dia tidak tahan hidup di Inggris, yang menurutnya, sudah sangat individualistik. Berbeda dengan di Indonesia yang masih menjunjung sikap kebersamaan.

Sebelumnya, Deco, seorang pemain sepakbola asal Brasil, menjadi warga negara Portugal lantaran hanya ingin bermain di tim nasional.

MUNGKINKAH kita bertahan di Indonesia ini lantaran sikap nasionalisme? Jika itu benar, makhluk apa itu nasionalisme?

Secara umum, nasionalisme itu dimengerti sebagai sikap cinta terhadap tanah air. Rasa cinta ini diwujudkan dengan sikap membela, menjaga, dan membangun bangsa dan tanah air.

Abah saya dan teman-temannya berperang melawan Jepang dan Belanda di tahun 1940-an, merupakan wujud dari rasa cintanya terhadap tanah air. Mereka tidak takut mati. Mereka korbankan harta benda. Lalu, setelah negara Republik Indonesia berdiri, dan setelah sejumlah temannya menjadi pejabat negara atau pengusaha sukses, mereka mengeluh. Bukan bersyukur. Saya menjadi ragu sikap nasionalisme yang mereka teriakan. Saya curiga, jangan-jangan mereka berperang bukan untuk kepentingan bangsa dan tanah air, tapi semata untuk meraih sesuatu yang besar seperti menjadi pejabat atau pengusaha, yang sebelumnya dirampas Jepang dan Belanda. Ini juga sama dengan mereka yang menjadi pejabat dan pengusaha, yang lupa dengan rekan-rekan seperjuangan.

Maaf, mungkin mereka dapat diibaratkan segerombolan ikan juaro, berebut makanan bersama, tapi tidak berbagi dengan yang lain bila mendapatkan makanan. Entahlah. Saya tetap hormat dan berterimakasih dengan mereka yang mampu mengusir penjajah Jepang dan Belanda.

Hari ini, seorang teman saya, siang dan malam mencari rezeki atau berbisnis di Indonesia . Tapi, anaknya disekolahkan ke luar negeri dengan biaya yang mahal. Lalu, setiap tahun, dia dan keluarganya berlibur dengan menghamburkan uang ratusan juta rupiah di luar negeri, yang merupakan hasil bernisnis di Indonesia .

“Kau harus bangga sebagai bangsa Indonesia . Tanah air kita ini kaya dengan sumber alamnya. Apa pun bisa ditanam, seperti kata Koes Plus itu,” kata teman saya ini.

JANGAN-JANGAN kita bertahan di Indonesia ini, lantaran kita penasaran belum mendapat giliran menjadi raja, penguasa, pengusaha, atau kita melanjutkan dendam nenek moyang kita yang pernah berjaya tapi kemudian jatuh. Sekali lagi, entahlah.

Asumsi itu muncul karena hampir setiap saat kita mengeluh. Jika kita benar-benar cinta Indonesia , seharusnya kita tetap bangga dengan kemiskinan yang ada, bangga dengan kekurangan yang ada, bangga dengan ketidakpastian, bangga dengan kekacauan yang ada.

Asumsi lainnya, sebenarnya kita melakukan migrasi atau pelarian. Tapi migrasi itu baru sebatas pikiran, tidak bersama jasadnya. Yang miskin dan menderita seperti saya, melakukan migrasi pikiran ke masa nenek moyangnya yang pernah hidup makmur dan jaya, atau migrasi pikiran ke negara-negara maju dan makmur seperti Eropa, Amerika, dan Arab Saudi.

Migrasi pikiran juga dialami mereka yang sukses sebagai warga negara Indonesia . Seperti yakin lembaga pendidikan terbaik berada di Amerika Serikat, souvenir terbaik buatan Tiongkok, mobil terbaik buatan Jerman, pakaian terindah dari Italia, keju terenak dari Prancis, ulama yang baik dari Arab Saudi, pastur yang hebat dari Italia, hingga pelatih sepakbola terbaik dari negara-negara Eropa dan Amerika Latin.

Jadi, berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, saya meragukan semua rakyat Indonesia masih memiliki rasa nasionalisme. Guna membuktikannya, mari kita buat penawaran bagi rakyat Indonesia untuk memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia atau tidak? Lalu, bagi yang miskin, akan diberi biaya transportasi dan biaya hidup sekian bulan di negara pilihannya, bila memutuskan pindah dari Indonesia .
Jika itu dilakukan, kita akan mendapatkan rakyat Indonesia yang benar-benar menyintai Indonesia . Lalu, guna mendapatkan sumber daya manusia yang unggul, kita membuka peluang bagi orang Eropa, Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, menjadi warga negara Indonesia. Bagaimana? Entahlah. [*] Dimuat Sriwijaya Post, Berita Pagi, dan Detikcom, April 2008

0 Comments: