Selasa, 03 Juni 2008

Esai Wong Sumsel








T. WIJAYA
Wong Sumsel dan Cara Makan Ikan


KEHADIRAN sungai Musi di Sumatra Selatan belum diketahui secara pasti sejak kapan, tapi kemungkinan besar sekian ribuan tahun sebelum masehi. Bahkan diperkirakan sungai Musi lebih dahulu dibandingkan manusia yang menetap di Sumatra Selatan. Namun nama Musi pada sungai yang kini panjangnya sekitar 460 kilometer—dari Barat ke Timur—itu tidak tahu sejak kapan digunakan, dan begitu pun artinya atau maknanya. Ada yang memperkirakan nama Musi berasal dari India, sebab ada nama Musi di pusat peradaban Hindu tersebut. Terakhir, ada yang menyebutkan nama Musi berasal dari bahasa Melayu yang berarti ikut atau aliran, seperti yang masih digunakan masyarakat Kayuagung.

Sungai Musi memiliki ratusan anak. Dari sekian ratus anaknya, terdapat delapan yang disebut sebagai sungai besar. Yakni sungai Komering, sungai Ogan, sungai Lematang, sungai Kelingi, sungai Lakitan, sungai Semangus Rawas, dan sungai Batang Hari Leko. Keberadaan sungai Musi bersama delapan anaknya itu yang akhirnya suatu masa Sumatra Selatan disebut sebagai negeri "Batanghari Sembilan".

Keberadaan sungai Musi ini, yang menyebabkan daerah Sumatra Selatan sejak ratusan abad lalu menjadi daerah yang hidup. Dia menjadi sumber kehidupan hewan, tumbuhan, hingga manusia. Jadi, tidaklah heran, di sekitar gunung Dempo, tepatnya di sekitar anak-anak sungai Musi, pernah hidup manusia dengan peradaban yang cukup maju pada waktu itu, yang kini terlihat melalui artefak berupa patung-patung prasejarah. Lainnya, di Sumatra Selatan banyak ditemukan sumber daya alam berupa minyak bumi, batubara, dan gas bumi, yang membuktikan daerah ini pernah hidup tumbuhan dan hewan sejak jutaan tahun lalu.

Selain sebagai sumber kehidupan, saya percaya sungai Musi digunakan manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan. Mereka mengadopsi karakter atau perilaku sungai Musi, termasuk perilaku makhluk yang lebih dahulu hidup. Buktinya, rupa hewan banyak diadopsi sebagai simbolisasi karakter atau fungsi manusia seperti ditemukan pada patung-patung prasejarah. Bukti lainnya, identitas diri manusia melalui ilmu kebatinan atau bela diri melalui hewan-hewan yang dinilai perkasa, seperti harimau atau gajah.

Dan, menurut saya, transformasi karakter hewan atau binatang kepada manusia, sampai sekarang masih berlangsung, terutama makhluk hidup yang berada di sungai Musi, seperti ikan. Beranjak dari keyakinan ini, saya mencoba membaca karakter manusia di Sumatra Selatan berdasarkan karakter ikan, terutama terkait soal cara memakan. Tentunya pembacaan ini memiliki sejumlah kelemahan, dan akan banyak mendatangkan kritik.


Cara Makan Ikan

IKAN Semah (Tor douronensis) yang hidup di sungai Musi bagian Ulu, tepatnya di sekitar gunung Dempo, merupakan ikan yang memiliki tubuh yang indah. Warnanya sisik yang putih atau merah keemasan, sangat enak dipandang. Mereka yang cenderung bertubuh besar ini, memang suka berkelompok, tapi dalam jumlah yang tidak besar. Ikan ini memakan apa saja.

Lalu, agak kehilir, kita akan menemukan ikan purba nan buas seperti ikan gabus (Channa striata) dan ikan toman (Channa micropeltes). Ikan yang hidup di sungai, rawa, danau, sawah, hingga di parit-parit ini, memakan makhluk hidup apa saja, seperti serangga, ikan kecil, kodok, atau berudu. Jadi, tak heran, ikan gabus dan ikan toman menjadi hama bagi komunitas ikan air tawar lainnya. Bahkan gabus atau toman yang telah berukuran besar, dapat mencapai panjang sekitar 1-2 meter, juga berbahaya bagi manusia. Dalam sejumlah kasus ditemukan sejumlah tangan atau kaki manusia pernah digigit toman atau gabus.

Hebatnya, mereka mampu hidup beberapa menit di darat, tanpa membutuhkan air. Mereka memiliki organ labirin, yang mampu mengambil udara secara langsung. Pada musim kemarau, mereka mampu hidup berbulan-bulan atau bahkan bertahun dengan cara berendam di dalam lumpur.

Sama seperti ikan gabus dan ikan toman adalah ikan betok (Anabas testudineus). Bedanya, ikan ini memiliki ukuran yang lebih kecil, maksimal panjangnya 25 centimeter, lalu mereka pun hidup di pinggiran sungai Musi atau anaknya, seperti di rawa-rawa, kolam atau parit. Betok juga mampu bertahan hidup di darat untuk sekian lama. Bahkan, kecepatan berjalan di darat lebih cepat dari gabus atau toman. Insangnya yang digerakan dengan dimekarkan seperti menjadi "kaki depan" betok saat bergerak.

Kian hilir, tepatnya pada sungai Musi yang melintasi kota Palembang, kita akan menemukan gerombolan ikan juaro (Pengasius). Meskipun ikan ini juga ditemukan di sejumlah daerah agak ke hulu dari sungai Musi. Ikan yang masuk ordo Osthariophysi, seperti ikan baung, termasuk ikan yang paling rakus. Selain memakan ikan kecil, serangga, ikan ini juga memakan kotoran manusia dan buntang. Jadi, dapat dikatakan ikan juaro selalu hadir di sekitar manusia.

Selain jenis ikan di atas, cara makan yang menarik dari ikan yang hidup di sungai Musi atau perairan yang airnya berasal dari sungai itu adalah ikan seluang bada (Rasbora daniconius) dan ikan sepat (Trichogaster pectoralis). Ikan ini suka bergerombol dan mereka juga memakan apa saja, meskipun tidak sebuas atau serakus ikan gabus, toman, semah, juaro, atau betok.


CARA makan ikan-ikan air tawar yang hidup di sungai Musi, atau yang berada di perairan yang dialiri sungai Musi, di atas, kita tranformasi kepada karakter manusia, kita akan menemukan manusia seperti ikan semah, ikan gabus, ikan toman, ikan betok, ikan seluang, atau ikan sepat. Karakter ini lebih ditekankan pada caranya mencari makan atau profesinya dalam kehidupan kekinian.

Manusia yang berpenampilan menarik, anggun, memesona banyak orang, dan suka pamer, tapi dapat memakan apa saja, sehingga membuat kita terkejut terhadap kontradiksi antara penampilan dan cara makannya, dapat dibaratkan ikan semah. Kelemahan manusia ini mereka gampang ditaklukan, lantaran tidak jagoan, atau hanya mengandalkan daya tarik fisiknya.

Lalu, manusia yang suka menunjukkan dirinya jagoan, memakan apa saja. Kian besar kian rakus dan jagoan, serta tidak peduli dengan penampilan dirinya, dan lingkungannya, dapat diibaratkan ikan gabus atau ikan toman. Manusia seperti ini tidak membutuhkan komunitas, tapi mereka membutuhkan pengakuan bahwa mereka harus ditakuti. Manusia seperti ini sulit ditaklukan. Mereka dapat hidup meskipun lingkungannya yang didiaminya dalam kondisi sulit.

Manusia yang rakus, jagoan, dan hidup dalam kondisi apa pun, tapi tidak mau menunjukkan dirinya kepada banyak orang, dapat diibaratkan seperti ikan betok. Manusia jenis ini pun tidak peduli dengan penampilan diri maupun lingkungan tempat hidupnya.

Kemudian, manusia yang senang bergerombol, tambeng, dan makan secara bersama, serta memakan apa saja, termasuk jenis ikan juaro. Manusia jenis sulit sekali dimusnahkan, sebab meskipun tidak jagoan, manusia ini mampu mereproduksi dirinya sedemikian rupa. Mereka pun tahan terhadap segala jenis arus, suara, dan limbah atau racun perkotaan. Sementara komunitas yang jauh lebih lemah dari juaro, yakni manusia seperti ikan seluang. Apapun jenis makanan yang diberikan akan diburu komunitas ini, meskipun itu hanya segumpal air ludah. Tapi, ada komunitas seperti ini yang tidak mau berani tampil di muka umum, atau hanya bermain di pinggiran. Mereka ini mungkin termasuk jenis ikan sepat.


Makanan Kapitalis

JADI, dapat disimpulkan karakter manusia yang meniru cara makan ikan yang hidup dari air sungai Musi, secara moral tidak dapat dibanggakan. Selain memalukan, juga menjadi parasit, mengancam keberadaan manusia lainnya.


Pertanyaannya, apakah manusia yang hidup di Sumatra Selatan semuanya meniru cara makan ikan yang hidup di sekitar dirinya, atau sebaliknya ikan-ikan itu meniru cara makan manusia yang hidup di sekitar dirinya? Tidak gampang menjawabnya, sebab belum ada satu pun penelitian mendalam mengenai cara makan ikan dengan manusia yang hidup dalam lingkungan yang sama.

Meskipun begitu, saya membaca fenomena manusia transisi di Sumatra Selatan memiliki kesamaan dengan karakter ikan yang hidup di sungai Musi, setidaknya dalam cara makannya. Karakter yang paling menonjol yakni tidak atau malas berbagi dengan orang lain.


Kecenderungan yang ada, yakni menikmati apa yang didapat secara individu, meskipun makanan itu didapat secara bersama-sama seperti halnya ikan juaro, seluang, atau sepat. Bahkan, tidak akan berhenti sebelum makanan itu habis dilahap.

Dari yang berpenampilan yang menarik maupun berpenampilan buruk, dari yang jagoan maupun yang penakut, semuanya memburu makanan, dan demi kepentingan pribadi. Tidak peduli makanan itu halal maupun tidak halal. Bahkan, tidak jarang mereka pun akan memakan kawan atau anak-anaknya, seperti yang dilakukan ikan gabus dan ikan toman.
Yang mengejutkan, semua jenis ikan di atas, diakui sangat enak buat disantap. Bahkan, ikan juaro yang suka makan kotoran manusia atau buntang itu, dipercaya rasanya paling enak di antara ikan-ikan lainnya. Hanya, yang harus diperhatikan yakni cara menangkap atau menyiangnya. Ini tentu berbeda dengan cara menangkap ikan mas atau ikan mujair.

Maka, tidaklah heran, seganas dan serakus apa pun manusia di Sumatra Selatan, sejak dahulu gampang ditaklukan para pendatang, yang tentunya telah mengerti karakter mereka. Umumnya dengan cara diracuni, ditipu, atau dengan kelembutan. Jarang sekali manusia di Sumatra Selatan ditaklukan dengan cara-cara kekerasan. Ini terbukti dengan kuatnya pengaruh ajaran Budha dan Islam di Sumatra Selatan. Mereka masuk dengan cara yang lembut, menyejutkan, sehingga manusia di Sumatra Selatan menerima dua ajaran tersebut. Ini berbeda dengan kekuatan Hindu, yang cenderung datang dengan kekerasan, sehingga mereka tidak mampu bertahan lama di Sumatra Selatan.

Cara ini pula yang dilakukan VOC dan kolonial Belanda. Setelah letih dengan cara-cara kekerasan, mereka pun menawarkan konsep damai atau bahkan menampilkan karakter orang baik, buat menguasai manusia di Sumatra Selatan. Hanya dengan cara memberi gaji, pangkat, atau gaya hidup ala Eropa, manusia di Sumatra Selatan rela simbol kekuasaan mereka sebelumnya dibubarkan.

Beranjak dari fakta itu, saya percaya manusia di Sumatra Selatan hanya dapat ditaklukan oleh kekuatan kapitalis, dibandingkan kelompok fundamentalis. Mengapa? Sebab hanya kekuatan kapitalis yang memiliki kemampuan bermain lembut, dan menipu. Dengan cara mengusung isu demokrasi, kemanusiaan, kekuatan kapitalis lebih dapat diterima. Apalagi, kaum kapitalis paling pintar menjanjikan makanan enak atau gaya hidup yang enak. Sementara kelompok fundamentalis yang berkarakter keras, lebih sulit menaklukan manusia di Sumatra Selatan. Apalagi mereka tidak mampu menjanjikan makanan enak atau gaya hidup enak. Janji yang diberikan kaum fundamentalis umumnya bersifat jauh ke depan, seperti surga atau kondisi yang enak di masa mendatang.


Teror Antu Banyu

TETAPI, ada makhluk di sungai Musi yang tidak dapat ditaklukan siapa pun. Bahkan, mereka ini beratus-ratus tahun menjadi teror bagi kehidupan di sepanjang sungai Musi. Makhluk itu adalah Antu Banyu atau yang berarti "Hantu Air".


Cara kekerasan maupun kelembutan terbukti tidak mampu menaklukan atau menghancurkan Antu Banyu. Mereka terus mengincar manusia, tidak peduli anak-anak, orang dewasa, perempuan maupun laki-laki, kaya atau miskin, pribumi atau bule, penjahat atau orang baik, buat disantap dengan cara mengisap darahnya melalui umbun-umbun di kepala.

Jadi, kalau Antu Banyu diibaratkan manusia, dia merupakan sosok yang dikenal misterius, sadis, kejam, dan sulit ditaklukan atau ditangkap. Mereka juga tidak suka menonjolkan dirinya. Tertutup. Dan, selalu muncul sendirian. Tidak bergerombol atau berkelompok seperti ikan-ikan di sungai Musi.

Pertanyaan pentingnya, apakah Antu Banyu merupakan makhluk yang menjaga keberadaan sungai Musi, atau sama seperti ikan-ikan yang disebutkan di atas, sebagai makhluk yang secara moral tidak pantas ditiru? Penjelasan yang ada, kaum agamis menyatakan Antu Banyu merupakan sosok jin yang jahat atau syetan, sementara kelompok positivisme menyebutnya sebagai binatang purba. Sayang, sampai sekarang sosok Antu Banyu tidak dapat dimusnahkan atau ditangkap, dikurung, sehingga kita mampu melihat dan mempelajari sosok fisiknya.

Jadi, mungkinkah di Sumatra Selatan ini memiliki manusia seperti Antu Banyu? Jika ada, merekalah yang abadi menjadi teroris bagi masyarakat Sumatra Selatan, yang tidak tergantung siapa atau kelompok yang menjadi penguasa. Untungnya, mereka ini hanya senang menjadi teroris, dan tidak punya ambisi menjadi penguasa. Ini terbukti mereka tidak menyantap habis ikan semah, ikan gabus, ikan toman, ikan betok, ikan juaro, ikan sepat, atau ikan seluang. Mereka hanya memangsa manusia yang senang menyantap ikan-ikan tersebut.


BERANJAK dari cara makan makhluk hidup di sungai Musi, mungkin kita dapat membayangkan bagaimana masa depan Sumatra Selatan. Masa depan yang bergantung pada makanan. Hidup Abraham Maslow! [*] Dimuat majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir dan Lampung Post

0 Comments: