T. WIJAYA Baku Hantam Palembang Sriwijaya Post, manajemen, pertikaian, dan kristenisasi. SEBUAH sedan warna merah meluncur di halaman parkir harian Sriwijaya Post di Jalan Kapten Abdul Rivai 88 Palembang. Dari dalam mobil turun pemimpin umum Sriwijaya Post, Fauzi Achmad, diikuti seorang wartawannya Muhammad David Asnadi dan Sukma Wijaya, seorang kerabat dekat Fauzi. Mereka baru pulang dari mengurus suatu kecelakaan dan langsung menuju ke ruangan Fauzi yang terletak di lantai satu. Beberapa saat kemudian Fauzi menerima telepon dari Moch. S. Hendrowijono, wakil pemimpin redaksi Sriwijaya Post, yang mengajaknya bertemu. Fauzi menolak. Merasa ditolak lewat telepon, Hendro merasa kurang enak, dan tak lama mengetuk pintu ruang Fauzi. Hendro minta Fauzi berbicara dengannya. Hendrowijono salah seorang wartawan senior harian Kompas, Jakarta, yang ditugaskan memimpin Sriwijaya Post. Hendro dikenal luas karena liputannya soal kereta api. Dia mungkin wartawan yang paling kenal seluk-beluk kereta api Indonesia. Fauzi menolak bicara. Sukma Wijaya malah maju dan mendorong Hendro agar keluar dari ruangan. Hendro menanyakan siapa Sukma. Tapi Sukma malah menonjok pelipis Hendro. Wartawan separuh baya ini tak terima. Mereka pun berkelahi. “Fauzi dan saya diam,” kata Asnadi kepada saya. Lalu, sebuah batu bata menghantam kaca ruangan Fauzi. Tampaknya seorang karyawan bagian umum melempar batu itu. Suasana kian kacau. Sukma dan Hendro berkelahi secara terbuka. Perkelahian baru berhenti setelah Fauzi menarik Sukma, dan seorang petugas pengamanan Sriwijaya Post menarik Hendro. Namun sekian detik kemudian Hendro mencegah sejumlah karyawan yang marah dan mau menyerang Sukma. Sukma, Fauzi, dan beberapa karyawan lainnya keluar. Mereka menuju bandara Sultan Machmud Badaruddin II, Palembang, mengantar Fauzi yang sore itu mau berangkat ke Jakarta. Belum sampai ke bandara, sebuah mobil polisi menghentikan mereka. Fauzi diminta ke kantor polisi Palembang sehubungan dengan laporan Hendro. Hari itu juga, Hendro membuat pengumuman yang isinya memerintahkan 12 karyawan Sriwijaya Post, antara lain Asnadi, Sirodjudin, Yal Azis, F.J. Adjong, Salman Rasyidin, Abadi Tumanggung, Forda Dayan, Reza Pahlevi, Muhammad Djauhari, Arief A. OKI, Ismetri Radjab, dan Safnijal, tak boleh masuk kerja. HARIAN Sriwijaya Post pertama terbit pada 1 Oktober 1987. Kehadirannya cukup menyentak masyarakat Palembang lantaran kota besar ini tak mempunyai suratkabar yang cukup serius. Keraguan segera muncul ketika Sriwijaya Post baru terbit lagi 16 hari kemudian. Nasib Sriwijaya Post timbul dan tenggelam. Soleh Thamrin, salah seorang pemilik saham dan motor suratkabar ini, berusaha mencari investor. Salah satu pihak yang dihubunginya harian Kompas Jakarta. Setelah menerima sejumlah masukan dari Abadi Tumanggung, koresponden Kompas di Palembang, dan Valens Goa Doy, wartawan senior Kompas, Sriwijaya Post menjalin kerja sama dengan Kompas sejak 2 April 1988. Dalam buku Kebangkitan Pers Daerah tulisan Ahmad Humaidi, disebutkan Soleh Thamrin meminjam sejumlah uang dari Kelompok Kompas Gramedia, dan pengelolaan Sriwijaya Post dipegang sepenuhnya oleh kelompok ini. Sementara Zainal Abdi, juga pemilik saham dan pemimpin redaksi, diminta mundur. Kompensasi dana buat Zainal Abdi diserahkan sepenuhnya kepada Soleh Thamrin. Tapi tak jelas angkanya. Diperkirakan saham yang dimiliki Soleh Thamrin sebesar 33 persen, sedangkan Kelompok Kompas Gramedia sebesar 67 persen. Saham mayoritas diperkirakan berasal dari saham milik Zainal Abdi sebesar 22 persen, dan anggota keluarga Soleh Thamrin sebesar 43 persen. Dalam perkembangan selanjutnya saham Soleh Thamrin tinggal dua persen. Pada 23 Mei 1988, Sriwijaya Post terbit dengan wajah baru. Penampilannya meniru harian USA Today, delapan halaman, dan tiap halaman dibagi tujuh kolom. Kantor redaksi pindah ke sebuah gedung berlantai empat di Jalan Kapten A. Rivai 88 Palembang. Namun, kepastian kerja sama baru terlihat pada 12 Oktober 1988, pada saat masthead redaksi mencantumkan Soleh Thamrin sebagai pemimpin umum dan redaksi, dan Lukas Widjaya dari Kelompok Kompas Gramedia sebagai pemimpin perusahaan. Tak ada penjelasan resmi dari Kelompok Kompas Gramedia. Hanya, seperti dikutip Hamzah Ruslin, yang kini jadi salah seorang wakil pemimpin redaksi, saat selamatan kantor baru Sriwijaya Post, orang nomor satu Kompas Jakob Oetama sempat berujar, “Kompas lewat Sriwijaya Post turut berpatisipasi mengembangkan pembangunan di Sumatra Selatan.” Sebagian awak lama Sriwijaya Post tetap dipekerjakan, tapi tak satu pun menduduki jabatan penting. Semuanya bekerja di bawah pasukan baru yang dikirim oleh Kelompok Kompas Gramedia. Kelompok media ini mendatangkan sejumlah koresponden Kompas dari berbagai daerah di Indonesia antara lain Mathias Doeski Pandoe (Sumatra Barat), Zaili Asril (Riau), Max Margono (Jawa Timur), Yamin Indas (Nusa Tenggara Barat), Basuki Subianto (Jawa Timur), T.D. Asmadi (Jakarta), H. Fahmi Myala (Ujungpandang), serta R. Satrio Hutomo dan J. Soetardjo. Mereka dipimpin salah seorang wartawan kepercayaan Jakob Oetama, Valens Goa Doy, yang juga banyak memimpin anak-anak perusahaan Kompas di daerah lain. Yang ditunjuk sebagai wakil pemimpin redaksi Marthias Doeski Pandoe. Tiga tahun pertama hasilnya cukup lumayan. Tiras Sriwijaya Post, naik dari kisaran 8.000 eksemplar pada 1988 hingga 42 ribu eksemplar pada 1991. “Kita bekerja dengan bahagia, dan berjalan dengan visi dan misi untuk ikut menghidupkan Palembang dan mencerdaskan masyarakatnya,” kata reporter Dheny Kurnia. Humaidi, mantan wartawan Sriwijaya Post, dalam buku Kebangkitan Pers Daerah itu, menyebutkan Sriwijaya Post sudah break even point pada 1990 karena sirkulasinya sudah mencapai 35-40 ribu eksemplar. Kondisi itu, kata Humaidi, ditunjang oleh perkembangan iklan. Jika tahun pertama hanya 3,2 persen, tahun 1989 sebesar 10,5 persen, tahun 1990 sebesar 17,3 persen, dan pada 1991 mencapai 23,2 persen. Dheny Kurnia mengatakan menjadi pekerja Sriwijaya Post ketika itu sangat membahagiakan. Selain suasana kerja yang kondusif, gaji yang diterima lumayan baik. Gaji reporter berkisar Rp 250-300 ribu, dan redaktur berkisar Rp 450-500 ribu. Bandingkan dengan harga beras di Palembang saat itu yang rata-rata Rp 1.000 per kilogram atau ongkos oplet sebesar Rp 200 sekali jalan. Tapi pada 1992, bagai hujan di siang hari bolong, terjadi eksodus besar-besaran di jajaran redaksi ke harian Pelita Jakarta. Eksodus yang membawa puluhan wartawan ini dipimpin wartawan Zaili Asril, Arie Batubara, dan Suwiditomo. Menurut Hamzah Ruslin, alasan para wartawan itu pergi lantaran ada tawaran gaji yang menggiurkan dari harian Pelita. Namun, Humaidi menambahkan bahwa Sriwijaya Post di bawah kepemimpinan Bob Hutabarat, wakil pemimpin redaksi, yang menggantikan Anwar Hudijono, punya cukup perselisihan antara atasan dan bawahan. Banyak wartawan yang baru diangkat langsung menduduki jabatan redaktur. Hutabarat menyingkirkan redaktur yang sebelumnya dianggap mengenal visi dan misi Sriwijaya Post. Para redaktur baru ini mendominasi pengelolaan sehari-hari. Ide dan gagasan mereka mewarnai penampilan Sriwijaya Post. Anwar Hudijono seorang koresponden Kompas di Surabaya. Tahap awal pengelolaan harian Surya dia banyak terlibat. Dia merupakan wakil pemimpin redaksi Sriwijaya Post ketiga setelah Marthias Doeski Pandoe. Sebelumnya Zaili Asril dan Moch. Hendrowijono. Setelah Bob Hutabarat, Moch. Hendrowijono kembali menjadi wakil pemimpin redaksi. Saat Sriwijaya Post terbit kembali, setelah mati suri selama 1,4 tahun, wakil pemimpin redaksi dipegang J. Soetardjo. Soetardjo wartawan yang turut membidani Sriwijaya Post saat pertama dikelola Kelompok Kompas Gramedia. Eksodus Pelita itu menimbulkan banyak posisi kosong. Hasilnya, banyak terjadi perombakan jajaran redaksi dan dilakukan rekrutmen reporter baru. Hamzah Ruslin, misalnya, yang sebelumnya bekerja di bagian produksi, merintis menjadi reporter. PERTENGAHAN 1992 berhembus isu di kalangan karyawan tentang keuntungan tahunan Sriwijaya Post yang diperkirakan mencapai Rp 5 miliar. Isu itu membuat para karyawan berharap saham 20 persen yang dimiliki mereka melalui Yayasan Karyawan Sriwijaya Perdana dapat mencairkan keuntungan itu. Memang sesuai ketentuan pemerintah, perusahaan media diminta menyisihkan 20 persen sahamnya buat karyawan. Isu ini jadi bahan diskusi hampir setiap hari. Keuntungan itu tak kunjung cair. Keresahan muncul di kalangan karyawan. Perusahaan untung tapi karyawan tak kebagian. Pada saat bersamaan, harian Sriwijaya Post jadi koran yang cukup kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah Sumatra Selatan. Salah satu persoalan yang sering disorot Sriwijaya Post adalah proyek reklamasi Jakabaring di Palembang Ulu, yang saat itu direncanakan untuk pengembangan Palembang di bagian hulu Sungai Musi. Kota Palembang terbagi dua. Palembang Ilir yang terletak di bagian hilir Sungai Musi dan Palembang Ulu untuk sebaliknya. Semasa pemerintahan Kesultanan Palembang, tiga abad yang lalu, pusat pengembangan kota dan aktivitas ekonomi banyak dilakukan di Palembang Ilir. Pemberitaan terhadap proyek yang melibatkan putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias mbak Tutut, membuat berang Gubernur Sumatra Selatan Ramli Hasan Basri. Hubungan Sriwijaya Post dengan pemerintah daerah mulai menegang. Maklum zaman itu kuat-kuatnya pemerintahan diktator Soeharto. Tak sedikit kalangan birokrasi yang menumpang kekuatannya. Sadar akan masalah itu, awal 1993, Kelompok Kompas Gramedia berusaha membangun hubungan hangat dengan birokrasi Sumatra Selatan. Salah seorang wartawan Kompas J. Soetardjo diberi tugas menanganinya. Gubernur Ramli Hasan Basri secara tertutup juga melakukan hal yang sama. Entah bagaimana, hubungan itu berbuntut dengan ide memasukkan orang yang dianggap dapat memperbaiki hubungan dengan Ramli Hasan Basri ke dalam struktur Sriwijaya Post. Maka, pada 4 Agustus 1993, seorang mantan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan yang kemudian menjadi pengusaha, Fauzi Achmad, membeli 10 persen saham Sriwijaya Post. Saham itu didapat dari individu Nenden Rostarina sebesar dua persen, Anton Komara sebesar dua persen, dan Mamak Sutamat sebesar enam persen. Ketiganya karyawan Kelompok Kompas Gramedia dan namanya kemungkinan dipinjam buat kepemilikan saham. Harga seluruh saham itu sebesar Rp 250 juta. Akhirnya melalui surat keputusan direksi PT Sriwijaya Perdana tertanggal 9 September 1993, diangkatlah Fauzi Achmad menggantikan Soleh Thamrin sebagai pemimpin umum dan wartawan Pramono B.S. menggantikan posisi Soleh Thamrin sebagai pemimpin redaksi. Thamrin duduk sebagai salah seorang komisaris PT Sriwijaya Perdana, penerbit Sriwijaya Post. Pramono mantan koresponden Kompas di Semarang. Dia juga pernah ditugaskan memimpin harian Bernas di Yogyakarta yang juga dikuasai Kelompok Kompas Gramedia. Sementara untuk melaksanakan tugas sehari-hari redaksi ditunjuklah Moch. Hendrowijono sebagai wakil pemimpin redaksi. Hendrowijono bukan orang baru bagi Sriwijaya Post. Pada 1990, dia pernah menjabat posisi yang sama saat mana dia mengirimkan wartawan Sriwijaya Post F.J. Adjong meliput ibadah haji di Arab Saudi. Kebetulan terjadi peristiwa Mina saat ratusan haji Indonesia tewas dalam sebuah kepanikan sehingga beritanya menarik perhatian pembaca Sriwijaya Post. Bagi karyawan Sriwijaya Post, Fauzi Achmad juga bukan sosok yang asing. Dia dikenal sebagai direktur PT Sarana Sumsel Ventura yang berkantor di Palembang, sebuah lembaga keuangan yang dibentuk Departemen Keuangan dan pemerintah daerah Sumatra Selatan. Selain itu Fauzi Achmad pernah menjadi calon anggota parlemen asal Sumatra Selatan melalui Golongan Karya pada pemilihan umum 1992. Menurut Muhammad David Asnadi, sebelum jadi pemimpin umum, Fauzi dikenal sebagai narasumber berbagai seminar di Palembang. Dia juga rajin menulis artikel mengenai persoalan ekonomi dan sosial di Sriwijaya Post. “Fauzi adalah pengusaha yang sukses, kebanyakan usahanya tidak di Palembang. Dia kaya sebelum masuk ke Sriwijaya Post. PT Sarana Sumsel Ventura lebih sebagai kepeduliannya pada ekonomi rakyat kecil. Dia juga seorang religius,” kata Asnadi. “Setahu saya, Jakob Oetama yang menghubunginya untuk meminta menjadi pemimpin umum Sriwijaya Post,” kata Asnadi, mengacu pada chief executive officer Kelompok Kompas Gramedia. Saat saya hubungi di rumahnya di Palembang, Fauzi menceritakan keputusannya masuk ke Sriwijaya Post bukan semata demi materi. Itu lebih pada kepeduliannya pada masyarakat Sumatra Selatan agar mempunyai harian yang bisa berjalan lancar. Tapi isu pembagian keuntungan terus berkembang di kalangan karyawan, satu, dua, hingga tiga bulan. Fauzi Achmad tampak tenang. Tapi, menurut Dheny maupun Asnadi, memasuki bulan keempat, Fauzi mulai mengritik manajemen Sriwijaya Post. Katanya, setiap kali rapat dengan karyawan, sistem keuangan Sriwijaya Post tak transparan. Misalnya soal pemasukan iklan dari Jakarta, laporannya tidak sesuai saat diterima di Palembang. Dia memperkirakan keuntungan iklan Sriwijaya Post mencapai Rp 6 miliar tapi yang dilaporkan ke Palembang kurang dari angka itu. Bahkan, seperti dikutip kantor berita Antara dalam pemberitaan berjudul “Kemelut di Sriwijaya Post, Kedua Pihak Saling Tuduh Gunakan Preman” pada 18 Januari 1996, Fauzi mengatakan PT Indopersda Prima Media memungut management fee terhadap iklan yang masuk ke Sriwijaya Post. Baginya, semua itu akibat manajemen Sriwijaya Post sepenuhnya dijalankan PT Indopersda Prima Media yang merupakan anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia buat menjalankan suratkabar-suratkabar daerah milik mereka. Pada sebuah rapat, seperti yang didengar Dheny, Fauzi Achmad menganggap dirinya hanya “boneka” meskipun dia sudah memasukan dana sebesar Rp 250 juta. Secara pribadi, dia ingin posisinya sebagai pemimpin umum Sriwijaya Post berfungsi. Bukan sekadar pajangan. Pernyataan Fauzi mendapat dukungan dari sejumlah karyawan. Apalagi bila dikaitkan dengan keinginan mereka untuk meraih keuntungan dari 20 persen saham karyawan. PADA 12 Oktober 1995 jabatan pemimpin redaksi yang sebelumnya dipegang Pramono B.S. diberikan kembali kepada Soleh Thamrin melalui surat keputusan direksi PT Sriwijaya Perdana yang ditandatangani direktur utamanya Ansel Da Lopez. Da Lopez juga salah seorang wartawan Kompas yang bertugas menangani Sriwijaya Post. Da Lopez pernah bertugas lama sekali buat Kompas khusus meliput Istana Negara. Dia juga pernah jadi anggota parlemen mewakili Golongan Karya. Nah, ketegangan terus berkembang. Karyawan mulai terpecah. Pro-Fauzi, pro-Kelompok Kompas Gramedia, atau yang mengambil posisi tidak berpihak. Menghadapi tudingan Fauzi, wakil pemimpin redaksi Moch. Hendrowijono, mengatakan manajemen keuangan memang harus ditangani Kelompok Kompas Gramedia sebagai pemilik saham mayoritas. Sedangkan tuduhan Fauzi tentang adanya ketidakcocokan hitungan pendapatan iklan itu hanya karangan Fauzi semata. Mengada-ada. Pernyataan ini kurang lebih mewakili sikap Kelompok Kompas Gramedia. Sedangkan Soleh Thamrin, selaku pemimpin redaksi, menghadapi persoalan tersebut dengan lebih dingin. Ada kemungkinan lantaran sahamnya tinggal dua persen. Minoritas. Kelompok Fauzi mulai terbentuk. Menurut Dheny Kurnia pada saya, karyawan Sriwijaya Post yang mendukung Fauzi sekitar 25 orang. Sedangkan pendukung Hendro sekitar 30 orang. Perseteruan meningkat. Kelompok Fauzi menyebarkan isu tentang misi kristenisasi di Sriwijaya Post. Contohnya, kata Asnadi, ada seorang karyawan Kelompok Kompas Gramedia yang pernah bekerja di Serambi Indonesia Aceh, suatu hari menunjukkan kartu tanda penduduk dengan status beragama Islam. Padahal agamanya lain. Contoh lainnya, kata Asnadi, perusahaan lebih mengutamakan membangun perpustakaan ketimbang ruang salat. Isu-isu ini, walau kedengarannya konyol, gampang laku karena Kelompok Kompas Gramedia, saat pendirian harian Kompas pada 1965, memang disokong oleh orang-orang yang dekat dengan Partai Katolik. Lalu, 10 karyawan Sriwijaya Post; antara lain Abadi Tumanggung, Ismetri Radjab, Forda Dayan, M. Djauhari, Arief A. OKI, F.J. Adjong, Yal Azis, Salman Rasyidin, Sirodjudin, dan M.D. Asnadi, mengatasnamakan Yayasan Karyawan PT Sriwijaya Perdana melalui surat tertanggal 9 Desember 1995, menyatakan keberatan atas pengangkatan Soleh Thamrin sebagai pemimpin redaksi menggantikan Pramono B.S. Surat ini ditujukan kepada pengurus Persatuan Wartawan Indonesia cabang Sumatra Selatan. Surat dibantah sedikitnya 200 karyawan Sriwijaya Post. Mereka membuat surat pernyataan tandingan tertanggal 22 Desember 1995. Isinya menyatakan bahwa surat 10 karyawan itu tidak sah secara hukum. Saling main klaim ini mulai berimbas ke luar. Persatuan Wartawan Indonesia cabang Sumatra Selatan, organisasi yang sangat berkuasa pada zaman Presiden Soeharto itu, melalui surat tertanggal 4 Januari 1996, menolak permohonan rekomendasi pergantian pemimpin redaksi dari PT Sriwijaya Perdana. Selanjutnya Fauzi Achmad memecat Kurnati Abdullah sebagai karyawan Sriwijaya Post, pada 8 Januari 1996. Alasannya Kurnati tercatat sebagai pegawai negeri di SMA Negeri III Palembang. Surat pemecatan ditembuskan kepada pejabat pemerintah di Sumatra Selatan. Alasan lain pemecatan itu, kata Dheny, lantaran Kurnati dinilai berkhianat terhadap kelompok Fauzi yang sebelumnya didukungnya. Namun kepada wartawan, Fauzi mengatakan pemecatan itu tanpa maksud apa-apa kecuali dia takut ditegur pemerintah karena mempekerjakan pegawai negeri. Kurnati tidak terima, dia melayangkan surat protes ke Fauzi Achmad. Selain itu direktur utama PT Sriwijaya Perdana, Ansel Da Lopez, menyatakan surat pemecatan itu tidak sah. Pemecatan maupun pengangkatan redaktur ke atas merupakan tanggung jawab direksi. Terakhir, Fauzi minta akuntan publik Oman Komarrudin dari Jakarta mengaudit PT Sriwijaya Perdana. Akibatnya muncul perlawanan dari direksi dan sebagian karyawan Sriwijaya Post. Dalam suasana tak menentu, terjadilah perkelahian antara Sukma Wijaya dan Moch. Hendrowijono pada 11 Januari 1996. Buntut dari perkelahian itu, Sriwijaya Post 15 Januari 1996 mengumumkan penonaktifan Fauzi Achmad sebagai pemimpin umum. Selanjutnya 119 karyawan yang berkantor di Palembang menyatakan mosi tak percaya terhadap Fauzi melalui surat pernyataan kepada direksi PT Sriwijaya Perdana. Pernyataan yang sama disampaikan beberapa biro Sriwijaya Post dari Lubuklinggau, Baturaja, Lampung, dan Jambi. Pertikaian tak usai begitu saja. Hari itu pula, sejumlah aktivis dari organisasi masyarakat, seperti Wira Karya, Angkatan Muda Islam Indonesia, dan Pemuda Pancasila, yang dipimpin Azis Kamis, seorang pengurus Wira Karya, melakukan aksi ke kantor redaksi Sriwijaya Post. Dalam orasinya, mereka menuduh terjadi kristenisasi dan minta orang-orang Kompas segera meninggalkan Sriwijaya Post. Dalam pernyataan resminya, mereka minta Fauzi Achmad dilibatkan kembali dalam pengelolaan Sriwijaya Post. Ini juga tercermin dalam sebuah spanduk yang bertuliskan, “Kembalikan Sriwijaya Post kepada Fauzi Achmad sesuai SIUPP SK Menpen RI.” Hari itu juga sejumlah pejabat pemerintah Sumatra Selatan, menemui Hendrowijono dan minta kata nonaktif dihapus. Mereka takut akan terjadi demonstrasi yang lebih besar. Tampaknya isu kristenisasi cukup besar efeknya. Besoknya, kata nonaktif terhadap Fauzi Achmad selaku pemimpin umum dihapus. Hamzah Ruslin menilai perjuangan kelompok Fauzi hanya untuk kepentingan beberapa orang yang mengatasnamakan karyawan Sriwijaya Post. “Bukan perjuangan semua karyawan,” katanya. Pada situasi konflik, Fauzi tampaknya dalam posisi yang diuntungkan. Selain didukung sejumlah aktivis Palembang, Fauzi juga dibantu Asdit Abdullah, ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Sumatera Selatan, yang sehari-harinya jadi pemimpin umum koran Suara Rakyat Semesta. Melalui media miliknya, Suara Rakyat Semesta, konflik itu ditulis dan condong kepada kelompok Fauzi. Fauzi juga melaporkan pertikaian itu ke Panglima Daerah Militer Sriwijaya Mayor Jenderal R. Karyono. Melalui surat tertanggal 21 Januari 1996, Fauzi Achmad, yang mengatasnamakan dirinya pemimpin umum Sriwijaya Post, melaporkan kepada Karyono bahwa telah terjadi peristiwa politik pada 11 Januari 1996. Dijelaskannya, Hendrowijono melakukan tindak kekerasan dengan merebut dokumen intelijen militer menyangkut wartawan yang “tak bersih lingkungan,” yaitu seorang wartawan Sriwijaya Post yang ayah kandungnya tahanan politik yang divonis mati dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Usaha merampas dokumen itulah yang menyebabkan terjadinya bentrok fisik. Disebutkan dalam surat itu tentang masuknya seorang wartawan bukan karyawan Sriwijaya Post berinisial Yam (mungkin yang dimaksudkan Yamin Indas). Yamin dituliskan sebagai satu dari tujuh wartawan Sriwijaya Post yang minggat ke Jakarta atas bantuan seseorang dari Kelompok Kompas Gramedia dan Aliansi Jurnalis Independen. Ketujuh wartawan itu dalam proses penindakan Fauzi karena diduga merupakan aktivis Aliansi Jurnalis Independen yang dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Laporan bantahan diberikan Kelompok Kompas Gramedia. Di sana disebut, selaku pemimpin umum Fauzi Achmad banyak melakukan tindakan di luar wewenangnya. Misalnya soal pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian sejumlah karyawan. Serta memerintahkan akuntan publik melakukan audit terhadap PT Sriwijaya Perdana yang bukan wewenangnya. Mengenai peristiwa pemukulan itu, disebutkan Hendrowijono mau menemui Fauzi Achmad di ruangannya. Namun disambut pengawalnya Sukma Wijaya. Hendro menanyakan keberadaan pengawal itu tapi malah disambut dengan pukulan. Tak kena. Dipukul kembali dan mengenai pelipis Hendro hingga dijahit di dua tempat. PADA 28 Januari 1996 atau 17 hari setelah perkelahian Hendro versus Sukma, seusai salat tarawih bulan Ramadan, terjadi penyerangan oleh kelompok Fauzi Achmad terhadap kelompok Hendrowijono di kantor redaksi Jalan Kapten Abdul Rivai 88. Aksi penyerangan melibatkan sejumlah aktivis remaja masjid yang berkumpul seusai salat tarawih di sekitar kolam renang Lumban Tirta, Palembang. Penggeraknya wartawan Muhammad David Asnadi didukung beberapa aktivis organisasi massa seperti Sarjan Taher dari Komite Nasional Pemuda Indonesia. Kelompok penyerang merusak sejumlah alat produksi seperti meja kerja layout dan komputer. Tiga wartawan dipukul. Polisi menangkap 20 penyerang dan sembilan wartawan pendukung Fauzi. Mereka ditahan semalaman. Besoknya direksi PT Sriwijaya Perdana melakukan rapat mendadak. Mereka memutuskan menonaktifkan Fauzi Achmad dan mengangkat Hendrowijoyo sebagai pejabat pemimpin umum Sriwijaya Post. Ini kedua kalinya Fauzi dinonaktifkan. Teror kedua belah pihak terus berlanjut. Reporter Sahnan Rangkuti dari Kompas menulis adanya “sekelompok orang asing” yang membuat mekanisme kerja redaksi terganggu. Misalnya negatif film koran harus dibawa sembunyi-sembunyi oleh beberapa wartawan ke percetakan. Mengingat jaminan keselamatan para karyawan, pada Rabu malam, 31 Januari 1996, Moch. Hendrowijono, dari kamar hotelnya, memerintahkan bawahannya Hamzah Ruslin untuk mempersiapkan penerbitan terakhir pada 1 Februari 1996. Mulai keesokan harinya, 2 Februari 1996, Sriwijaya Post untuk sementara tidak terbit. Hendrowijono mengatakan penutupan itu sifatnya sementara. Keputusan diambil sesudah Hendro berdiskusi dengan direksi PT Indopersda Prima Media. “Penutupan itu benar-benar mengecewakan banyak orang. Banyak sekali keluarga yang terancam dapurnya,” kata Dheny Kurnia, salah seorang pendukung Fauzi. Kompas melaporkan Zainal Alamsyah dari Universitas Sriwijaya Palembang mengatakan kekecewaannya tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Komandan militer Palembang Letnan Kolonel Imam Santoso menilai Sriwijaya Post bukan hanya milik warga Sumatra bagian Selatan tapi juga aset nasional. “Saya selaku aparat Bakorstanasda pasti akan turun tangan bila Sripo kembali diganggu oleh oknum-oknum perusak,” katanya. Lebih tragisnya nasib loper. “Mak mano aku nak nyari duit buat bantu emak kalo Sripo ndak terbit. Apolagi sekarang ini nak lebaran (Bagaimana aku mau mencari duit buat emak kalau Sriwijaya Post tidak terbit lagi. Apalagi sekarang ini mau lebaran),” ujar Nasab, seorang loper berusia 14 tahun, yang biasa menjual harian Sriwijaya Post depan Masjid Agung Palembang. Saat ditutup itu, tiras Sriwijaya Post mencapai 38 ribu. Gaji reporternya berkisar Rp 600-800 ribu per bulan; redakturnya berkisar Rp 1,1 juta. Angka yang relatif besar bagi ukuran Palembang saat itu. Selama kurang lebih 1,4 tahun, tepatnya dari 2 Februari 1996 sampai 9 Juni 1997, Sriwijaya Post mati suri. SELAMA dan pascakonflik, karyawan yang mendukung Fauzi nasibnya tak jelas. Misalnya reporter Hersma Eryani hengkang ke Lampung Post sebelum Sriwijaya Post tutup. Seusai konflik sebagian pindah ke media lain atau menerbitkan media baru seperti mingguan Gema Pancasila yang dimodali Herdi Gunawan, seorang penulis yang juga direktur Lembaga Pendidikan Keterampilan dan Sekretaris Bina Bangsa, dan Media Sumatra yang dimodali Aman Ramli Hasan Basri, anak Ramli Hasan Basri. Lebih tragisnya, banyak yang menganggur. Mereka hanya menerima pesangon yang diberikan Kelompok Kompas Gramedia berkisar Rp 5-15 juta per orang. Sedangkan pendukung Kelompok Kompas Gramedia, dirumahkan. Tapi, mereka tetap menerima gaji pokok hingga Sriwijaya Post diterbitkan kembali. Selama itu pula, sebagian pekerja yang berasal dari luar Palembang, tinggal di mes Sriwijaya Post. Bagaimana dengan nasib Fauzi Achmad? Ternyata, kata Dheny Kurnia, dia menjual sahamnya ke Kelompok Kompas Gramedia. Fauzi menerima ganti rugi Rp1,2 miliar dan melepaskan sahamnya, yang kemudian disebut sebesar 20 persen. “Satu sen pun saya tidak menerimanya,” kata Dheny Kurnia. Berbeda dengan Asnadi yang menerima Rp 10 juta. Dheny sendiri seusai konflik mengundurkan diri dan tak berhubungan lagi dengan Fauzi Achmad. Dia sempat bekerja di harian Jambi Ekspres pada 1999. Kini dia aktif di Partai Golkar Jambi. Dheny dapat dikatakan sebagai pemimpin para pendukung Fauzi. Dia terlibat dalam berbagai pertemuan dan pergerakan kelompok Fauzi. Seusai penutupan, Direktur Jendral Pembinaan Pers dan Grafika Subrata, seperti dikutip Kompas, mengatakan pemerintah dapat jadi penengah kemelut di Sriwijaya Post. Jika tidak selesai dapat melalui pengadilan. Pernyataan Subrata itu seirama dengan pernyataan Gubernur Ramli Hasan Basri. “Saya tidak berniat mencampuri urusan intern Sriwijaya Post, namun saya imbau mereka yang bertikai agar segera konsolidasi ke dalam. Bila tidak, selaku pembina sosial politik di Sumsel, saya akan ambil tindakan agar stabilitas yang sudah aman ini tidak terganggu,” katanya. Tapi tampaknya Kelompok Kompas Gramedia tak memilih intervensi pemerintah. Mereka lebih memilih untuk membayar saham Fauzi Achmad. Pada 9 Juni 1997, Kelompok Kompas Gramedia kembali menerbitkan Sriwijaya Post. “Kami nekat,” kata pemimpin redaksi Sriwijaya Post Gunawan Wibisono kepada saya. PERINGATAN ulang tahun Sriwijaya Post ke-14 pada 12 Oktober 2001 lalu, dilangsungkan sederhana di kantor redaksi. Hiburan hanya organ tunggal. Kesederhanaan itu cukup beralasan. Tirasnya masih jauh dari angka saat mereka tutup yakni 38 ribu eksemplar. Kondisi kesejahteraan juga tak lebih baik ketimbang sebelum konflik. Saat ini orang Kelompok Kompas Gramedia yakni Gunawan Wibisono sebagai pemimpin redaksi dan wakil pemimpin umum. Sementara Soleh Thamrin, tetap dipertahankan sebagai pemimpin umum. Sukma Wijaya tetap mengganggu Sriwijaya Post. Pada 18 April 2001 lalu, bersama beberapa preman, Sukma mendatangi Sriwijaya Post dan memprotes pemberitaan mengenai perjudian. Apa yang didapat dari konflik itu? Banyak, tentunya pelajaran bagaimana mengelola konflik agar karyawan dan pemilik modal saling diuntungkan. Persaingan sekarang cukup berat mengingat Sriwijaya Post tak sendirian. Ada Jawa Pos News Network, kelompok media yang berpusat dari Surabaya, yang menerbitkan harian Sumatera Ekspres dan Palembang Pos. Kemudian Koran Transparan dan penerbitan lainnya. Plus harian Kompas yang kini sudah beredar sejak subuh di Palembang dan sekitarnya. “Saya berharap semua karyawan Sriwijaya Post pandai-pandai mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat dan pemerintah, dan menjaga komunikasi ke dalam,” kata Gunawan Wibisono. Entah belum terlambatkah harapan itu? * *) Dimuat majalah Pantau 2002 |
Selasa, 03 Juni 2008
Narasi Baku Hantam
Diposting oleh T. Wijaya di 02.53
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment