T. WIJAYA Sekolah Gratis di Tengah Perut Lapar FENOMENA jargon gratis dalam sejumlah pemilihan kepala daerah di Indonesia, saat ini menghiasi tiang listrik, dinding bangunan, pagar rumah, maupun banner atau iklan di sejumlah media massa lokal. Jargon gratis ini terutama terkait dengan program pendidikan dan kesehatan atau pengobatan. Sangkin ramainya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun gerah dengan jargon tersebut. Dia khawatir, janji para politisi itu menjadi bumerang pemerintah pusat, bila tidak terwujud. Jargon pendidikan dan kesehatan gratis juga melanda Sumatra Selatan. Hampir semua calon kepala daerah di 9 kabupaten dan kota, serta gubernur Sumatra Selatan, meneriakkan jargon tersebut. Bahkan, ada calon yang mengklaim dirinya sebagai pelopor sekolah dan berobat gratis. Pertanyaan pentingnya, benarkah program gratis itu mendidik rakyat? PADA masyarakat pedusunan di Sumatra Selatan, termasuk daerah lain di Indonesia, jika ada anak yang berprestasi dalam pendidikan dan mengalami kesulitan biaya, seluruh warga, terutama kerabat dekat, melakukan pumpunan dana buat membantunya. Begitu pun terhadap mereka yang sakit, dan kesulitan biaya pengobatan. Kearifan lokal ini, yang kemudian menjadi dalil kebudayaan Indonesia adalah gotong-royong. Di Indonesia, sulit ditemukan suatu ajaran yang menuntut atau menerima sesuatu secara gratis. Baik dalam memenuhi kebutuhan dasar, maupun kebutuhan lainnya. Bila seseorang menerima sesuatu secara gratis, dinilai telah menurunkan harga dirinya. Tepatnya, gratis hanya diperuntukkan bagi mereka yang miskin, dan mempunyai kesulitan dalam melaksanakan usahanya, seperti cacat fisik. Jadi, tak heran, ada keyakinan pada masyarakat Sumatra Selatan, misalnya, yakni lebih baik menjadi penjahat dari pada menjadi pengemis atau peminta-minta. KAPITALISME yang telah masuk ke seluruh sendi peradaban dunia, pada akhirnya secara perlahan membunuh kearifan lokal yang ada di Sumatra Selatan. Tradisi pumpunan mulai ditinggalkan. Sikap individualistik atau yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarga, lebih menonjol dibandingkan kepentingan banyak orang. Tepatnya, secara moral, banyak orang menjadi tamak. Tidak sedikit kita menemukkan para pemimpin agama memiliki sikap tamak, begitupun para aktifis NGO yang selalu berteriak prorakyat ternyata tidak mau membantu tetangga atau kawannya yang mengalami kesulitan, serta para politisi yang justru menjual kesulitan rakyat dan kawannya buat kepentingan pribadi. Buktinya, banyak rumah ibadah yang tiap pekan mengumpulkan sumbangan umat, tidak mampu mengelola keuangan bagi kepentingan masyarakat di sekitarnya, yang mengalami kesulitan biaya pendidikan, pengobatan, atau makan. Tidak sedikit pengurus rumah ibadah lebih mementingkan pembangunan fisik tempat ritual keagamaan tersebut, dibandingkan menyelamatkan persoalan ekonomi yang melilit umat di sekitarnya. Organisasi sosial yang dikelola aktifis NGO, justru mencari dan memburu dana bantuan luar negeri secara gratis, alias minta sumbangan. Naifnya, mereka pun “numpang” makan dari dana sumbangan tersebut, dengan dalil profesionalitas. Sementara persoalan-persoalan mendasar itu diatasi dengan memberikan kesadaran bagi kaum miskin untuk mendesak pemerintah agar memberi tunjangan, dengan dalil sebagai tanggungjawab negara terhadap rakyat. Bukan memberikan kesadaran bagi kaum miskin untuk mandiri atau menguasai alat produksi. Misalnya, sebuah lembaga swadaya masyarakat memberikan dampingan terhadap para petani di kawasan pesisir Sumatra Selatan, yang difasilitasi lembaga donor luar negeri. Pembahasan programnya menghabiskan dana ratusan juta rupiah di sebuah hotel. Lalu, pimpinan programnya bergaji puluhan juta per bulan. Para pendamping diberi uang jutaan rupiah. Kerjanya mendampingi para petani, yang hanya diberi bantuan berupa poster, kalender, dan setiap petani yang berjumlah puluhan itu diberi uang transport sebesar Rp25 ribu! Sementara para politisi “berdagang” diri kepada para investor atau kelompok pemodal untuk menjalankan kerja politiknya. Mereka pun berjanji akan memuluskan semua proyek para pemodal tersebut, tanpa pernah mempertimbangkan proyek itu merusak atau merampas kekayaan rakyat, atau bahkan negara. MENURUT saya, sebagian besar pengurus rakyat, secara tidak sadar menyebarkan atau membiarkan virus tamak, dan membangun kesadaran meminta atau gratis. Penyebabnya, tentu saja kehadiran virus kapitalisme yang masuk melalui kebudayaan asing, baik produk Amerika, Eropa, Jepang, yang menyusup ke semua ruang masyarakat Sumatra Selatan, mulai dari ruang tidur, ruang keluarga, ruang makan, kamar mandi, hingga ruang-ruang publik dan ibadah. Contoh virus itu, seperti tercermin dalam iklan, ”Beli satu, dapat dua”. Maksudnya, bila seseorang membeli satu produk, dia akan mendapatkan satu produk gratis. Padahal, jika kita hitung biaya produksinya, uang yang telah dikeluarkan seorang konsumen lebih dari cukup buat memproduksi dua produk yang diterimanya. Iklan gratis itu telah membunuh kesadaran bahwa tidak ada pedagang yang mau rugi. Di negara-negara maju, gratis merupakan kewajiban dari pemerintah yang didukung para pemilik modal atau penguasa ekonomi, terhadap subjek atau kelompok masyarakat yang miskin atau tidak menguasai modal. Sebab mereka ini bagian dari masyarakat yang tidak mampu bersaing. Maka, di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, para penganggur atau orang-orang cacat diberi tunjangan sosial. Orang-orang yang masih mampu bersaing menolak diberi gratis atau menjadi tanggungan negara. Gratis juga sering digunakan para raja atau kaisar di masa lalu. Para raja memberikan sesuatu yang gratis terhadap rakyat, gunanya menarik simpatik hati rakyat. Pola ini juga dilakukan para imperialisme Eropa saat menguasai suku bangsa di Asia dan Afrika yang sumber daya alamnya melimpah. Suku Maori di Selandia Baru, misalnya, kini menjadi suku yang tidak mampu bersaing dalam pemerintahan Selandia Baru, sebab selama beratus tahun biaya hidup mereka ditanggung para imperialis yang mengeruk sumber daya alamnya. Kolonial Belanda juga melemahkan sejumlah masyarakat di Sumatra Selatan dengan budaya gratis itu. Mereka yang berpotensi menjadi musuh besarnya, yakni kaum priyayi, diberi gaji atau jatah hidup oleh pemerintah Belanda tanpa harus melakukan suatu pekerjaan. Akibatnya, ketika pemerintah Belanda menghentikan tunjangan hidup, sebagai akibat gelombang gerakan kemerdekaan, masyarakat atau kelompok priyayi tersebut menjadi kelompok yang tidak mampu mengatasi kebutuhan hidupnya atau kalah bersaing dalam mendapatkan akses ekonomi. Sederhananya, seperti seekor kera yang sejak kecil dipelihara manusia; diberi makan dan dijaga kesehatannya, setelah dewasa dilepas di hutan. Dipastikan kera itu akan stres, dan tidak mampu bertahan hidup di hutan. JADI, guna mengatasi persoalan masyarakat Indonesia, seperti di Sumatra Selatan, menurut saya bukan dengan cara memberikan kebutuhan sekolah dan berobat secara gratis. Para calon kepala daerah itu seharusnya menawarkan program yang menjadikan masyarakat mandiri, dan pada akhirnya mampu bersedekah atau berbagi dengan yang lainnya. Sederhananya, program yang menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran setiap masyarakat. Menurut saya, seperti asumsi selama ini, sumber daya alam yang ada di Indonesia jika dimanfaatkan secara optimal lebih dari cukup buat menghidupi rakyatnya. Tapi, persoalannya, pemerintah gagal mengelolanya secara optimal. Para investor yang dilibatkan, lebih dominan dalam mengeruk keuntungan. Kondisi ini juga berlangsung di setiap kabupaten dan kota di Sumatra Selatan. Sumber daya alam seperti minyak bumi, gas, batubara, puluhan tahun dieksploitasi para investor luar negeri maupun nasional. Tapi, hasilnya tidak begitu besar dirasakan masyarakat Sumatra Selatan. Dengan kondisi ini, seharusnya para politisi berpikir bagaimana caranya mengoptimalkan sumber daya alam itu berguna bagi masyarakat Sumatra Selatan, bukan memberikan sesuatu yang praktis. Seperti program gratis itu. Itu sama seperti ekstasi yang hanya memberi kenikmatan sesaat. Para politisi tersebut tampaknya perlu mempertimbangkan ujaran seorang nelayan di Sungsang, Banyuasin, Sumatra Selatan, yang mengatakan percuma saja pemerintah melaksanakan program sekolah dan berobat gratis seandainya mereka masih kesulitan makan. “Anak-anak kami butuh makan biar dapat belajar. Percuma baju gratis, buku gratis, kalau perutnya kelaparan. Perut lapar susah belajar. Tidak masalah biaya pendidikan mahal, kalau uang kami banyak. Kalau sehat, juga penyakit tidak ada,” kata Muhaimin, si nelayan. “Tidak mungkinlah kami dapat menyimpan uang dengan adanya program gratis itu. Sebab biaya makan kian mahal bae. Pemerintah harus berpikir bagaimana pendapatan kami meningkat. Itu yang kami harapkan,” katanya. RINGKASNYA, saya menilai program gratis itu semacam pengalihan kesadaran kritis masyarakat. Masyarakat yang seharusnya berpikir dan bertindak bagaimana mengembalikan dan mengelola sumber daya alam, seperti migas dan batubara, yang selama puluh tahun dirampas pihak asing, justru disadarkan dengan tuntutan atas kebutuhan dasar secara gratis. Analog, sebuah masyarakat di sekitar pengeboran minyak bumi didorong menuntut pembiayaan sekolah dan berobat dari perusahaan asing yang mengelolanya, bukan diajarkan bagaimana mengambilalih pengelolaan minyak bumi tersebut. Dapat dibayangkan, dari jutaan barel minyak bumi yang disedot perusahaan asing itu, masyarakat hanya menikmati sekolah dan berobat gratis. Mungkin, lain halnya, jika perusahaan tersebut membagikan sahamnya kepada masyarakat. Jadi, harapan saya, para calon kepala daerah tersebut harus berpikir ulang jargon gratis tersebut. Apalagi jargon tersebut merupakan tawaran isu dari sebuah lembaga survey atau public relation yang dididik dan dibiayai investor asing. [*] |
Rabu, 04 Juni 2008
Esai Sekolah Gratis
Diposting oleh T. Wijaya di 05.33
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
2 Comments:
Sekolah gratis itu perlu, sama perlunya memperbaiki kurikulum dan praktek pengajarannya.
Itu bagian dari tanggungjawab pemerintah, sama kewajiban negara membebaskan rakyat dari rasa lapar, ketakutan dan kesempitan peluang usaha dan berekspresi.
Rakyat lapar karena kalah bersaing dalam berebut lapangan kerja, karena tidak trampil dan dibiarkan susah sekolah dan belajar. Hanya memberi makan tanpa memberi kesempatan menjadi pintar, hanya jalan pintas berumur pendek.
Adanya tradisi gengsi bisa meraih sesuatu berharga mahal adalah kekonyolan yang tak perlu diperpanjang. Bisa meraih sesuatu dengan belajar dan kerja keras, itu yang bermutu.
saya setuju sama bapak klo sekolah gratis itu tidak terlalu baik karena bagi saya hanya membuat masyarakat kurang terpacu dengan semua yang gratis..
lebih baik mengusahakan pendidikan murah
Post a Comment