Selasa, 03 Juni 2008

Esai Cinta








T. WIJAYA
Saya Jatuh Cinta Lagi


CINTA merupakan persoalan klasik manusia. Cinta dapat membuat seseorang menjadi pahlawan, penjahat, gila, petualang, atau penipu. Cinta dapat mendatangkan malapetaka, tapi cinta dapat melahirkan kebahagiaan. Seperti kita yang selalu mengaku menemukan Yuliet, para nabi, Hitler, Chairil Anwar, Musolini, Cheng Ho, atau Batman, pada saat cinta membangunkan ribuan tahun kehidupan.

Sejak setahun lalu, saya jatuh cinta lagi. Siang dan malam, saya membicarakan dia. Saya memikirkannya. Saya memimpikannya. Saya berjuta kali menyebut namanya. Bahkan, saya terkadang merasa kehilangan Tuhan, lantaran sosok dia yang begitu memesona dan menggoda.

Sebenarnya saya tidak suka dengan dia. Sebab dia selalu mendatangkan persoalan. Dia selalu memancing saya untuk memfitnah, dan mengumpat. Tapi, saya seperti John Lenon yang bersenandung, I don’t like you, but I love you…
Istri dan anak-anak saya cemburu dan marah dengan dia. Persoalannya, selain uang saya habis, juga saya tidak punya waktu bersama mereka. Bahkan, jadwal bercumbu saya dengan istri mengalami penurunan.

“Kamu ini gila! Dia itu bukan mendatangkan uang buat kita, justru biaya makan buat kami habis,” protes istriku.

“Inilah resiko. Negara ini perlu diselamatkan.”

“Selamatkan dulu keluarga, baru selamatkan negara.”

YA, setahun ini, saya jatuh cinta dengan seorang calon gubernur. Saya jatuh cinta dengan gubernur yang mampu menyelamatkan perut dan otak manusia Sumatra Selatan. Saya jatuh cinta dengan sosok gubernur yang mampu membuat tiap manusia Sumatra Selatan memiliki rumah, menikmati air bersih, dan tidak melahirkan berbagai kecemasan seperti banjir, penyakit, dan kehilangan pekerjaan.

“Mana mungkin ada manusia seperti itu. Ini zaman juaro, bukan seperti pada masa para rasul dikirim Tuhan,” kata istri saya, yang sudah sebelas tahun tidak memiliki giwang.

“Benar, ini zaman juaro, tapi saya percaya pergolakan sesuatu yang buruk akan melahirkan sesuatu yang baik. Sejarah membuktikan itu. Para nabi dilahirkan pada masyarakat yang kacau, penerima novel muncul di bangsa yang barbar, layaknya puisi yang lahir di saat orang patah hati, cemas, takut, atau kelaparan,” kata saya.

“Coba sebutkan nama calon gubernur yang sesuai harapanmu?”
Saya diam.
“Coba sebutkan nama-nama gubernur sebelumnya yang berhasil menyelamatkan kita?”
Saya tetap diam. Diam. Dalam hati, saya berharap Tuhan membuka mata hati istri saya. Saya berharap istri saya mengerti bahwa untuk menemukan seorang gubernur yang baik itu perlu perjuangan. Bukan seperti menggoreng pisang. Dan, sikap pesimistis itu merupakan santapan empuk bagi para kapitalis. Sebab jika orang sudah tidak percaya dengan negara, maka pintu sangat terbuka bagi mereka buat menempatkan diri sebagai lembaga penyelamat, meskipun akhirnya orang itu akan dimakan benda-benda.

“Jangan Awak jadi antinegara seperti itu.”
SEORANG teman saya berulangkali jatuh cinta. Namanya Herdi Gunawan. Sejak kami sama-sama membicarakan Soeharto yang kejam, ketika duduk di sekolah menengah atas, dia tidak percaya dengan negara. Saat itu, dia jatuh cinta dengan uang dan kebebasan. Sebagai etnis Tionghoa, kelompok minoritas di Indonesia , dia merasa uang dan kebebasan merupakan langkah untuk menemukan kebahagiaan. Negara, bagi dia, tidak mungkin menjamin hal tersebut. Negara hanya menuntut pengorbanan. Dan, pengorbanan itu bukan untuk kepentingan rakyatnya, tapi buat segelintir orang yang berkuasa.

“Lihatlah nanti, setelah Soeharto jatuh, akan muncul penindas baru. Begitulah sebuah negara melindungi dan membentuk kekuasaan,” katanya.

Saya tidak percaya. Saat itu, saya jatuh cinta dengan sosok Soekarno, dan berharap ada pemimpin yang muncul mirip dengan dirinya.

25 tahun berlalu. Herdi Gunawan banyak mengunjungi berbagai negara. Yang sering dikunjunginya adalah Tiongkok. Sehabis dia menunaikan ibadah haji, kami bertemu. Kami tidak mendiskusikan bangsa Arab, sebab mereka telah dibantu Tuhan dengan kekayaan minyak buminya. Kami justru mendiskusikan bangsa Tiongkok, yang tiba-tiba menjadi bangsa yang mencengangkan di awal abad 21 ini. Katanya, tiap warga Tiongkok dalam sehari bekerja 20 jam. Mereka bekerja keras. Kerja merupakan bagian dari eksistensi. Mereka sangat menyintai pekerjaan. Mampukah kita seperti mereka? Tanyanya. Saya tidak mampu menjawabnya, sebab kerja keras seperti itu merupakan sesuatu yang memalukan dalam memori saya. Para penjajah pernah menjadikan leluhur kita bekerja keras seperti itu. Itu merupakan penindasan.

“Kerja keras mereka yang membuat ruang tamu kita, kamar tidur kita, dapur kita, kamar mandi kita, dipasok benda-benda dari Tiongkok yang jaraknya beribu kilometer dari sini,” katanya. 25 DESEMBER 2007 kemarin, dia menelepon saya dari Taiwan . Dia menyampaikan cintanya yang baru. Dia kini menyintai sebidang tanah yang luas. Tanah itu dikelilingi sungai atau kanal. “Di tanah itu aku akan menanam sayuran, menanam padi, memelihara bebek, ayam, ikan, dan setiap orang mengunjungi rumah panggung saya harus menggunakan perahu. Saya akan menjual hasil pertanian saya dengan harga lebih murah dari pasaran,” katanya.

Saya pergi ke kamar setelah pembicaraan kami berhenti. Tiduran. Saya bertanya, apakah sosok gubernur yang saya cintai itu, mampu mewujudkan kebahagian teman saya tersebut. Sehingga Herdi Gunawan, meninggalkan apartemennya di Taiwan, menanggalkan jas, celana panjang, jam tangan, sepatu, mematahkan kartu kredit, di bandara Sultan Mahmud Badaruddin, lalu dengan celana pendek, berkaos oblong, telanjang kaki, pergi ke sebuah tanah di daerah rawa-rawa di pesisir timur Sumatra Selatan, buat mencangkul dan menanam sayuran. Entahlah. Istri saya muncul dengan persoalannya, “Coba minta dengan calon gubernurmu itu sekilo beras. Beras kita habis.” Saya patah hati, mungkin. [*] Dimuat di Berita Pagi dan Tabloid Desa, Maret 2008

0 Comments: