Selasa, 03 Juni 2008

Esai I Don’t Like Bush







T. WIJAYA
I Don’t Like Bush, But I Love Elvis

BILA saja tidak ada segerombolan orang asal Inggris menetap di Jamestown, Amerika Serikat pada 1607, mungkin tidak akan ada negara Amerika Serikat, yang kini dibenci sebagian warga dunia termasuk di Indonesia.

Pada saat itu, kerajaan Demak, Banten, Mataram, Palembang , tengah jaya-jayanya dengan limpahan hasil bumi, karya sastra, dan hasil perdagangan. Musuh-musuh yang mengintai adalah kolonialisme Belanda, Portugis dan Inggris.

Sementara di Jamestown, orang-orang Inggris—kebanyakan tahanan politik dan kriminal dari Irlandia—menghadapi musuh bersama, yakni penduduk setempat yang dikenal sebagai orang-orang Indian.

Setelah berjuang selama dua abad, melalui berbagai peperangan, lobi politik, pelahiran sumber daya manusia, karya sastra dan intelektual, serta mengeksploitasi alam—tepatnya revolusi—mereka berhasil membangun sebuah negara-bangsa yakni Amerika Serikat yang dikampanyekan sebuah negara dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis.Hari ini Amerika Serikat menjadi negara yang paling kuat di dunia, sementara Indonesia merupakan salah satu negara miskin.

Hari ini pula, sebagian kita membenci Amerika Serikat. Sebab negara yang kini dipimpin George Walker Bush junior dinilai telah turut mencampuri urusan negara ini. Bahkan, ada yang menuduh Amerika Serikatlah yang menyebabkan negara-bangsa ini menjadi terperosok, sejak terbangunnya rezim Soeharto yang pro Amerika Serikat.

Benarkah tuduhan tersebut? Yang jelas, faktanya, lebih dari separuh diri saya merupakan bagian dari kebudayaan Amerika Serikat. Saya suka film produksi Hollywood, saya suka musik hasil gorengan majalah Rolling Stones, saya suka perempuan-perempuan seksi Amerika, saya suka minum Pepsi dan Coca-Cola, saya suka celana blue jeans, saya berusaha membaca buku terbitan Amerika Serikat, lalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Paman Sam itu. Dan, saya berusaha belajar keras bahasa Inggris, bahasa resmi di Amerika Serikat.

Menurut istri saya, bila rambut saya pirang, kulit menjadi putih, lalu tinggi badan saya dinaikkan sekitar 20 sentimeter, jadilah saya orang Amerika Serikat. Tepatnya, secara jiwa saya sudah Amerika Serikat, tapi fisik yang tidak mendukung.

Mungkin, saya merupakan salah satu bukti kecemasan Pramoedya Ananta Toer ketika berpidato tentang ancaman pengaruh budaya Amerika Serikat saat Kongres Lembaga Kesenian Rakyat atau populer disebut Lekra di Palembang tahun 1965. Pramoedya pernah dibuang ke Pulau Buru karena ideologi komunisnya dan merupakan satu-satunya orang Indonesia yang pernah dicalonkan menerima Nobel Sastra. Dia khawatir generasi muda Indonesia menjadi generasi pesolek lantaran dicekoki oleh budaya populer ala Amerika.

Uniknya, saya membenci Amerika Serikat. Saya selama bertahun-tahun, terutama ketika Soeharto berkuasa, berteriak anti-Amerika Serikat, antikapitalisme. Saya tertarik dengan pemikiran Pramoedya. Saya mendukung revolusi yang diinginkan Soekarno atau tertarik dengan agenda kritis para aktivis lembaga swadaya masyarakat, yang maaf, sebagian besar dana operasional mereka disokong lembaga donor asal Amerika Serikat.

Tetapi ketika saya ingin kembali ke akar budaya yang telah membangun bangsa ini selama puluhan abad lalu dan mencoba menemukan identitas budaya saya, saya dihadapkan pada fakta sejarah bahwa tak ada yang bisa disebut sebagai akar budaya saya, tak ada yang murni dari bangsa ini.

Indonesia boleh dikatakan adalah tempat sekumpulan bangsa dan pengaruh mereka. Indonesia ini adalah juga bangsa India bersama ajaran Hindu, Tiongkok bersama ajaran Budha dan Islam, Arab dan Persia dengan ajaran Islam, serta Barat bersama modernisme dan ajaran Katolik serta Kristen. Proses ini terjadi secara damai maupun melalui penjajahan.Setelah saya menelusuri sejarah keluarga saya, saya menemukan kenyataan bahwa saya adalah keturunan Tionghoa dan Arab.

Inilah hal yang menarik buat saya. Terhadap Amerika Serikat, saya seperti menyanyikan lagu milik Beatles berjudul You Really Got A Hold On Me yang liriknya berujar, “I don’t like you but I love you, I don’t like you but I need you”.

Lalu, bagaimana sikap saya? Saya akhirnya belajar mendukung dan membela sesuatu yang tidak menjajah, menghargai hak orang lain, mencintai kedamaian, dan perbedaan atau keanekaragaman.

Siapa pun yang melawan keyakinan itu merupakan musuh saya, baik itu Amerika Serikat, Arab Saudi, Tiongkok, maupun Presiden. Bila sebaliknya adalah sahabat saya.

Jadi, soal Amerika Serikat mungkin kita harus membedakan antara Amerika Serikat dengan George W. Bush, antara Amerika Serikat dengan sejumlah senatornya, antara Amerika Serikat dengan sejumlah menterinya, antara Amerika Serikat dengan sejumlah bintang Hollywood. I don’t like Bush, but I love Elvis!

KEBENCIAN seperti yang dirasakan orang terhadap Amerika Serikat pernah juga dialami wong Palembang ketika mereka dikuasai Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Sama seperti sejarah Amerika Serikat, pada awalnya Palembang merupakan daerah pelarian para penjahat dan pemberontak dari Tiongkok dan India. Lalu, di antara para pendatang itu terdapat sejumlah penyiar agama Budha, Hindu, dan Islam. Mereka ini selain memberikan kesadaran moral juga membantu mendidik soal ketatanegaraan dan membuat aturan bermasyarakat.

Selanjutnya, para pelarian itu membentuk kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini sangat tangguh di laut. Mereka menaklukkan sejumlah kerajaan di kepulauan Nusantara.

Nah, penduduk kerajaan taklukan tentu saja menjadi marah. Bagaimana tidak, selain kehilangan saudara saat berperang melawan Sriwijaya, mereka juga harus mengeksploitasi alam yang kemudian dikirim ke Sriwijaya sebagai upeti.

Mungkin, masyarakat di Jawa Tengah pada abad ke-11 Masehi, merupakan masyarakat yang sangat membenci Sriwijaya. Pada tahun 1006 Masehi, Sriwijaya menyerang dan menghancurkan Mataram. Selain membakar istananya, mereka juga membunuh Raja Dharmawangsa serta ribuan rakyatnya.

Masyarakat Bangka dan Jambi juga benci terhadap Kesultanan Palembang Darussalam yang menjajah mereka.

Satu hal yang menarik, dua kerajaan itu menjadi besar dan tangguh tidak lepas dari dukungan para kaisar di Tiongkok.

Saya sempat curiga, jangan-jangan bangsa Inggris belajar dari kaisar atau orang-orang Tiongkok dalam mengembangkan sebuah kekuasaan di daerah baru. Tapi, kecurigaan ini tidak ada buktinya, sebab tidak ada penjelasan atau pengakuan tertulis dari kerajaan Inggris.
Amerika Serikat dan Australia yang merupakan daerah pelarian para penjahat dan pemberontak, yang kini menjadi negara adikuat. Jika Indonesia ingin jadi negara kuat, maka harus pro-Amerika Serikat. Alasannya? Semua yang dibutuhkan Indonesia hari ini berasal dari sana. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan, celana jeans, jurnalisme, hingga pendidikan calon astronot.

Namun ada catatannya. Sikap Amerika Serikat harus seperti para kaisar Tiongkok ketika memperlakukan negeri yang mendukungnya seperti Kerajaan Sriwijaya. Saling untung dan sokong. Simbiosa mutualisma.

Sebaliknya, bila sikap Amerika Serikat ternyata cuma mau untung sendiri, marilah kita mulai membakar kaset, piringan hitam, dan poster Beatles, Rolling Stones, serta Elvis Presley. Dan setelah itu orang macam saya ini akan bingung mencari identitas diri yang baru lagi. *

*) Dimuat di www.pantau.or.id

0 Comments: