Senin, 02 Juni 2008

Esai Tamak








T. WIJAYA
Tamak dan Tokoh Politik

Jika para leluhur kita tahu bahwa Indonesia membuat rakyatnya menderita seperti ini, mungkin mereka mempertimbangkan dua kali untuk melahirkan keturunan di negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya ini.


Bagaimana tidak? Kemiskinan membuat rakyatnya banyak melakukan perbuatan yang membuat hati ini terasa diiris silet. Mereka bukan lagi menjadi perampok, pencuri, atau penodong. Lantaran miskin mereka rela menjadi pelacur, menjual bayi, menjual organ tubuh seperti ginjal, hingga membunuh anak, istri, atau bunuh diri. Tidak sedikit, mencuri uang di masjid demi sesuap nasi.


Tamak
Ada benarnya jika wakil presiden Jusuf Kalla mengatakan krisis di Indonesia mulai berkurang. Indikatornya, tidak sedikit warga Indonesia yang memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu, sering mengunjungi hotel, rumah makan, tempat hiburan atau cafe, yang biayanya cukup mahal. Begitupun bandara, stasiun keretaapi, terminal, tetap dipadati orang, terutama ketika musim liburan tiba. Selanjutnya, perumahan dan rumah toko di berbagai kota di Indonesia, terus tumbuh bak jamur di musim hujan.


Lantas, mengapa masih banyak orang Indonesia yang sangat memprihatinkan? Asumsinya, sebagai bangsa yang dikenal memiliki sikap gotong-royong atau senang saling membantu, seharusnya persoalan itu tidak ada. Yang kelebihan uang atau pendapatan, tidak sempat membelanjakan uangnya buat barang mewah lantaran uangnya diberikan kepada saudara, teman, tetangga, yang miskin. Begitupun yang kaya, tidak menghabiskan waktunya di tempat hiburan, sebab sibuk membantu mereka yang tidak mampu.


Jadi, asumsi itu tidak berjalan optimal terhadap warga Indoensia yang kaya atau berlebihan harta, lebih disebabkan mereka memiliki watak tamak. Rakus. Watak tamak ini membuat seseorang menjadi pelit, tidak mau berbagi, dan terus merasa kurang. Tidak heran, mereka yang sudah kaya dan memiliki identitas yang baik, masih berpikir untuk melakuan korupsi.

Tokoh Sosial
Di dalam ajaran Islam, yang banyak diyakini masyarakat Indonesia, Tuhan berulangkali memperingatkan manusia agar tidak berwatak tamak. Peringatan itu berupa perintah kepada manusia agar saling berbagi, membantu, bersedekah. Yang banyak berbagi dengan yang kurang, yang kaya bersedekah dengan yang miskin.


Dilihat dari perintah Tuhan itu, tampaknya Tuhan menginginkan di muka bumi lahir tokoh-tokoh sosial. Tokoh yang hidupnya memikirkan dan mendahulukan kepentingan banyak orang dibandingkan dirinya. Tokoh yang cemas dan sedih, jika melihat banyak orang yang lapar melakukan tindak kekerasan, bunuh diri, atau menjual harga dirinya.


Ternyata, jika dilihat sehari-hari, fenomena lahirnya tokoh sosial ini jauh lebih sedikit dibandingkan kelahiran tokoh politik. Mereka yang kaya, popular, lebih senang menjadi tokoh politik dibandingkan tokoh sosial. Tidak heran, sampai hari ini partai politik terus tumbuh, dan lebih gampang mencari pengurusnya, dibandingkan kita membangun sebuah yayasan sosial.
Mengapa? Partai politik lebih membuka ruang bagi mereka yang tamak. Lewat partai politik, seseorang dapat berkuasa. Bila kekuasaan diraih, bukan hanya kekayaan yang dapat dipertahankan atau bertambah, juga dapat mengatur dan menguasai banyak orang. Maka, tidak heran, kita sering menemukan orang Indonesia lebih mampu berkorban atau membeli suara dukungan dalam sebuah suksesi politik, dibandingkan cemas bila satu hari tidak bersedekah.


Beranjak dari kondisi ini, saya hanya berharap kita kembali belajar; membaca diri dan membangun diri, sebagai manusia yang hidup dan mati tidak sendirian. Hidup lantaran ada manusia yang melahirkan dan melindungi, dan mati karena ada manusia yang menguburkan.*
*) Dimuat detikcom 04 April 2008

0 Comments: