Minggu, 01 Juni 2008

Esai Sepatu









T.WIJAYA

Pemimpin Indonesia, Mana Sepatumu?

BAHAN bakar minyak (BBM) naik. Rakyat menderita. Mahasiswa marah. Duhai, para pemimpin Indonesia, mana sepatumu?
Pertanyaan ini bagi saya sangat penting, sebab dulu kalau abah saya marah dengan orang yang tidak memiliki etika atau tidak memikirkan orang lain, selalu dikatakannya, ”Kamu ini tidak mengenakan sepatu.” Maksudnya, orang yang tidak mengenakan sepatu adalah manusia tidak memiliki peradaban yang baik. Manusia yang tidak peduli dengan orang lain, manusia yang mau menang sendiri, enak sendiri, seperti binatang yang tidak mempunyai tradisi mengenakan sepatu, kecuali kuda yang dilombakan atau dijadikan buruh angkutan.
Tapi, para juru bicara penguasa Indonesia pasti akan menjawab, para pemimpin Indonesia sudah sejak kecil mengenakan sepatu. Bahkan, ada sebagian yang tidur tetap mengenakan sepatu, terutama ketika berlibur ke luar negeri yang tengah musim salju atau dingin.
Jawaban itu tentu saja benar. 100 persen benar. Namun, apakah para pemimpin Indonesia itu tahu, apa makna dari sebuah sepatu? Apakah sepatu yang mereka kenakan sebatas penghias kaki atau menyembunyikan identitas dan biografi telapak kaki yang buruk. Misalnya telapak kaki itu selama ini selalu pergi ke tanah yang meninggalkan penderitaan bagi banyak orang.

Sepatu Dunia
SEPATU merupakan hal pertama yang diciptakan manusia sejak jutaan tahun lalu. Dasar pembuatan sepatu atau alas kaki merupakan desakan atas kebutuhan dalam melindungi kaki dari tajamnya batu, pasir yang menyerap panas matahari, tanah bergelombang, tanah terjal dan basah, ketika manusia memburu makanan dan tempat tinggal. Sejarah manusia di Tiongkok dan Mesir meninggalkan sejarah mengenai sepatu ini.
Sangat pentingnya sebuah sepatu, di Eropa begitu banyak dongeng mengenai sepatu seperti Seven League Boots, Mercyry's Winged Sandals, Puss in Boots, Cinderella, lainnya.
Bentuk pertama sepatu merupakan bentuk sederhana dari rumput atau kulit mentah yang dijalin sedemikian rupa, atau dililitkan ke pergelangan kaki. Pada bangsa Mesir kuno, mereka mengenakan sejumlah sandal yang dibuat dari jalinan daun papirus dan ditempat secara artistik.
Di negeri tropis dan sub-tropis, seperti Asia, sandal terbilang merupakan penutup kaki paling populer. Dalam berbagai bentuk dan ornamennya, sandal merefleksikan lingkungan di mana sandal tersebut digunakan, plus selera artistik dari sang pemakai. Di sejumlah negara, model-model sandal merefleksikan keterampilan sang pembuat, plus tingkat pendidikan dan kesejahteraan dari orang yang memakainya. Seperti sepatu pada bangsa Jepang. Pada masa lalu, penggunaan sepatu berujung lancip mengindikasikan status sosial dari si pemakai dan pembuat sandal, yang membedakan mereka dengan keluarga kerajaan, pedagang dan pekerja seni. Hal ini berlaku untuk segala profesi dan lapangan kerja.
Sementara pada bangsa Yunani, yang lebih berorientasi menciptakan desain yang lebih cantik. Sementara itu, bangsa Roma menciptakan model sandal yang bisa digunakan oleh para tentara mereka, yang memungkinkan sang pasukan bepergian dengan berjalan kaki melewati berbagai macam medan. Dalam even yang lebih bersifat perayaan, sandal sering dijalin cantik dengan ornamen dari emas dan batu-batu berharga.
Sedangkan di wilayah dingin, seperti pada masyarakat di North American Indian, orang-orang Eskimo dan Laplander, mereka mengenakan mokasin. Mokasin ini memiliki bentuk yang terbilang unik, yaitu lapisan yang dilipat, yang menandakan bagian depan mokasin, merupakan semua yang tersisa dari lapisan sepatu--dikumpulkan dan diikat di sekeliling pergelangan kaki.

Sepatu Borjuis
SELANJUTNYA, ketika di Eropa lahir kaum borjuis, sepatu mengalami pergeseran pemaknaan. Sepatu sudah menjadi simbol kekuasaan atau derajat sosial. Tapi, sepatu-sepatu yang muncul berbentuk aneh, seperti sepatu model Crackow, dengan bagian jari kaki yang begitu tinggi sehingga sulit untuk dipakai berjalan. Sepatu model ini sempat dilarang pemakaiannya, sebelum benar-benar punah dalam waktu relatif singkat. Setelah itu, muncul sepatu model Duckbill pada era Ratu Elizabeth, yang perlu sebuah hukum resmi untuk menetapkab ketebalannya yang tidak boleh lebih dari 5,5 inci.
Pada masa sepatu aneh ini muncul, rakyat di Eropa mengalami penderitaan yang sangat. Berbagai penyakit menyerang, begitupun kelaparan melanda hampir semua masyarakat Eropa. Kondisinya mungkin tidak lebih yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini.

Sepatu Indonesia
NAH, melihat sejarah Indonesia, tampaknya bangsa ini baru mengenal sepatu. Pada abad pertengahan saja, para bangsawan di Sumatra dan Jawa, tidak mengenakan sepatu. Mereka masih bertelanjang kaki. Ini tercermin dari sejumlah foto, lukisan, atau patung, yang saat ini masih kita temukan di perpustakaan atau museum. Sepatu atau alas kaki, tampaknya baru dikenalkan para pendatang dari Tiongkok atau Persia, yang melakukan perdagangan ke Nusantara.
Bahkan, sampai hari ini saja, kita masih menemukan banyak anak-anak di pedesaan atau kawasan kumuh di perkotaan yang tidak mengenakan sepatu.
Buat abah saya, masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang tidak berbudaya. Bagi abah saya yang mendapatkan pendidikan Belanda dan Jepang, masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang mengenal sepatu atau alas kaki.
Saya percaya, bila abah saya masih hidup, dia akan mempertanyakan kembali pendapatnya itu. Sebab para pemimpin Indonesia hari ini termasuk manusia yang telah lama mengenal dan mengenakan sepatu. Tapi, perilakunya seperti manusia yang tidak memiliki peradaban.
Mungkin, bila pun abah saya tetap mempertahankan pendapatnya, dia akan berkata para pemimpin Indonesia saat ini seperti para borjuis di Eropa pada abad pertengahan. Yang mana sepatu bukan semata sebagai pelindung telapak kaki, melainkan sudah menjadi simbol status social. Semakin lama mengenakan sepatu, kian membuat dirinya menjadi orang yang paling berkuasa, sehingga dapat berbuat semaunya terhadap rakyat Indonesia yang jarang atau baru mengenal sepatu.
Jadi, ada baiknya, para pemimpin Indonesia melepaskan sepatu, lalu menggantungnya di langit-langit kamar tidurnya. Tatap sepatu dan renungkan, sudah berapa banyak tanah yang diinjak sepatu itu meninggalkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia? [*]

0 Comments: