Rabu, 04 Juni 2008

Esai Keluarga Mi Instan








T. WIJAYA
Para Keluarga Mi Instan 2008


INI cerita usang, yang ingin saya ceritakan lagi. Tidak hanya sebuah keluarga dengan satu rumah di antara jutaan keluarga lainnya, menyukai mi instan. Setiap pagi, banyak bapak, ibu, dan anak sarapan mi instan. Menjelang siang, di sekolah, di kampus, di tempat kerja, bahkan di dalam bus kota, banyak keluarga makan mi instan. Dan, pada malam hari, mereka juga makan mi instan.
Hasan, anak tertua, dan Husin, anak paling kecil, mengaku menyukai mi instan karena menurut para sahabatnya, Syamsul, Devi, Mahmud, Revi, Anton, Yeyen, mi instan selain gampang dibeli juga gampang dimasak, serta membantu pendapatan para buruh yang bekerja di pabrik mi instan.
"Coba kalian renungkan. Kalau kita tidak membeli mie instant, bagaimana nasib para buruh itu? Mereka pasti tidak menerima gaji," kata Syamsul.
Makan mi instan selain mengeyangkan perut, juga membuat Hasan dan Husin pandai berhitung. Satu tambah satu sama dengan dua. Dua tambah dua sama dengan empat. Dua kali satu, ya, sama dengan dua. Cuma, kata Hasan, kalau makan sebungkus mi instan maka di dalam perut jumlahnya bertambah dan membesar. Ini akibat pengelolaan yang sistematis yang dilakukan usus besar, usus kecil, dan lambung.
“Apalagi kalau sehabis makan mi instan banyak meneguk air putih,” kata Husin.
Walaupun menyukai mie instant, banyak keluarga ini tidak memandang Tuhan secara instan. Mereka terkadang merumit-rumitkan bahasa dan petunjuk Tuhan melalui para nabi atau pemuka agama. Misalnya mengenai haram atau tidaknya mi instan yang dibuat pabrik yang tidak pernah melakukan ritual pemujaan kepada Tuhan. Mereka terkadang mencoba menghubungkan bentuk, warna bungkusnya, tulisan, serta aroma setiap mi instan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Tetapi kerumitan itu selalu berhenti setiap kali pemilik pabrik mi instan melakukan pembelaan atau menuliskan kata “halal” dan menyebut mi instan dengan nama para nabi, nama Tuhan, atau orang-orang suci. Yakin, dan tidak kritis seperti membahas sabda nabi.
"Kami memang tidak menggunakan nama Tuhan dalam membuat mi instan ini. Kami hanya menekan tombol dan memerintahkan beberapa orang bekerja secara baik. Tapi kami percaya pekerjaan ini direstui Tuhan dan halal. Sebab niat kami membuat mi ini sangat baik, bukan untuk menyusahkan orang lain. Buktinya produk kami ini bernama Alhamdulillah. Kalau tidak percaya, tanyakan sama Tuhan," kata si pemilik pabrik mi instan kepada seorang wartawan yang kemudian meminta ongkos pulang karena biaya transportasi dari kantornya tidak mencukupi.
"Saya akan menulis mi instan produksi pabrik bapak atas nama Tuhan," kata si wartawan.
Hasan dan Husin termenung saat menelan mi instan goreng, siang ini. Dia bertanya apakah di Kutub Utara ada manusia yang makan mi instant? Baginya pertanyaan itu sangat penting. Sebab seandainya tidak ada manusia yang makan mi instan di Kutub Utara, berarti kesadaran membantu para buruh pabrik mi instan belum berjalan secara baik. Tepatnya kampanye pembelaan kaum buruh oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum optimal.
Beranjak dari keraguan itu, Hasan dan Husin kemudian memiliki gagasan membentuk lembaga advokasi mi instan. Tujuannya cuma satu: mengajak semua manusia makan mi instan sehingga derajat kesejahteraan kaum buruh pabrik mi instant menjadi lebih baik.
Besoknya bersama Syamsul dan Imron, Hasan membentuk sebuah yayasan yang bernama Komite Mi Instan untuk Keadilan Buruh. Wilayah kerjanya mengadvokasi semua yang berhubungan dengan mi instan. Yayasan ini kemudian mendapat dukungan banyak pihak.
Terutama dari donatur negara-negara Barat, yang memang mencanangkan peradaban manusia harus memasuki era instan. Segala ritual makan selama ini, yang dikondisikan tradisi feodalisme, sangat tidak efisien sehingga dapat mengurangi semangat berpikir yang cepat dan taktis. Pada tahun pertama bekerja yayasan ini menerima sumbangan sebesar 500 ribu dolar.
Program kerja yang dilakukan antara lain mengadakan pesta mi instan di setiap komunitas miskin kota, parlemen, serta aparat keamanan dan pertahanan, secara gratis. Tanpa dipungut bayaran Kemudian menjelaskan kepada publik bagaimana penting dan bergunanya mi instan bagi kehidupan manusia. Apabila ada pelarangan makan mi instan di dalam keluarga dengan alasan apa pun, yayasan tersebut mengadvokasinya sebagai tindak kekerasan atas hak asasi dalam menentukan selera. ***

SERATUS enam puluh tahun kemudian, banyak keluarga mi instan memenangkan lomba mewarnai bungkus mi instan. Saat itu jenderal-jenderal sangat tertarik dengan kompetisi mewarnai mi. Sebab menurut mereka, secara ideologis, mewarnai mi itu memberikan semacam kesadaran untuk bersatu, menjunjung keadilan, disiplin, dan berpihak pada rakyat.
"Marilah kita mensyukuri nikmatnya mi instan. Kalau tidak ada mi instan, mungkin biaya perang negara ini sangat tinggi. Berkat mi instan setiap prajurit selalu siap di medan tempur, tanpa menuntut bekal makanan yang mahal-mahal. Sudah sepantasnya kita mengucapkan terima kasih kepada pabrik-pabrik mi instan yang bekerja selama ini. Dan, tak lupa juga kepada para buruhnya," kata seorang jenderal seusai perlombaan mewarnai bungkus mi instant di Kalidoni.
Tak jauh dari itu lokasi lomba itu, banyak keluarga yang selalu diburu-buru ideologi pasar, berusaha dengan sekuat tenaga mengumpulkan ratusan cacing tanah. Cacing-cacing itu mau mereka buat menjadi tiruan mi instan. Mereka tidak mampu membeli mi instant, meskipun sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Harapan mereka setelah makan cacing-cacing itu mereka sama seperti makan mi instant, sehingga dapat menerima ideologi pasar.
Cacing-cacing itu mereka masukan ke dalam panci. Ditutup rapat. Kemudian ditanam di dalam hutan yang rimbun dan lembab. Mengharapkan menjadi dingin.
Pada suhu -15 derajat celcius, para ibu membuat bumbunya. Sementara para ayah menonton sepakbola yang disponsori sebuah perusahaan mi instan. Tiga anak yang kecerdasannya mengalami penurunan akibat trauma akan pasar, merangkak dan mengintip kedinginan cacing-cacing melalui cela-cela tanah yang menutupi panci.
"Hei! Kalian jangan terlalu dekat. Mereka memiliki kamera yang akan merekam napas dan pikiran kalian. Cepat pergi," kata para ibu.
Ketiga anak itu kembali ke kamar. Menghitung jumlah iklan dan mengkoleksi dada dan paha indah dalam imajinasi. Para ibu berteriak: “Makan!” Para ayah dan ketiga anak itu melompat ke meja makan. Para ibu dengan kelenturan tubuhnya menari-nari sambil membawa mi instan. Giginya yang kuning akibat terlalu banyak merokok terlalu lama dilihatkan. "Mari makan."
Tak ada yang menggemparkan.Tiba-tiba waktu bergerak mundur. Seratus enam puluh tahun, delapan bulan dua hari, tiga jam, dua menit, lima belas detik : Saya melahap sepiring mi instan. Indonesia berkibar sebagai KTP dalam perjalanan pulang ke kamar tidur.
"Maafkan aku Ibu Pertiwi, aku simpankan KTP ke dalam asbak rokok."
Tak ada yang mengaku merdeka. Tukang koran sahabatku cuma berteriak bahwa dua puluh tahun ke depan koran tidak dijual, koran dibagi secara gratis, dan mi instan tetap dijual.
Saya terkenang: Dulu, saat saya masih ikut pramuka, mi instan merupakan barang haram. Sebab mi instant membuat anggota pramuka yang malas memasak. Kini, saat saya membenci pramuka, gubernur menyumbang mi instan buat para pramuka yang mengadakan perkemahan, atau korban banjir, gempa bumi, kelaparan, atau yang ikut kampanye pemilihan kepala daerah. Dan, dulu maupun kini, buruh pabrik mi instan tetap sebagai baut yang sewaktu-waktu dibuang sebagai gadis tanpa suami, pekerja seks, maupun janda yang membuka warung rokok di terminal, atau sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatra. ***

BANYAK keluarga dengan satu rumah, satu televisi, satu komputer plus internet, sangat menyukai mi instan. Ayah, ibu, dan anak setiap hari makan mi instan. Tapi yang dibuang pun relatif sama. Seragam. Perbedaan cuma tercermin dari komposisi warna. Sebab untuk beberapa hal, para ayah, para ibu, dan tiga anak ini juga memiliki selera khusus saat mengonsumsi minuman instan. Para ayah suka pepsi, para ibu suka coca-cola, dan tiga anak suka mencampur pepsi dengan vodka. Tak ada yang mereka takutkan. Kecuali adanya kebijakan pemerintah menghentikan pabrik-pabrik mi instant berproduksi.
Di luar angin membelit awan. Yayasan Komite Mi Instan untuk Keadilan Buruh masih bergerak di jalan-jalan. Mereka berharap ada wartawan yang terlibat sehingga dana kampanye bisa dioptimalkan. Tahun ini, lembaga donor dari Amerika Serikat maupun Eropa menginginkan peningkatan kampanye mi instan. Para aman. Para amin. [*]

0 Comments: