Senin, 02 Juni 2008

Esai Mitos








T. WIJAYA
Artis, Mitos Baru Capres 2009

Orang bijak selalu mengatakan mimpi adalah kembang hidup. Mimpi yang indah membawa kebahagiaan. Mimpi yang buruk jangan diingat. Bila realitas hidup buruk, carilah mimpi yang membuatmu bahagia.


Sejak manusia membentuk peradaban, seni merupakan pilihan manusia untuk mencari kabahagiaan. Dari raja yang susah hati menghibur diri dengan menonton teater atau wayang, hingga presiden yang cemas menyempatkan diri menonton film. Dari para negro yang bersenandung setelah bekerja seharian di ladang jagung dan gandum milik para cowboy, hingga para buruh di Tanggerang yang berjoget dan bernyanyi dangdut setelah seharian membuat sepatu.


Selama puluhan atau bahkan ratusan abad lalu, para pencipta karya seni, biasa disebut seniman atau artis, posisinya masih sebatas pelayan publik, meskipun tidak sedikit pemikiran mereka banyak memengaruhi kesadaran manusia dalam membangun peradabannya.

Dunia Baru
Kapitalisme yang hampir menguasai semua manusia hari ini, suka dan tidak suka, membuat sebagian besar manusia menjadi menderita. Mulai dari menjadi korban perang penguasaan sumber daya alam, kesulitan mendapatkan makanan, hingga kesulitan mendapatkan minyak tanah, pengobatan, pendidikan, hingga lapangan pekerjaan. Manusia yang mengalami penderitaan ini terbentang dari gurun di Afrika, Asia, Amerika Latin, hingga ke pelosok desa di Banten.


Ironinya, agar mereka bebas dari realitas hidup yang buruk tersebut, mereka juga mendapatkan kesulitan menikmati kesenian, sebagai alternatif mencari kebahagiaan. Sebab sebagian besar produk kesenian telah dikuasai para kapitalis, sehingga nilainya menjadi mahal. Atau, mereka pun tidak mampu menciptakan produk kesenian yang baru lantaran tidak memiliki fasilitas.


Dan, akhirnya mereka menerima produk kesenian yang diproduksi kelompok kapitalis, sebagai servis dari bisnisnya, melalui media monolognya yakni televisi. Maka, beramai-ramailah manusia miskin itu, seperti halnya saya, mendapatkan mimpinya di televisi. Banyak tokoh yang memberi mimpi bagi manusia yang lahir dari televisi ini. Misalnya Zorro, Batman, Superman, atau Naruto.

Mitos Baru
Dede Yusuf adalah salah satu aktor yang lahir dari televisi. Perannya yang menjadi manusia yang arif, penolong, baik hati, alim, atau ”Pramuka tulen” itu selama dekade 1980-an hingga 1990-an menjadi sosok yang memenuhi mimpi masyarakat Indonesia yang menderita. Tidak heran, misalnya, anak laki-laki yang lahir di era itu, dinamakan Dede Yusuf. Mereka berharap, anak itu kelak menjadi manusia seperti Dede Yusuf yang tergambar di sejumlah sinetron.
Perlakuan yang sama juga diberlakukan terhadap aktor yang selalu menjadi orang baik, seperti Rano Karno, Dedy Mizwar, Slamet Rahardjo, atau Christine Hakim.


Nah, kemenangan Rano Karno dan Dede Yusuf, kemungkinan besar, sebagai wakil kepala daerah di Tanggerang dan Jawa Barat, menurut saya sebagai bukti bahwa masyarakat Indonesia yang miskin sangat mempercayai televisi sebagai ruang mimpi mereka. Mereka seakan percaya, apa yang diperankan Rano Karno dan Dede Yusuf di televisi lebih menjanjikan dibandingkan peran para politisi atau mantan pejabat yang dibesarkan partai politik dan birokrasi.


Jadi, meskipun dua contoh aktor itu masih terlalu minor, tampaknya masyarakat Indonesia telah memiliki mitos baru mengenai pemimpinnya. Sama seperti pada masyarakat tradisional yang memitoskan turunnya ”Ratu Adil”.


Bila fenomena ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin presiden Indonesia 2009-2014 bukan SBY, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, atau Sutiyoso, melainkan Iwan Fals. Nah, kalau saya anggota dewan, saya akan mencegah fenomena ini dengan membuat peraturan bahwa calon presiden Indonesia tidak boleh dari kalangan seniman atau artis, sebab seniman itu dekat dengan syetan seperti yang selalu dicekoki nenek saya. *
*) Dimuat detikcom 15 April 2008

0 Comments: