Kamis, 05 Juni 2008

Esai Sumbu Pendek








T. WIJAYA
Sumbu Pendek

SEJAK tujuh tahun lalu saya mendengar istilah ”sumbu pendek” dari sejumlah kawan-kawan di Jakarta. Artinya, gampang marah, gampang emosi.

Pada saat memimpin Kontras di Jakarta, oleh sejumlah aktifis di Jakarta, Munarman dinilai sebagai orang yang ”bersumbu pendek” alias gampang emosi atau marah. Jadi, pernyataan itu memberi kesan bahwa Munarman adalah orang yang gampang emosional.

Munarman yang kini selaku Panglima Komando Laskar Islam, menjadi tersangka dalam kasus bentrokan di Monas, Jakarta, 1 Juni 2008 lalu.

Sebetulnya, jika kita mengenal watak atau karakter orang Sumatra Selatan, karakter Munarman itu biasa saja, atau karakter umumnya wong Sumatra Selatan.

Bahkan, saya maupun kawan-kawan Palembang lainnya, sempat dinilai kawan-kawan di Jakarta sebagai orang ”bersumbu pendek”. Lebih jauhnya, sejumlah aktor politik seperti Taufiq Kiemas pun dinilai sebagai orang ”bersumbu pendek”.

Mengapa gampang marah? Menurut saya, bicara dengan nada tinggi dan penuh tekanan merupakan karakter orang Sumsel dalam mengungkapkan sesuatu yang diyakininya. Hampir setiap hari, di Sumsel kita akan menemukan orang Sumsel bicara seperti itu dalam mengungkapkan sebuah keyakinan. Tidak berbisik-bisik atau mengekspresikan wajah tidak senang.

Tetapi, jarang sekali ditemukan tindak kekerasan saat mereka berdebat soal keyakinan. Namun, sebagian muslim di Sumatra Selatan, akan marah besar jika Tuhan atau nabi mereka dibilang dengan kata-kata kotor. Kalaupun ditemukan tindak kekerasan dari sebuah perdebatan, sifatnya hanya satu-dua kasus. Ini sama seperti yang terjadi di bagian lain di Indonesia.

Lalu, jika karakter ini dikaitkan dengan tindak kekerasan, saya pikir menjadi sebuah perdebatan yang panjang. Kita akan bingung bila banyak bapak atau ibu di Sumatra Selatan, berteriak keras-keras dan mengeluarkan kata-kata kotor terhadap anaknya yang minta dibelikan sepatu baru. Lalu, beberapa menit kemudian, si orangtua akan memberikan sejumlah uang kepada si anak yang baru dimarahi. Besoknya, kejadian itu terlupakan.

Bagaimana dengan sikap Munarman seperti yang tergambar dalam foto saat bentrokan di Monas? Saya pikir, bisa saja itu sikap kepedulian Munarman pada lelaki bekaos hitam itu. Kalau betul-betul marah, lelaki itu mungkin langsung dipukul Munarman, bukan ditarik kaosnya. Entahlah.

Yang jelas, sejak kejadian di Monas itu, telepon genggam saya tak henti dikontak maupun dikirim SMS dari sejumlah kawan dari beberapa daerah di Indonesia. Sebagian mengomentari soal karakter Munarman yang “sumbu pendek” itu.

Jadi, benar kata orang bijak itu, sesuatu yang baik kalau disampaikan dengan cara yang emosial mungkin ditangkap buruk. Begitupun sebaliknya. Yang jelas, karakter wong Sumsel ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia ini memang tidak satu karakter, bhinneka karakternya.

Yang perlu diketahui, meskipun watak wong Sumatra Selatan yang “sumbu pendek” itu, tapi sejak puluhan abad tidak pernah terjadi kerusuhan antaretnis atau keyakinan. Berbagai agama atau kepercayaan tumbuh dan berkembang secara damai di Sumatra Selatan. Asal mereka saling menghargai. Bila tidak, seperti meletusnya perang kolonial Belanda dengan Kesultanan Palembang Darussalam beberapa abad lalu, akibat sejumlah tentara kolonial Belanda masuk masjid Agung menggunakan sepatu.

Bagaiamana dengan kejadian Monas? Jelas saja tindak kekerasan dalam bentuk apa pun adalah salah. Munarman selaku pimpinan massa harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Akan tetapi, perlu juga dikritisi dasar dari kekerasan itu, yakni adanya semacam pembiaran dari pemerintah adanya bentuk kekerasan tersebut. Sebab Munarman dan kawan-kawan mempesoalkan sikap pemerintah mengenai keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. ***

0 Comments: