Selasa, 03 Juni 2008

Esai Batu










T. WIJAYA
Pengakuan Batu

SAYA terlibat pembahasan mengenai batu dengan Erwan Suryanegara sejak 7 bulan lalu. Kami bergelut mengenai batu, sebab saya sendiri memiliki ketertarikan pada batu sejak 20 tahun lalu, sementara Erwan Suryanegara baru selesai melakukan penelitian mengenai peradaban Pasemah, sebuah peradaban prasejarah di sepanjang Bukit Barisan, Sumatra Selatan. Batu-batu berupa idol yang telah menjadi gurunya untuk mengungkap kebesaran peradaban yang diyakini sebagai cikal peradaban yang disebarkan kerajaan Sriwijaya ke penjuru nusantara.

Setelah beberapa hari terlibat perbincangan mengenai batu, Erwan Suryanegara menawarkan sebuah gagasan yakni pembuatan sebuah prasasti baru sebagai penanda kebudayaan Sriwijaya yang masih bertahan di Sumatra Selatan hingga hari ini. Disepakatilah, prasasti itu harus berbahan baku seperti idol dan patung yang dibuat para leluhur di masa prasejarah maupun kerajaan Sriwijaya. Yakni batu andesit yang masih ditemukan atau didapatkan di daerah gunung Dempo atau Pagaralam.

Pada awalnya prasasti itu dibuat hanya sebagai penanda bahwa kebudayaan Sriwijaya masih bertahan hingga hari ini, dan masih adanya hubungan erat antara manusia dengan batu, meskipun ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikianrupa selama empat abad terakhir ini.

Selanjutnya, kami merasakan kondisi negara-bangsa di nusantara ini mengalami krisis yang kian hari membawa rakyatnya ke jurang penderitaan. Krisis ini juga yang menyebabkan saya menjadi cemas, dan dalam novel Buntung, saya mencemaskan Indonesia akan bubar apabila tidak ada perubahan paradigma dan keinginan bersama buat memperbaiki Indonesia.

Mitos Baru
SAYA dan Erwan sepakat bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan mitos baru. Sebab mitos nasionalisme yang didengungkan Bung Karno tampaknya tengah mengalami krisis kepercayaan dengan semangat otonomi yang menjadi kesadaran sebagian rakyat Indonesia. Misalnya kesadaran untuk melakukan pemekaran sebagai usaha jawaban atas eksistensi, bukan kebhinekaan.

Sementara mitos pembangunan yang didengungkan Soeharto, hanya membawa trauma pada masyarakat Indonesia terhadap segala monopoli dan kerakusan para investor di nusantara ini.

Lalu, apa mitos baru itu? Setelah melangsungkan diskusi meraton dengan Djohan Hanafiah, B. Trisman, kami menyimpulkan bahwa kejayaan Sriwijaya dapat dijadikan mitos bagi masyarakat di nusantara ini menjadi lebih baik di masa mendatang. Jadi, lengkaplah keyakinan kami bahwa pembuatan prasasti baru Sriwijaya itu sebagai penanda dan mitos masyarakat nusantara pada hari ini. Kami sebut mitos itu sebagai “Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya”.

Yang mengejutkan, program Sumsel Lumbung Energi Nasional, yang selama ini kami selalu kritik, ternyata setelah ditelusuri memiliki dasar pemikiran yang menarik. Ketika berbicara Sumatra Selatan sebagai lumbung energi, ternyata itu sama seperti mengungkapkan kebesaran Sumatra Selatan di masa lalu, yakni di masa peradaban Pasemah, kerajaan Sriwijaya, hingga Kesultanan Palembang Darussalam.

Sadar atau tidak sadar, pemerintah Sumatra Selatan yang mencanangkan Sumsel Lumbung Energi Nasional telah melahirkan sebuah mitos yang mendorong masyarakat Sumsel bergerak, serta membuat banyak pihak—terutama investor—dari luar beramai-ramai menanamkan investasinya ke Sumatra Selatan.

Rangkaian selanjutnya, keterbukaan mengenai “kekayaan” Sumsel itu menimbulkan rasa percaya diri masyarakat Sumsel. Buktinya, para penggemar sepakbola di Sumsel telah memberikan napas dan semangat tersendiri bagi Sriwijaya FC untuk berprestasi, sehingga klub yang baru berusia 3 tahun itu meraih Piala Liga Indonesia dan Piala Copa 2007.

Dengan perdebatan yang panjang dengan berbagai rekan seniman, pekerja kebudayaan, kami menyimpulkan program Sumsel Lumbung Energi Nasional merupakan tekstum penting dari mitos Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya.

Politik
PROSES pembuatan Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya ini mengalami berbagai asumsi politik. Ini tidak lepas dari proses politik menjelang pemilihan kepala daerah Sumatra Selatan pada 4 September 2008 mendatang. Bahkan, seorang rekan jurnalis dari sebuah koran di Jakarta, mengirimkan SMS ke saya, dan menyebutkan kegiatan pembuatan Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya merupakan bagian kampanye bagi Syahrial Oesman, yakni kampanye pembangunan citra.

Di sisi lain, Syahrial Oesman sendiri yang semula mau memberikan tanda telapak kaki pada prasasti menjadi ragu. Dia takut jika ada pihak-pihak yang mempolitisir pembuatan prasasti tersebut. Dia minta telapak kaki diganti dengan tanda tangan miliknya. Sedangkan sejumlah para pekerja seni dan kebudayaan di Palembang sebagian menarik kesimpulan bahwa pembuatan prasasti itu sebagai bentuk kampanye. Meskipun cara pandang ini, menjadi lain ketika mereka menulis atau berkomentar di media massa.

Akibatnya, kami mengalami kesulitan mencari para pekerja seni yang mau terlibat dalam pertunjukkan seni dalam proses pembuatan Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya. Memasuki bulan ketiga tahun 2008 ini, kami baru menemukan tim kerja kesenian. Sebagian cuek atau tidak peduli dengan tujuan atau target pembuatan prasasti ini, kecuali menempatkan diri sebagai pekerja atau penolong, sebagian memang sepakat dengan konsep ini. Mereka itu Anton Bae, Indrajaya, Al-Ghazali, Misral, Eka Pascal, Muhaimin, Edy Fahyuni, Wawan, Budi Masriadi, Rapanie Igama, hingga 14 mahasiswa Sendratasik Universitas PGRI Palembang yakni Hariyanto Kanji, Yacob Silat, Tiwi Tari, Diah Cengir, Florence Lokal, Ayu Diem, Doni Gergaji, Doni Perahu, Zul Pejabat, Fadil Bengong, Wanda Lentik, Agung Imut, Tono Putih, Ari Semi Botak.

Spiritual
BANYAK hal yang mengejutkan kami menjelang pembuatan prasasti tersebut, yang kami sebut Pentas Kesadaran Nusantara: Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya. Pertama, sehari menjelang kegiatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba memanggil seluruh gubernur di Indonesia, termasuk Syahrial Oesman, dipanggil ke istana buat membahas soal kenaikkan BBM. Akibatnya Syahrial Oesman menunda memberikan tanda tangan pada prasasti tersebut. Kami menilai ini sebagai pertanda bahwa pembuatan prasasti jangan sampai menimbulkan fitnah yang terkait politik praktis.

Kedua, ketika prasasti dibuat dengan ditandai telapak kaki milik Djohan Hanafiah, selaku Ketua Dewan Pembinaan Adat-Istiadat Sumatra Selatan, di Plasa Benteng Kuto Besak, Palembang, sekitar pukul 15.30, Sabtu, 24 Mei 2008, lalu, tiba-tiba langit Palembang menjadi berawan. Musim panas yang dirasakan selama satu bulan tergantikan dengan hujan rinai dan angin. Bahkan, ketika Indrajaya membacakan sajak ”Bos, Pahatlah! Kami Berhenti Menggegaji Batu” sebuah kilat menerangi lokasi pementasan. Pementasan selesai, hujan pun berhenti.

Ada pengalaman spiritual di dalam diri saya saat itu. Tuhan seakan memberikan tanda bahwa pembuatan prasasti itu seperti sumpah para pendiri kerajaan Sriwijaya di masa lalu di Bukitsiguntang. Apalagi pada saat prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya dibuat, jutaan rakyat Indonesia yang kelaparan antri mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) di berbagai kantor pos. Harapan saya, program Lumbung Energi Nasional benar-benar akan membawa kebangkitan masyarakat Indonesia, baik fisik maupun spiritual, seperti di masa kejayaan kerajaan Sriwijaya dahulu.

Bos, bos, bos, kami tidak mau merebus batu, dan membiarkan istri-istri kami mengulum batu. Pahatlah! [*]

0 Comments: