Jumat, 06 Juni 2008

Esai Gus Dur vs Munarman








T. WIJAYA
Leluhur Gus Dur & Munarman Sama

ABDURACHMAN Wahid atau Gus Dur adalah seorang ulama, cendikiawan muslim, dan politikus. Munarman adalah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi aktifis organisasi nonpemerintah, lantas menjadi aktifis Islam fundamentalis. Sejarah yang berbeda. Tetapi, keduanya terlibat perdebatan mengenai Ahmadiyah. Yang satu membela, yang satunya mengecam. Tahukah Anda, keduanya sama-sama keturunan Putri Campa.

Pernyataan Gus Dur masih merupakan keturunan Putri Campa, disampaikan mantan presiden Indonesia itu beberapa waktu lalu.

Siapa Putri Campa? Kisahnya bermula dari adipati Majapahit yang menjadi pemimpin Palembang—Palembang Lamo—yakni Ario Damar. Ario Damar mendirikan kerajaan Palembang. Adipati Ario Damar berkuasa antara tahun 1455-1486. Lantaran banyak rakyat beragama Islam, Adipati Ario Damar memeluk agama Islam. Namanya berubah menjadi Ario Abdilah atau Ario Dillah.

Suatu hari, Ario Dillah mendapat hadiah perempuan dari Prabu Kertabumi Brawijaya V yakni ayahnya sendiri. Perempuan itu bernama Putri Champa, muslim dan beretnis Tionghoa-Melayu, yang sebelumnya menetap di Palembang. Putri Campa diceraikan Prabu Kertabumi Brawijaya V, lantaran keluarga besar kerajaan Majapahit tidak mau ada yang beragama Islam di lingkungan kerajaan.

Saat dibawa kembali ke Palembang, Putri Champa tengah mengandung. Setelah Putri Champa melahirkan anaknya, baru Ario Dillah menjadikannya istri. Anak yang dilahirkan Putri Champa dari suaminya Prabu Kertabumi Brawijaya V adalah Raden Hasan, yang nantinya menjadi ulama dan pemimpin terkenal bernama Raden Fatah. Lalu, Putri Champa dan Ario Damar memiliki anak bernama Raden Husin atau yang dikenal sebagai Raden Kusen.

Raden Hasan dan Raden Husin dibesarkan Ario Dillah dan Puteri Champa di istananya di Palembang Lamo yang dinamakan Candi Ing Laras, dengan pendidikan Islam.

Setelah Ario Dillah wafat, Palembang tidak memiliki pemimpin hingga tahun 1486. Lalu, keluarga Ario Dillah, termasuk Raden Hasan dan Raden Husin hijrah ke Jawa. Mereka ditampung Raden Rahmad atau Sunan Ampel. Di sana mereka memperdalam ajaran Islam. Sunan Ampel sendiri masih sepupu dari Cheng Ho, laksamana dari Tiongkok yang mampu membersihkan Palembang dari perompak di awal abad ke-15. Selanjutnya di Jawa, Raden Hasan menjadi ulama terkenal. Dia kemudian menjadi mantu dari Sunan Ampel, dan diberi gelar Raden Fatah oleh Sunan Ampel.

Pada tahun 1481, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dia didukung kekuatan dari berbagai daerah di Jawa, yang sebelumnya dikuasai Majapahit, seperti Tuban, Gresik, dan Jepara.

Pada masanya, Kerajaan Demak menjadi pusat niaga di Jawa pada abad ke-15. Gelar Raden Fatah setelah memimpin Demak adalah Senapati Jimbun Ngabdu‘r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata‘Gama. Tahun 1518 Raden Fatah wafat, dan digantikan Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor, putranya.Tahun 1521, Pati-Unus wafat. Tahta kekuasaan diserahkan kepada Pangeran Trenggono, adik Pati-Unus. Dia meninggal tahun 1546.

Nah, setelah itu, Kerajaan Demak goyang, sebab sejumlah saudara Pangeran Trenggono dan Pati-Unus ingin berkuasa, seperti Pangeran Seda ing Lepen. Keinginan tersebut ditentang Pangeran Prawata, anak Pangeran Trenggono. Terjadi perebutan kekuasaan hingga terjadi pertumpahan darah antarkeluarga.

Pangeran Seda ing Lepen dibunuh Pangeran Prawata. Selanjutnya Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Lalu, menantu Raden Trenggono, bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Pertumpahan darah terus berlanjut.

Tahun 1549, Arya Penangsang dibunuh Adiwijaya atau Jaka Tingkir, menantu Pangeran Trenggono, yang saat itu sebagai Adipati Kerajaan Pajang. Selanjutnya, Jaka Tingkir memindahkan Keraton Demak ke Pajang. Berakhirlah Kerajaan Demak.

Sewaktu Kerajaan Pajang menyerang Demak, sekitar 24 keluarga Raden Fatah lari ke daerah Timur pulau Jawa.Nah, sebagian keluarga Raden Fatah ini bertahan di Jawa. Keluarga yang bertahan ini yang kemudian melahirkan leluhur Gus Dur. Sementara yang lari ke Palembang, dipimpin Ki Gede Sedo ing Lautan, merupakan leluhur Munarman.

Jadi, sebenarnya dasar ilmu ke-Islam-an yang dimiliki Gus Dur dan Munarman sebenarnya sama. Sama-sama dari satu puyang—nenek moyang--yakni Raden Fatah. Lalu, mengapa mereka berbeda dalam memandang Ahmadiyah? Mungkin terlalu naif mempertanyakan ini dengan kesamaan luluhur itu. Tetapi, kesamaan ini bisa saja menjadi awal sebuah dialog sehingga konflik mengenai Ahmadiyah ini tidak memicu perpecahan pada umat Islam. ***

7 Comments:

VaILiXI said...

apa bener raden fatah keturunan Brawijaya5 ??
biasanya orang jawa kuno sengaja mengait-ngaitkan silsilahnya dengan raja2 besar sebelumnya agar dianggap sebagai pewaris yang sah dari kerajaan sebelumnya, yaitu Majapahit..

Cuma yang pasti, Raden Fatah berasal dari Palembang

T. Wijaya said...

ya, berdasarkan catatan sementara (bukan hanya catatan dari Jawa) tapi juga sumber sejarah di Palembang (setidaknya ini sumber sejarah yang masih dipegang) bapak Raden Fatah atau Raden Hasan dari Palembang. Tapi, kalau ada sumber sejarah yang lain ini dapat dibantah. sejarah tidak mutlak nian

T. Wijaya said...

maksudnya tadi dari Jawa, bukan dari Palembang.

VaILiXI said...

sumbernya apa? dari jawa maksudnya sumbernya dari jawa??

orang-orang2 jawa suka berlebihan dalam menggambarkan keturunan rajanya seolaha memiliki silsilah yang keren dan kekuatan supranatural yg berlebihan kayak di negarakertagama dan babad tanah jawi..

oleh karena itu sumber2 jawa agak kurang dipercaya sebagai fakta sejarah walaupun memiliki nilai sejarah. Biasanya sejarahwan yang kritis nganggep nya hanya sekedar karya sastra jawa

T. Wijaya said...

betul, sejarah kita memang bersumber dari babat atau cerita, tapi itulah sumber yang dapat dibaca selain artefak (tambahan catatan dari cina atau india) dalam babat melayu juga diceritakan hal yang sama. persoalan tidak percaya, ya, itu sangat betul. kini kita harus mencari sumber lain. ada sumber lain?

Anonim said...

Ah Bung Wijaya ini ada-ada saja. Terlalu naiflah mengaitkan persolan dengan "dongeng gombal" tentang leluhur itu. Lebih gombal lagi, ketika ada kata-kata "dasar ilmu ke-Islam-an yang dimiliki Gus Dur dan Munarman sebenarnya sama".
Bagi saya, terlalu picik menyandingkan Gus Dur yang kecerdasan dan kepintarannya melebihi kebanyakan orang (termasuk Anda) dengan Munarman yang ketololannya setinggi itu. (Mungkin, ia yang paling tolol di negeri ini). Atau jangan-jangan Anda juga kerasukan ketololan Munarman.
Udah ah buang-baung waktu saja, ada hal-hal yang jauh lebih penting dari pada ngomoin Munarman.

Anonim said...

Menarik juga ceritanya. Intinya ingin mengulas sejarah hubungan Majapahit (Jawa Timur, tempat asal Gus Dur) dan Palembang (tempat asal Munarman), namun diawali dgn nuansa perbedaan pendapat/pandangan mengenai Achmadyah antara Gus Dur dan Munarman. Salut utk kreatifitasnya Bung T. Wijaya.