Selasa, 03 Juni 2008

Narasi Pabrik Kertas (2)








KASUS PABRIK KERTAS SITI HARDIYANTI RUKMANA (2)

Manipulasi yang Hanya Menyentuh Aparat Desa dan Kecamatan


LAHAN yang secara turun-menurun telah menghidupi ribuan jiwaitu akhirnya tergusur hanya oleh dua surat keputusan (SK), masing-masing SKBupati Muaraenim Hasan Zen, 9 April 1994, mengenai harga tanah senilaiRp300-Rp1.000 per meter persegi, dan SK Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel),30 Oktober 1986, mengenai ganti rugi tanam tumbuh. Maka, dengan terpaksa danmenahan kecewa dan kemarahan, Tamim (58), petani Muaraniru, melepaskan lahankopinya seharga Rp300 per meter persegi. Lahan seluas satu hektare lebih itudiganti Rp6 juta.


Belum habis rasa kecewanya, Kepala Desa (Kades) Muaraniru Zawawimendatanginya untuk meminta uang sebesar Rp1,3 juta. Katanya, itu uangpungutan berdasarkan perintah Bupati Zen. "Karena saya tidak punya uangsebanyak itu, saya kasih Rp1,18 juta," ungkap Tamim.
Warga lain, bila tidak seperti Tamim, mengalami pungutan untuk biaya suratketerangan tanah sebesar Rp50 ribu per hektare, ditambah biaya adminitrasiRp17.500 per hektare. Selanjutnya, dilakukan pemotongan 1,5 persen dariangka ganti rugi untuk kas desa dan 2,5 persen untuk kas kecamatan.Selebihnya, para petani juga diwajibkan membayar biaya pajak bumi bangunan(PBB) untuk tiga tahun ke depan, yang jumlahnya hingga ratusan ribu rupiah.Pokoknya, jumlah pungutan per petani itu antara Rp500 ribu dan Rp7 juta."Jumlah Rp5 miliar itu untuk pembebasan lahan yang luasnya mencapai 4 ribuhektare milik 338 kepala keluarga, untuk lahan pabrik PT Tanjung EnimLestari, dan sebagian untuk hutan tanaman industri PT Musi Hutan Persada,"kata Kemas Muhammad Amin, S.H., dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang.


Sudah dihargai rendah, pendataan atas lahan petani pun dimanipulasi olehkades. Misalnya lahan kosong dikatakan berisi pohon karet sebanyak 450batang per hektare atau kebun karet yang baru berumur satu tahun dilaporkantelah berusia sembilan tahun. Manipulasi data itu untuk mendapatkan gantirugi yang lebih besar, "Semua pungutan itu melalui sebuah rekening SimpedesBank Rakyat Indonesia Cabang Prabumulih saat petani menerima transfer danaganti rugi," kata Amin.


Itu terhitung manipulasi kelas teri. Bagaimana dengan yang kelas kakap?Diperkirakan mencapai Rp11 miliar. Siapa pelakunya? Tentu saja tidak adayang mengaku. Berdasarkan surat persetujuan Menteri PenggerakInvestasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang saat itudijabat Hartarto Sastrosoenarto, tentang pengalihan status PT Tanjung Enimdari Penanaman Modal Dalam Negeri ke Penanaman Modal Asing, disebutkan bahwainvestasi pembelian dan pematangan lahan seluas 1.250 hektare sebesar Rp37,7miliar. Sejumlah 50 persen dari dana tersebut diperuntukkan bagi pematanganlahan dan administrasi, sedangkan separonya lagi untuk pembelian tanah."Jika dibagi, harga tanah per hektare sesungguhnya Rp15 juta. Bila rata-ratapetani menerima ganti rugi sebesar Rp5 juta per hektare, artinya sekitarRp11 miliar menguap," papar Amin.


Seperti sudah diduga banyak pihak, hasil penyidikan yang dilakukan pihakKejaksaan Tinggi (Kejati) terhadap kasus manipulasi itu tidak akan menyentuhHasan Zen, mantan Bupati Muaraenim, periode 1993-1998, yang kini menjabatsekretaris wilayah daerah Pemda Tingkat I Sumsel, juga mantan Gubernur RamliHasan Basri (1993-1998), apalagi menyangkut keluarga Cendana.


Menurut Kajati Lukharni, S.H., berdasarkan bukti-bukti yang didapat, hanyaKepala dan Sekretaris Desa Muaraniru, Zawawi dan Lukman, serta Camat RambangDangku, Helmiman, yang terbukti bersalah. "Bukti-bukti ke arah mantanpejabat Pemda Muaraenim tidak ada," katanya.


Tidak puas dengan hasil penyidikan tersebut, puluhan petani dan mahasiswamelakukan aksi ke kantor Kejati, 26 November 1998. Belum 5 menit merekaberada di kantor tersebut, Lukharni dan anak buahnya mengintimidasi parapengunjuk rasa. Bahkan seorang pegawai kejaksaan mengeluarkan senjata tajamdari pinggangnya untuk menakuti massa, selain dua pegawai lainnya mengapitsenjata api di ketiaknya. Buntutnya, tiga wartawan – masing-masing Sahnandari Kompas, Oktaf Riady dari Sumatera Ekspres, dan Sihat Judin dariPalembang Pos – yang juga menulis peristiwa tersebut dipanggil pihakkejaksaan. Hanya Sahnan dan Oktaf yang datang, Senin (30/11). "Kamimemanggil mereka semata untuk mengklarifikasi berita. Tidak ada maksudlain," kata Kepala Humas Kejaksaan Ali Zainuddin, S.H.


Bupati Hasan Zen sendiri dengan tegas membantah bahwa dirinya terlibat dalamkasus manipulasi itu. "Demi Tuhan, saya tidak melakukannya," katanya. Namun,menurut masyarakat Muaraenim, setelah adanya proyek pembebasan lahan untukpabrik PT Tajung Enim, jumlah kendaraan pribadi yang dimilikinya menjadipuluhan dari berbagai merek.
Pemda Muaraenim sendiri, lewat perantaraan Zen, melakukan pembebasan lahandengan berpedoman pada Keppres Nomor 55/1993 mengenai pembebasan lahan untukkepentingan umum. Padahal, kriteria dalam keppres tersebut tidak satu punmembenarkan pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik kertas dan pulpa.Selain itu, Pemda meminta biaya ganti rugi pembebasan lahan kepadaperusahaan sebesar Rp657,76 juta melalui surat Bupati Muaraenim tahun 1995."Posisi Hasan Zen sebagai perantara penjual tanah juga melanggar kepprestersebut," kata Amin lagi.


Mengenai penyimpangan hukum yang dilakukan Zen itu, pihak Kejati hingga kinibelum memberikan penjelasan. Uniknya lagi, pemeriksaan terhadap Zendilakukan malam hari, 27-28 Oktober. "Ah, itu tidak benar. Pemeriksaan malamhari hanya 27 Oktober. Pemeriksaan kedua 30 Oktober siang hari," sanggahLukharni.


Beberapa pihak mensinyalir bahwa kasus korupsi dan manipulasi ini jugamelibatkan mantan Gubernur Ramli Hasan Basri dan Prajogo Pangestu. Itu bisaterbongkar apabila Zen – yang juga diisukan melakukan pelecehan seksualterhadap seorang perawat – tersentuh hukum. Prajogo sendiri seusai diperiksaKejati, 29 Oktober 1998, tidak mau berkomentar kepada pers. Esoknya pihakkejaksaan menjelaskan bahwa Prajogo membantah keterlibatannya dalampenyelewengan dana pembebasan lahan itu.


Prajogo juga membantah dirinya mengenal Zen. Ia mengaku pernah menemui Basriuntuk kulonuwun, permisi. "Dia pun membantah pernah membawa Tutut saatmenemui Ramli Hasan Basri untuk mempelancar proyeknya," ujar Lukharni.


Benarkah itu? Menurut seorang pegawai Pemda Sumsel, Prajogo pernah bersamaTutut berkunjung ke Palembang ditemani Basri beberapa bulan sebelum adanyarencana pembangunan pabrik pulpa dan kertas itu. *
*) Palembang, Indonesia 15 Desember 1998, saat menulis ini saya bekerja di Lampung Post dan peserta Workshop Liputan Politik yang diselenggarakan LP3Y


0 Comments: