Rabu, 04 Juni 2008

Esai Dendam Parameswara







T. WIJAYA
Dendam Parameswara

SEJAK 5 abad lalu, Parameswara, seorang pangeran, terusir dari Palembang. Dia tersusir lantaran Palembang diserbu para perompak dari Kanton, Tiongkok, yang didukung Majapahit. Tentunya, saat itu hati Parameswara sangat dongkol. Mungkinkah kedongkolan itu terus menyala di dada keturunannya yang kini membangun Malaysia?

Awalnya, setelah berlari dari Palembang, Parameswara menetap di pulau Tumasik. Dia membangun sebuah perkampungan di sana . Tak lama kemudian dia menyeberang ke Malaka, yang sebelumnya telah dikuasai kerajaan Samudera Pasai dari tangan Sriwijaya pada abad ke-13.

Dan, di Malaka dia membangun kekuatan dan menjadikan dirinya seorang raja. Selanjutnya Malaka kembali berkembang menjadi pusat perdagangan terpenting di Asia Tenggara, seperti di masa kerajaan Fukian dan kerajaan Sriwijaya. Lantaran cemas diserang kekuatan Islam yang mulai berkembang pesat di nusantara, dia pun memeluk agama Islam kemudian menikahi perempuan ningrat dari Aceh.

Selain menjadi pusat perdagangan, Malaka berkembang menjadi pusat pertemuan para penyiar Islam di nusantara. Baik yang berasal Persia , Turki, Arab, Tiongkok, maupun Gujarat . Ini terbukti ketika Raden Fatah diminta Sunan Ampel untuk memperdalam ilmu pengetahuan Islam ke Malaka selain ke Palembang, sebelum membangun kerajaan Demak.

Melihat perkembangan Malaka yang pesat, baik sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam, plus ditambah konflik kekuasaan di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, yang terus berlangsung, Malaka menjadi tempat pelarian yang menjanjikan. Orang-orang Minangkabau, Palembang, Jawa, Bugis, Aceh, yang berlari ke Malaka kemudian membangun masyarakatnya sendiri. Mereka berkembang bersama budaya, tradisi, adat-istiadat, yang dibawa, yang kini melahirkan masyarakat Negeri Sembilan, Johor, Selangor, Kucing, atau Serawak.

Jadi, saat itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kebudayaan yang berkembang di Malaka dengan daerah lain di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi . Bahkan, apa yang berkembang di Palembang, misalnya, juga berkembang di Malaka.

Bahkan, pada abad ke-16, ketika Malaka diserang Portugis, bala tentara dari Palembang, Jambi, Jawa, dan Sulawesi, turut membantu perlawanan. Tapi, ketika para penjajah dari Eropa menguasai nusantara, kondisi Malaka dengan saudaranya, mulai berjarak. Ini lantaran Malaka dan sebagian Kalimantan dikuasai Inggris, sementara Sumatra, Jawa, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa, Bali, dikuasai Belanda. Ketika terjadi perlawanan kemerdekaan terhadap para penjajah, misi perjuangan merucut menjadi pembentukan dua negara, lantaran perbedaan bangsa yang menjajah tersebut. Maka, ketika terbentuk negara Republik Indonesia , Malaka tidak bergabung lantaran dijajah Inggris. Mereka kemudian membentuk negara sendiri yakni Malaysia . Sejak itu pula, Malaysia dan Indonesia membangun sendiri nasionalismenya, meskipun mereka lahir dari kebudayaan yang sama.

Ribut
DALAM beberapa bulan ini, terjadi keributan antara Malaysia dengan Indonesia . Pemicunya lantaran Malaysia mengklaim sejumlah karya seni yang diyakini berasal atau milik Indonesia, seperti lagu Rasa Sayange, Reok, Wayang, Songket, dan sebagainya. Gelombang protes bermunculan di sejumlah daerah di Indonesia .

Tuduhan Malaysia sebagai pencuri menjadi pemberitaan semua media massa , dan perbincangan sehari-hari. Tapi, benarkah Malaysia telah mencuri? Menurut saya Malaysia tidak mencuri. Mereka benar-benar mengakui karya seni yang berkembang di Malaysia . Persoalannya, mungkin, karya seni itu bukan lahir dan muncul di Malaysia , melainkan di sejumlah daerah di Indonesia .

Artinya, karya seni itu, dalam pengertian wilayah negara, lahir di Indonesia tapi turut berkembang di Malaysia . Dan , Malaysia menandai karya seni itu dalam wilayah perkembangan dan pengaruhnya, bukan wilayah kelahirannya. Selain itu, bukankah berdasarkan sejarah, seperti yang saya gambarkan di atas, produk budaya itu dibawa orang Indonesia ke Malaysia , dan kemudian dikembangkan menjadi kebudayaan setempat.

Saya curiga, protes sebagian rakyat Indonesia itu sebenarnya dipicu oleh peristiwa politik dan sosial sebelumnya. Sekian tahun sebelum saya lahir, tepatnya ketika Soekarno menjadi pemimpin Indonesia , awal tahun 1960-an, hubungan Indonesia-Malaysia memanas lantaran pemerintah Indonesia menuduh Malaysia sebagai antek Barat.

Saat itu Soekarno menyatakan, "Ganyang Malaysia !" Perkembangan selanjutnya, mulai tahun 1990-an, ketika sebagian besar rakyat Indonesia miskin, pilihan menjadi tenaga kerja di Malaysia merupakan jawaban atas kemiskinan tersebut.

Tetapi, ini menimbulkan persoalan, lantaran hingga hari ini, begitu banyak kasus kekerasan yang menimpa tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Di sisi lain, masyarakat Malaysia pun kesal, lantaran begitu banyaknya orang Indonesia di Malaysia yang menjadi pelaku kriminal, meskipun sebagian besar berasal dari Palembang yang diyakini sebagai tanah air puyang atau nenek moyang mereka. Lalu, perebutan sejumlah pulau di Laut Cina Selatan juga menjadi pemicu ketegangan antara Indonesia-Malaysia.

Pengaruh Luar
APAKAH betul produk kebudayaan yang berkembang di nusantara, baik di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, murni hasil dari pengolahan atau kreatifitas masyarakat setempat?

Saya meragukannya. Sebab menurut bacaan sejarah saya, mulai dari etnis, tradisi, agama, yang berkembang di nusantara, merupakan pendatang atau kiriman dari kebudayaan luar, seperti dari Persia , Arab , India , dan Tiongkok. Meskipun selanjutnya produk kebudayaan itu mengalami perubahan lantaran adanya pembauran dengan kebudayaan yang lebih dahulu berkembang di nusantara. Misalnya kesenian Wayang, yang sebelumnya sudah berkembang di India dan Tiongkok. Musik keroncong yang sebelumnya sudah berkembang di Portugis.

Mungkin, yang lebih gampang dilihat adalah produk makanan dan arsitektur. Makanan rendang, yang menjadi khas Minangkabau, sebetulnya dari tata cara memasak dan komposisi bumbunya, lebih mendekati masakan masyarakat Gujarat atau India. Pempek yang menjadi icon Palembang , juga dilihat dari cara memasak dan komposisi bumbunya lebih mendekati tradisi makanan di Tiongkok. Dari sisi arsitektur, begitu banyak bangunan, ukiran, ragam hias, yang ada di Indonesia memadukan berbagai kebudayaan luar, baik dari Persia, Arab, India, Tiongkok atau Eropa. Contohnya rumah Limas di Palembang, atau produk kain di Minangkabau, Lampung, dan Palembang.

Mungkin, contoh di atas, tidak memiliki dalil yang kuat. Tapi, jika dilihat dari perkembangan agama, hampir semua agama yang berkembang di nusantara hingga hari ini berasal dari luar, seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Lalu, bangsa Arab pemeluk pertama agama Islam, misalnya, tidak memersoalkan Islam dijadikan agama resmi Indonesia.

Di era modern, pengaruh produk budaya luar juga sangat dirasakan, seperti sepakbola, musik rock, musik pop, musik jazz, musik blues, gaya pakaian, lukisan, sastra, ilmu pengetahuan moden, ajaran terorisme, hingga makanan fast food. Dan, sekian abad nanti, kita mungkin akan mengklaim ayam goreng peniru ayam goreng dijual KFC yang dijajakan di jalanan, merupakan produk makanan khas Indonesia .

Pencuri
SEBAGAI wilayah persinggahan bisnis atau perdagangan, terutama di kawasan selat Malaka, tradisi mencuri di nusantara ini sudah berjalan sejak berabad-abad lalu. Dulu, sebagian bangsa di nusantara menjadi perompak di laut, kini menjadi pembajak produk dari luar negeri, seperti di Indonesia.

Bahkan, sebagian orang Indonesia menjadi perampok harta saudaranya sendiri. Maka, jika dimengerti sebagai pencurian, tindakan Malaysia itu merupakan cerminan bersama, sebagai bangsa nusantara. Apalagi , Malaysia itu sebenarnya miniatur Indonesia, seperti yang tergambar dalam perjalanan sejarahnya.

Namun, bila kita melihat dari sisi positifnya, tindakan Malaysia itu dapat dimengerti sebagai penyelamatan produk kebudayaan nusantara, sebelum dirampas bangsa lain, seperti kasus makanan tempe yang telah dipatenkan Jepang dan Amerika Serikat.

Pelajaran lainnya, Indonesia yang tidak memiliki Menteri Kebudayaan, ini sudah seharusnya menjaga produk kebudayaan dari sisi hukum, dan jangan terlalu sibuk memperdebatkan, menunggu, mencari seorang "raja" yang mampu menjamin sandang dan pangan secara gratis atau murah.

Di sisi lain, nasib yang dialami Indonesia ini, dalam istilah kunonya, mungkin kualat dengan puyang atau nenek moyang lantaran memakan daging saudaranya, atau mengkhianati sumpah di Bukit Siguntang—yang sangat ditakuti wong Malaysia —bahwa raja yang lalim akan ditinggalkan dan dilawan rakyatnya, atau sebaliknya rakyat yang tidak patuh dengan hukum dan norma yang ditegakkan raja akan dimusnahkan.

Terakhir, saya berharap tindakan bangsa Malaysia itu bukan mewujudkan dendam Parameswara yang sakit hati dengan Majapahit, yang terusir dari Palembang . Entahlah.[*] Dimuat harian Berita Pagi, Desember 2007

1 Comment:

VaILiXI said...

apakah mitos sejarah akan berulang kembali, setelah jawa berjawa selama 100thn maka melayu akan kembali berjaya dalam waktu lama..

klo ngikutin mitos maka, sumatera akan menyusul semenanjung malaya maju meninggalkan jawa,,,