Senin, 02 Juni 2008

Esai Soeharto








T. WIJAYA

Soeharto, Maafkan Kami


MANUSIA adalah manusia। Ia pasti mati. Ia selalu gagal menguasai apa yang diraihnya buat selamanya. Soeharto, mantan presiden Indonesia, adalah manusia. Nyawanya kembali kepada Tuhan, dan jasadnya membusuk menjadi tanah.


Realitas yang dihadapi Soeharto itu sama seperti yang dialami abah saya, yang jasadnya membusuk sekian tahun lalu। Yang tersisa adalah memori mengenai suaranya, pikirannya, atau bentuk jasadnya yang terekam dalam foto. Lalu, memori itu melahirkan kesan atau image yang menandai sosoknya. Orang baik atau orang jahat.


Kesan orang baik atau orang jahat ini merupakan hak manusia lain yang masih hidup. Kesan itu tentunya memiliki dasarnya, baik berdasarkan moral, politik, maupun ilmu pengetahuan. Kesan itu tidak akan luntur, meskipun sudah ada pernyataan maaf dari manusia lainnya.
Saya memaafkan Soeharto sebab Tuhan saja dapat memaafkan dosa manusia। Saya memaafkan Soeharto sebab saya berharap manusia juga memaafkan dosa atau perbuatan jahat yang saya lakukan sebelumnya। Namun, saya tidak dapat mencegah manusia lain menilai atau memberi kesan mengenai sosok saya. Misalnya, saya ini adalah seorang koruptor, kejam, suka berzina, pelit, suka mencuri gagasan orang lain, tukang fitnah, penjilat, pecandu, penipu, atau saya orangnya dermawan, jujur, pejuang, alim, pembela, cerdas, rendah hati, penyayang serta setia.


Saya percaya bukan hanya saya yang telah memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan Soeharto selama hidupnya। Dari sekian ratus juta manusia Indonesia, sekian puluh juta juga telah memaafkan Soeharto. Saya percaya reproduksi manusia bukan hanya berlangsung pada manusia yang sakit hati dengan Soeharto juga sebaliknya, yakni orang-orang yang hidupnya menjadi kaya, bahagia, terlindungi, terhormat setelah dibantu Soeharto, yakni mereka yang dulunya tidak pernah membayangkan memiliki sebuah rumah, mobil, tiba-tiba memiliki banyak rumah dan mobil karena dibantu Soeharto.


Tetapi, setelah semua orang memaafkan dosa-dosa Soeharto, dapatkah kesan buruk atau baik yang terkait dengan sosok Soeharto dapat dihapus? Tentu saja tidak। Sosok Soeharto tetap dipersalahkan dalam pembantaian dan pemenjaraan ribuan keluarga pendukung Soekarno, penghilangan ratusan aktivis prodemokrasi maupun oposisi yang dipenjara maupun dihilangkan nyawanya serta hilangnya jutaan hektare lahan milik petani serta kisah-kisah sedih lainnya yang dialami jutaan masyarakat Indonesia selama Soeharto berkuasa.


Jadi, sebetulnya saya dan jutaan manusia Indonesia lainnya berharap Soeharto mau memaafkan kami yang tidak mampu menghilangkan kesan atau image mengenai dirinya yang kejam terhadap musuh-musuh politiknya। Akan tetapi, percayalah, terutama terhadap keluarga besarnya, saya dan jutaan manusia Indonesia lainnya telah memaafkan dosa-dosa Soeharto. Itu juga seperti yang dialami tokoh-tokoh penting lainnya di dunia, seperti Pol Pot, Musolini, Hitler, Firaun, Soekarno, Kennedy, Lenin, maupun Fidel Castro. Intinya, kami juga manusia seperti Soeharto.


SEBETULNYA, kondisi Soeharto hari ini, merupakan peringatan terhadap para politisi di Indonesia yang tengah bertarung untuk menjadi kepala daerah। Terutama buat mereka yang bertarung menggunakan berbagai cara, yang akhirnya berujung konflik horizontal.


Artinya, pertarungan politik itu hanya mengedepankan kepentingan pribadi jika dibandingkan dengan kepentingan publik। Jika mereka mengedepankan kepentingan publik, seharusnya yang kalah harus mengalah sebab jika terus ngotot, tentunya akan melahirkan dampak negatif seperti konflik horizontal। Bila mereka yang kalah itu lantaran dicurangi, seharusnya yang perlu direnungkan apakah mereka telah bermain dengan jujur. Jika memang bermain dengan jujur, dan kalah lantaran dicurangi, saya pikir juga tetap harus mengalah demi kepentingan publik. Toh, pada akhirnya kita akan mengalami realitas seperti yang dialami Soeharto. Bahwa kekuasaan di muka bumi ini bukan apa-apa bila ajal mengintai manusia. Bukan tidak mungkin, menjelang ajal menjemput, kita justru bermohon kepada Tuhan agar diberi waktu untuk kembali ke ruang dan waktu saat kita ingin memperbaiki tindakan yang salah itu.


Saya percaya para politisi yang bertarung ingin menang di dunia dan di akhirat। Tapi, mereka juga lebih memilih kalah di dunia tapi menang di akhirat jika dibandingkan dengan menang di dunia dan kalah di akhirat. *
*) Dimuat detikcom 27 Januari 2008 dan Media Indonesia 29 Januari 2008

0 Comments: