Selasa, 03 Juni 2008

Esai Monolog Sungai Musi


T. WIJAYA

Monolog Sungai Musi

DULU, aku pernah berteriak “Sungai Musi bukan pacarku!”. Warna airnya yang coklat, serta beraroma sampah, limbah amoniak, limbah karet, membuatku sama sekali tidak tertarik menjadi kekasih sungai Musi. Selain itu, perkampungan tua di sepanjang sungai Musi kondisinya kumuh, dan di sana hampir setiap hari terjadi peristiwa kriminalitas.


Aku membencinya. Tetapi aku tidak dapat berlari. Aku harus menerima bahwa air pertama yang menyentuh tubuhku di dunia ini adalah air sungai Musi.

Kebencianku dengan sungai Musi, seperti menguburkan sejarah kebesaran Danputa Hyang, Bala Putra Dewa, atau Ariodilah. Aku membenci sungai Musi, seperti kebencian Parameswara terhadap Chang Lien, yang menjadi kepala perompak di Palembang , dan para pangeran dari Majapahit yang menguasai sungai Musi, pada abad ke-14.

Tetapi, aku tidak mau seperti Parameswara yang lari ke pulau Tumasek, dan membangun kerajaan di Melaka. Aku tetap bertahan di Palembang , bergerak dari suatu kampung ke kampung lainnya. Dari Suro pindah ke Kalidoni, Pakjo ke 10 Ulu, kembali ke Kalidoni, pindah ke Plaju, Kenten, Dwikora, balik ke Kenten, dan kembali lagi ke Kalidoni.

Kebencian tersebut kutuliskan dalam sebuah novel berjudul Juaro, yang mana aku ingin mengungkapkan kehidupan manusia di tepian sungai Musi, seperti ikan juaro. Ikan yang paling suka memakan kotoran manusia dan buntang.

Sehabis menulis novel itu dan dibaca orang lain, aku justru menjadi ketakutan. Aku cemas. Aku membenci diriku. Pertanyaan pentingnya, benarkah nenek moyangku adalah para juaro yang mengendon di tepian sungai Musi?

Mereka marah. Mereka menceritakan soal pangeran yang kaya dan alim telah melahirkan buyutku. Hanya, mereka tidak dapat membantah parang dan tombak silih berganti menyumbangkan darah ke sungai Musi, demi menjaga setumpuk warisan.

Mereka berkata, ”Ada sesuatu yang tidak selesai kita pelajari. Kita selalu meninggalkan sesuatu, tapi belum tuntas mendapatkan yang baru.”

Aku marah dalam novel Buntung. Dalam ceritanya, aku memaksa sungai Musi menjadi kekasihku, meskipun aku bukan seorang raja atau seorang imam. Aku menerima identitas sebagai manusia buntung. Manusia yang membaca terputus-putus. Dan, kucemaskan dalam diriku Palembang tenggelam lalu Indonesia bubar.


MENERIMA sungai Musi sebagai calon kekasih atau pacar, cukup melelahkan. Setiap hari harus berdebat dengan banyak orang. Harus monolog terhadap para pendatang. Harus berteriak dengan saudara, yang terus mengotori tubuhnya.Aku harus percaya, kampung-kampung kumuh yang tumbuh di sepanjang sungai Musi, dulunya adalah kampung yang makmur, asri, dan tempat tinggal para ulama, saudagar, atau intelektual muslim.


Aku harus percaya, sejak 13 abad lalu, sungai Musi telah dikunjungi berbagai suku bangsa dari utara, seperti dari Tiongkok, India, Persia, Arab, Afrika, dan Eropa. Mereka menjadi makmur di negeri yang kemudian disebut sebagai “Darussalam”.


Aku juga harus percaya, sungai Musi pernah beratus tahun menghidupi para rohaniwan Budha, yang kemudian menjadi imam bagi jutaan rakyat di Tiongkok , Tibet , Jepang, maupun bangsa di Asia Selatan.


“Sungai Musi tidak seperti yang kau lihat pada hari ini. Sungai Musi harus dibaca, dibaca, sehingga kau akan menyintainya,” kata mereka.


“Jika memang kita kaya, jika memang kita memiliki kebudayaan luhur, mengapa hari ini aku melihat perkampungan di sepanjang sungai Musi, seperti kota New York saat didatangi para penjahat dari Irlandia?”


“Kau tidak membaca di balik kemiskinan yang tumbuh tiap detik di sepanjang sungai Musi,” jawabnya.


Aku membaca pesan dari jawaban itu. Yakni sebagai seorang penyinta, aku harus menerima pacarku apa adanya. Menerima kekurangan dan kelebihannya. Aku harus menerima dan mengerti sungai Musi sebagai dirinya.


Sebagai penyinta, aku harus menyelamatkan sungai Musi dari limbah industri, dan membebaskan kemiskinan yang dialami masyarakat yang hidup di tepian dirinya.

O, itu terlalu naïf. Aku bukan Batman, bukan Superman, bukan Danputah Hyang, bukan Soros, bukan Soeharto, bukan Soekarno, yang mampu mengubah atau menyelamatkan banyak manusia. Aku manusia biasa, yang sangat tergantung pada kata buat mengungkapkan berbagai kecemasan. Kecemasan sebagai manusia yang tidak pernah bebas dari kemiskinan, kebodohan, dan keinginan menipu Tuhan.


Kini, maukah sungai Musi menjadi pengantinku?

Dia tidak menjawab. Dan, dia pun tidak peduli apakah aku menyintainya atau membencinya. Dia justru menyembunyikan nenek moyangku, meskipun ribuan wisatawan melalui lembaran dolar turut membantu mencarinya. Kehilangan itu seperti sajak ini: Kehilangan seluruh tubuhku atas tubuh kami. Lenyap seperti sunyi milik kekuasaan yang kalah.Kehilangan seluruh kata atas dongeng kami. Menggelepar di dalam kuali tanpa minyak goreng, hanya api dari potongan ban sepeda. Kehilangan selalu kehilangan. Diam, tiba-tiba tubuh menjadi bencana. Lapar tanpa mengenal jalan pulang, kecuali mati yang pasti mengapung di sungai ini. Selanjutnya senyap tubuhku atas tubuh kami. [*] Dimuat harian Sriwijaya Post, April 2008

0 Comments: