Selasa, 03 Juni 2008

Esai Rasis







T. WIJAYA
Rasis Tapi Menikah


BANYAK teman dari luar negeri menilai saya adalah orang yang ramah. Sebagian teman Indonesia mengatakan saya wong Palembang yang tidak gampang emosi. Tetapi, sejujurnya saya ini orang yang rasis. Sering memperolok atau mengejek etnis lain. Jika saya tidak suka atau kecewa dengan seseorang yang beretnis Jawa, maka saya akan mengatakan, "Dasar wong Jawa baru dapat bersepatu!"


Maksudnya, orang Jawa itu bila sudah dapat mengenakan sepatu, sifatnya berubah menjadi sombong. Lupa dengan masa lalunya yang sulit, susah, atau miskin. Lupa dengan pertolongan orang lain terhadap dirinya di masa lalu. Jika saya tidak suka atau kecewa dengan seseorang yang beretnis Batak, maka saya akan mengatakan, "Dasar Batak, apa pun dimakan."


Ini maksudnya orang Batak itu tidak pandang bulu dalam mendapatkan rezeki, meskipun milik temannya atau tetangganya. Apa pun diambil. Istilahnya, halal, haram, hantam. Lalu, seandainya saya kecewa dengan wong Palembang—Sumatra Selatan—saya akan mengatakan, "Wong Palembang memang besar kelakar!"


Artinya, orang Palembang itu hanya mampu berbicara dibandingkan bekerja, atau banyak bohongnya dibandingkan fakta atau kenyataannya. Orang Arab dan Tionghoa (Cina) juga menjadi olok-olok saya. Jika kecewa dengan orang Arab, saya akan mengatakan, "Dasar tipu Arab!", lalu kecewa dengan Tionghoa saya akan maki, "Dasar Cina kulup (tidak sunat)."


Begitulah sikap rasis saya selama 20 tahun lebih. Tetapi, menariknya, antara saya dengan orang Jawa, Batak, atau Palembang, sampai hari ini tetap berkawan, bekerjasama, baik di pasar, di toko, di kantor pemerintahan, di perpustakaan, di rumah ibadah, di sekolah, di rumah sakit, di perguruan tinggi, maupun di markas meliter. Kami tidak pernah berkelahi apalagi berperang. Bahkan, ketika ada orang asing, kami sama-sama tersenyum dan mengaku sebagai bangsa Indonesia. "Betul mister, kami orang Indonesia."


ADA cerita yang beberapa kali saya dengar. Ceritanya seperti ini: Suatu sore, ada orang Jawa jalan-jalan di tengah kota. Lalu, dia melihat ada orang Batak yang bertubuh kekar dan besar memukul-mukul tembok yang tebal dan berlumut, tapi tidak hancur. Orang Batak itu juga berulangkali memanjat tembok, dan selalu jatuh.


Orang Jawa itu menghentikannya langkahnya. Dia berpikir, bila ada orang Batak senekat itu pasti ada sesuatu yang luar biasa di balik tembok itu. Dia pun memanjat pohon yang agak jauh dari tembok. Dan benar, ternyata di balik tembok ada setumpuk emas batangan. Orang Jawa menjadi berminat untuk mendapatkan tumpukan emas tersebut. Tetapi, dia bingung harus melakukan apa, sebab selain tidak ada pohon di dekat tembok, juga pikirnya orang Batak yang kekar dan besar saja tidak mampu melewati tembok.


"Satu-satunya cara aku harus minta bantuan kekuatan spritual. Aku harus terbang melewati tembok ini," pikirnya.


Tak lama kemudian orang Jawa melakukan semedi, persis di muka tembok.


Selang beberapa menit, muncul orang Padang. Melihat ada orang Batak yang keletihan, dan ada orang Jawa yang tengah bersemedi, langkahnya terhenti. Ini pasti ada sesuatu yang luar biasa, pikirnya. Sama seperti orang Jawa, dia naik ke pohon untuk melihat sesuatu di balik tembok.


Tahu ada tumpukan batangan emas di balik tembok, si Padang tidak perlu berpikir panjang bagaimana melompati tembok tersebut. Dia pun buru-buru mendekati tubuh orang Jawa yang tengah bersemedi. Lalu, dia injak bahu dan kepala orang Jawa itu sebagai tumpuan buat melompati pagar!


Cerita bernuansa rasis ini, menunjukkan bagaimana hebatnya orang Padang dibandingkan orang Batak dan Jawa, atau sebaliknya menunjukkan bahwa orang Padang itu licik. Dan, cerita ini berkembang dari mulut ke mulut. Menjadi bahan guyonan di masyarakat selama bertahun-tahun. Dan, menariknya, meskipun guyonan bernuasa rasis ini berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa, Minang, Batak, tapi sekali lagi mereka tidak pernah berperang atau saling menyerang secara fisik.


BERANJAK fakta sederhana itu, saya menilai bahwa hubungan antaretnis di Indonesia lebih dewasa dibandingkan daerah-daerah lain di dunia ini, seperti di Afrika, India, Eropa Timur, Arab, yang sampai saat ini terus berperang lantaran adanya perbedaan tersebut.


Padahal sebelumnya, konflik fisik antaretnis sudah berlangsung cukup keras selama puluhan abad di nusantara. Dua etnis yang berkonflik panjang itu, seperti etnis Melayu dengan Jawa. Kedua etnis ini saling mengalahkan. Pada masa dipimpin Sriwijaya, Melayu menaklukan Mataram Hindu. Kemudian ketika Jawa dipimpin Majapahit, Melayu dikalahkan. Dilanjutkan muslim Melayu—baca Palembang—membangun Demak di tanah Jawa lalu menaklukan Mataram, sampai akhirnya kedua etnis ini memiliki musuh bersama yang bernama Belanda. Mereka sama-sama takluk dan terpecah. Dan, mereka pun membangun bersama sebuah negara yang disebut Republik Indonesia.


Jadi, sebenarnya bertahannya Republik Indonesia selama 62 tahun merupakan keberhasilan luar biasa. Meskipun sebagian rakyatnya miskin, tapi di Indonesia belum terjadi pemusnahan suatu etnis oleh etnis lain, meskipun adanya kecenderungan atau dominasi etnis tertentu dalam wilayah ekonomi, politik, meliter, dan pemerintahan di Indonesia.


Bila pun ada bentrokan fisik di sejumlah daerah, seperti di Aceh, Kalimantan, dan Papua, menurut saya, itu lebih disebabkan faktor ekonomi atau keadilan, bukan lantaran konflik etnis. Memang, ketika perut lapar dan rumah tidak ada, biasanya yang akan diserang adalah orang lain, bukan keluarga sendiri. Tetapi, bila tidak ada orang lain yang diserang, keluarga sendiri pun akan diserang bila kelaparan menyerang. Seperti kata Rendra, kelaparan itu burung gagak.


Maka, rasisme di Indonesia itu hadir sehari-hari, tapi dia tidak menimbulkan peperangan. Justru, pemerintah terus mencatat begitu banyak wong Jawa menikah dengan wong Palembang, orang Cina, orang Batak, atau orang Arab menikahi wong Jawa, wong Palembang, orang Batak, dan orang Cina. [*] Dimuat di Berita Pagi dan Detikcom, Desember 2007

0 Comments: