T. WIJAYA Setelah 500 Tahun SABTU sore awal November 2007 lalu, udara cukup cerah. Di bawah tenda, di halaman belakang kediaman gubernur Sumatra Selatan Syahrial Oesman, Griya Agung, Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, berkumpul ratusan warga Sumatra Selatan, mengenakan pakaian tradisional dari berbagai etnis di nusantara. Sekitar pukul 16.10, Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, beranjak dari tempat duduknya yang diapit Syahrial Oesman, dan sejumlah pengurus Dewan Pembinaan Adat Istiadat Sumatra Selatan, seperti Mahyuddin dan Djohan Hanafiah. Tak lama kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang mengenakan baju kurung warna kuning gading, sedikit menundukkan kepalanya. Sekitar tiga detik, Mahyudin, selaku ketua Dewan Pembinaan Adat Istiadat Sumatra Selatan, memasangkan tanjak warna emas di kepalanya. Lalu, Djohan Hanafiah memasangkan selendang warna kuning dengan lis merah, di pundak sang sultan. Pukul 16.15, Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi Datuk Pengayom Seri Wanua. SEJAK Sriwijaya dipimpin wangsa Syailendra, sekitar abad ke-8, dengan raja terkenalnya Balaputra Dewa, hubungan masyarakat melayu Palembang dengan masyarakat Mataram tidak begitu harmonis. Mereka selalu terlibat dalam berbagai konflik politik, yang berakhir dengan peperangan. Pada setiap peperangan, mereka saling mengalahkan. Sriwijaya pernah mengalahkan Mataram Hindu. Lalu, Mataram Hindu yang membangun Majapahit balik mengalahkan Sriwijaya. Harapan perdamaian sempat muncul, ketika lahir tokoh penyiar Islam, Raden Fatah, berdarah Mataram-Tionghoa-Melayu, kelahiran Palembang, yang membangun kerajaan Demak di tanah Jawa, sebuah kerajaan Islam yang sangat disegani pada masanya di nusantara. Sayang, setelah Raden Fatah wafat, konflik itu berulang. Sejarah konflik tersebut diketahui Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Tapi, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang sore itu mengenakan pakaian kesultanan warna biru, dihiasi warna merah dan kuning, menyerahkan sebuah keris Sangkelat Luk 13 kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X. Keris Sangkelat Luk 13 memadukan budaya Melayu dan Mataram. Warangkah dan kerisnya asli Palembang, dan hulu keris berbentuk naga Mataram Hindu. Keris itu kemudian dikenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X di pinggang kanan bagian depan, layaknya orang Melayu. Tidak seperti tradisi di Yogyakarta yang mengenakan keris di bagian belakang. "Sekarang kita bersatu guna membangun Indonesia," kata Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin kepada saya, seusai penganugerahan gelar tersebut. Sebelumnya Sri Sultan Hamengku Buwono X, berkata di hadapan warga Palembang yang hadir, "Guna membangun masa depan, mari kita lupakan yang buruknya, dan kita junjung yang baiknya, seperti mempertahankan negara ini dengan melestarikan adat-istiadat yang ada." SEJAK Indonesia merdeka, tahun 1945, gagasan pertemuan antara pemimpin adat Palembang dan Yogyakarta sulit dilakukan. Salah satu penghalangnya, pemerintah Indonesia tidak mengakui dan memfasilitasi adanya Kesultanan Palembang Darussalam, seperti halnya Kesultanan Yogyakarta. Salah satu alasan kenapa Kesultanan Palembang Darussalam tidak difasilitasi keberadaannya, lantaran kesultanan tersebut telah dibubarkan kolonial Belanda tahun 1825, setelah Sultan Mahmud Badaruddin II yang tengah dibuang di Ternate menolak tawaran Belanda untuk menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam. Setelah menunggu dua abad lebih, sebagian masyarakat Palembang menyadari perlunya membangkitkan kembali Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, yang banyak meninggalkan kekayaan budaya, maupun ilmu pengetahuan di Sumatra Selatan dan di nusantara, yang beranjak dari ajaran Islam. Para zuriat Kesultanan Palembang Darussalam kemudian berunding dan berdiskusi dalam sebuah organisasi bernama Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam. Selanjutnya mereka mengukuhkan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang pada November 2006 lalu. Pengukuhan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin bertujuan untuk menjaga dan melestarikan peninggalan budaya Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak dikukuhkan, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, melakukan sejumlah agenda kerja yang diamanatkan para zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, termasuk mendukung pengikatan kembali persaudaraan dengan zuriat dari Raden Fatah, yang tersebar di nusantara. "Kalau Kesultanan Palembang Darussalam belum dihidupkan lagi, mungkin peristiwa pemberian gelar Datuk Pengayom Seri Wanua kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X sulit dilangsungkan," kata Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. SIAPA Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin? Berdasarkan silsilah sultan-sultan Palembang, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin adalah keturunan dari dua sultan yang pernah berkuasa di Palembang. Pertama, dari Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Sultan ini memiliki anak laki-laki atau putra mahkota bernama Pangeran Ratu Purboyo. Pada malam sebelum penobatannya sebagai sultan Palembang, Pangeran Ratu Purboyo tewas diracun. Pangeran Ratu Purboyo memiliki anak bernama Pangeran Nato Dirajo atau Raden Lumbuk, yang meneruskan keturunannya hingga ke Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Kedua, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin juga memiliki garis keturunan dari Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Sebab Pangeran Nato Dirajo, anak Pangeran Ratu Purboyo, menikah dengan anak Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wirokramo. Pengukuhan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin sebagai sultan Palembang, juga direstui zuriat dari sultan yang terakhir memimpin Kesultanan Palembang Darussalam, yakni Raden Muhammad Yusuf Prabu Tenaya yang merupakan zuriat dari Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu bin Sultan Mahmud Badaruddin II, serta Raden Muhammad Syarifuddin Prabu Anom dari zuriat Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom. Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu dan Ahmad Najamuddin Prabu Anom adalah sultan terakhir yang berkuasa di Keraton Kesultanan Palembang Darussalam. PADA abad ke-13, Sriwijaya dikuasai Majapahit dan sejumlah perompak dari Kanton, Tiongkok, yang terdesak oleh kekuatan dinasti Ming. Awalnya, selama 200 tahun, Majapahit tidak dapat berbuat apa-apa dengan Palembang, meskipun diklaim sebagai wilayah kekuasaannya. Selama itu Palembang dikuasai para perompak dan pedagang dari Tiongkok yang menyebut Palembang sebagai Ku-kang yang berarti pelabuhan lama. Salah seorang pemimpin para perompak dan pedagang Tionghoa saat itu Liang Tau Ming. Kondisi yang tidak nyaman itu, membuat seorang pangeran Palembang yang bernama Parameswara, meninggalkan Palembang pada tahun 1397. Tak lama kemudian dia menjadi sultan di Melaka. Sekian tahun kemudian Majapahit berhasil menempatkan adipatinya di Palembang, yang saat itu sebagian warganya sudah beragama Islam, yang diperkirakan disyiarkan para pedagang dari berbagai bangsa, khususnya Tionghoa. Salah seorang adipati Majapahit yang menjadi pemimpin Palembang—Palembang Lamo—adalah Ario Damar, sekitar abad ke-15. Ario Damar kemudian mendirikan kerajaan Palembang. Adipati Ario Damar berkuasa antara tahun 1455-1486. Lantaran banyak rakyat beragama Islam, Adipati Ario Damar memeluk agama Islam. Namanya berubah menjadi Ario Abdilah atau Ario Dillah. Suatu hari, Ario Dillah mendapat hadiah perempuan dari Prabu Kertabumi Brawijaya V. Perempuan itu bernama Puteri Champa, muslim dan beretnis Tionghoa-Melayu. Puteri Champa sebenarnya berasal dari Palembang kemudian dijadikan selir oleh Prabu Kertabumi Brawijaya V. Tapi, lantaran muslim, keluarga besar kerajaan Majapahit memintanya untuk menceraikan atau mengusir Puteri Campa dari Majapahit. Saat dibawa kembali ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Jadi, setelah Puteri Champa melahirkan anaknya, baru Ario Damar menjadikannya istri. Anak yang dilahirkan Puteri Champa dari suaminya Prabu Kertabumi Brawijaya V adalah Raden Hasan, yang nantinya menjadi ulama dan pemimpin terkenal bernama Raden Fatah. Lalu, Puteri Champa dan Ario Damar memiliki anak bernama Raden Husin atau yang dikenal sebagai Raden Kusen. Raden Hasan dan Raden Husin dibesarkan Ario Damar dan Puteri Champa di istananya di Palembang Lamo yang dinamakan Candi Ing Laras, dengan pendidikan Islam. Setelah Ario Damar wafat, Palembang tidak memiliki pemimpin hingga tahun 1486. Lalu, keluarga Ario Damar, termasuk Raden Hasan dan Raden Husin hijrah ke Jawa. Mereka ditampung Raden Rahmad atau Sunan Ampel. Di sana mereka memperdalam ajaran Islam. Sunan Ampel sendiri masih sepupu dari Cheng Ho, laksamana dari Tiongkok yang mampu membersihkan Palembang dari perompak di awal abad ke-15. Selanjutnya di Jawa, Raden Hasan menjadi ulama terkenal. Dia kemudian menjadi mantu dari Sunan Ampel, dan disebut sebagai Raden Fatah. Pada tahun 1481, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dia didukung kekuatan dari berbagai daerah di Jawa, yang sebelumnya dikuasai Majapahit, seperti Tuban, Gresik, dan Jepara. Pada masanya, Kerajaan Demak menjadi pusat niaga di Jawa pada abad ke-15. Gelar Raden Fatah setelah memimpin Demak adalah Senapati Jimbun Ngabdu‘r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata‘Gama. Tahun 1518 Raden Fatah wafat, dan digantikan Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor, putranya. Tahun 1521, Pati-Unus wafat. Tahta kekuasaan diserahkan kepada Pangeran Trenggono, adik Pati-Unus. Dia meninggal tahun 1546. Nah, setelah itu, Kerajaan Demak goyang, sebab sejumlah saudara Pangeran Trenggono dan Pati-Unus ingin berkuasa, seperti Pangeran Seda ing Lepen. Keinginan tersebut ditentang Pangeran Prawata, anak Pangeran Trenggono. Terjadi perebutan kekuasaan hingga terjadi pertumpahan darah antarkeluarga. Pangeran Seda ing Lepen dibunuh Pangeran Prawata. Selanjutnya Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Lalu, menantu Raden Trenggono, bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Pertumpahan darah terus berlanjut. Tahun 1549, Arya Penangsang dibunuh Adiwijaya atau Jaka Tingkir, menantu Pangeran Trenggono, yang saat itu sebagai Adipati Kerajaan Pajang. Selanjutnya, Jaka Tingkir memindahkan Keraton Demak ke Pajang. Berakhirlah Kerajaan Demak. Sewaktu Kerajaan Pajang menyerang Demak, sekitar 24 keluarga Raden Fatah lari ke Surabaya dipimpin Ki Gede Sedo ing Lautan, lalu hijrah ke Palembang. Tahun 1547, Ki Gede Sedo Ing Lautan menjadi raja ke-2 Kerajaan Palembang yang telah lama vakum. Keratonnya disebut Kuto Gawang. Dia berkuasa hingga tahun 1552. Lalu diganti Ki Gede Sedo Ing Lautan sebagai raja ke-3. Meski sudah hijrah, keluarga Kerajaan Palembang, masih memiliki ikatan ideologis dengan Mataram. Setelah Jaka Tingkir wafat, Kerajaan Pajang dipimpin Arya Pangiri. Pada masa kepemimpinannya, Kerajaan Pajang diserang kekuatan massal yang terdiri dari Pangeran Benowo, putra Jaka Tingkir, dan kekuatan Mataram yang dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram. Arya Pangiri dikalahkan Senapati Mataram. Selanjutnya Keraton Pajang dipindahkan ke Mataram pada tahun 1587. Tahun ini dikenal sebagai awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Pangeran Mataram merupakan keturunan dari Raden Fatah dan Raden Trenggono. Adanya pertalian darah ini yang membuat Kerajaan Palembang dan Kerajaan Mataram tejalin erat. Hubungan baik itu berlanjut hingga Palembang dipimpin Amangkurat I (raja ke-4). Hubungan baik ini berlangsung hingga tahun 1677. Tahun 1610, Kerajaan Palembang melakukan kontak dengan VOC. Awalnya, VOC tidak mau berhubungan dengan Kerajaan Palembang. Tapi, pada masa Palembang dipimpin Pangeran Sideng Kenayan, dibuka Kantor Perwakilan Dagang VOC (Factorij), melalui perantara Gubernur Jendral di Batavia, Jacob Specx (1629-1632). Tetapi, pada tahun 1659, Keraton Kuto Gawang beserta benteng-bentengnya hancur diserbu VOC. Diperkirakan, penyerangan dan kemenangan VOC diraih karena adanya konflik kekuasaan di Kerajaan Palembang. Selanjutnya di Palembang berdiri Kesultanan Palembang Darussalam, yang coraknya berbeda dengan Kerajaan Palembang. Misalnya memutuskan hubungan dengan Mataram. Pendirinya adalah Sultan Jamaluddin atau dikenal dengan sebutan Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang. [*] |
Rabu, 04 Juni 2008
Narasi 500 Tahun
Diposting oleh T. Wijaya di 05.52
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment