Senin, 16 Juni 2008

Lomba Bidar, Tradisi Sungai Musi



T. Wijaya
Lomba Bidar, Tradisi Sungai Musi
SETIAP tahun masyarakat Palembang disuguhi lomba mendayung perahu pancalang di sungai Musi, yang disebut lomba perahu Bidar. Sayangnya, tidak ada catatan resmi mengenai sejak kapan lomba perahu Bidar dilangsungkan, serta apa artinya “Bidar”.
Yang jelas, berdasarkan penuturan sejumlah orangtua yang hidup sebelum kelahiran Republik Indonesia, lomba perahu Bidar sudah ada pada saat kolonial Belanda menguasai Palembang. Saat itu, lomba perahu Bidar digelar setiap kali kolonial Belanda memperingati hari ulang ratunya, atau adanya pesta yang digelar para pejabat pemerintahan Belanda.
Setelah Republik Indonesia berdiri, seperti halnya lomba panjat pinang, lomba perahu Bidar digelar setiap kali memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Namun, sejak digelarnya Festival Sriwijaya yang kini memasuki tahun ke-17, lomba perahu Bidar juga digelar. Pada Festival Sriwijaya tahun ini, lomba perahu Bidar dilangsungkan pada hari ini, 17 Juni 2008, di sungai Musi. Pada saat yang sama digelar lomba Perahu Hias.
Sejumlah sejarawan berasumsi lomba perahu Bidar sudah berlangsung sejak masa kerajaan Sriwijaya atau masa Kesultanan Palembang Darussalam. Sebab ada legenda dari Muaraenim, yakni legenda Putri Dayang Merindu, disebutkan ada sejumlah pangeran yang memperebutkan Putri Dayang Merindu, melakukan lomba mendayung perahu, setelah lomba bela diri tidak ada yang kalah.
Di sisi lain, cukuplah logis bila masyarakat yang akrab dengan perahu, seperti di Palembang, muncul keinginan untuk melakukan suatu lomba mendayung perahu.

Perahu Pancalang
Yang diketahui dari lomba perahu Bidar, hanya perahu yang digunakan. Yakni perahu Pancalang. Dalam bahasa Melayu, Pancalang artinya “lepas menghilang”. Jelasnya Panca berarti “lepas”, dan Lang berarti “hilang”. Pancalang ini panjangnya berkisar 10-20 meter, dan lebar 1,5-3 meter, bermuatan sampai 50 orang, dikayuh oleh 8–30 orang.
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, pada saat perang maupun damai, perahu Pancalang digunakan raja dan sultan untuk pesiar atau angkutan kurir menyampaikan perintah raja ke daerah-daerah kekuasaannya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia terbitan W. Van Hoeve Bandung Graven Hage dituliskan: Perahu Pancalang ini adalah perahu tidak beruas, terdapat di sekitar Sumatra Selatan untuk mengangkut penumpang dan menjajakan dagangannya di sungai, beratap kajang kemudinya berbentuk dayung dan didayung dengan galah bambu. Perahu Pancalang inilah di kenal sebagai asal muasal “Perahu Bidar” sekarang ini. [*] Foto: Zanial Mazalisa, www.kotapalembang.blogspot.com

0 Comments: