Selasa, 03 Juni 2008

Narasi Bandit Palembang

T.WIJAYA

Bandit Palembang
“Ampun, Kak, aku minta nyawo”


API kian membesar. Satu per satu los dan toko di Pasar 16 Ilir Palembang terbakar. Mat Item, seorang preman, buru-buru ke lokasi kebakaran. Bukan mau menolong petugas pemadam kebakaran. Dia menemui temannya, Mat Pilis, yang terduduk di bawah tangga belakang pasar.


Di bawah kegelapan malam dan kilatan lidah api, kedua mata Mat Pilis terus mengeluarkan air. Jari-jari kedua tangan dan kakinya yang membusuk terus mengeluarkan nanah. Amis. Kedua kakinya lumpuh. Dia tak mampu meninggalkan pasar yang sebentar lagi menjadi arang itu.

“Pilis, kau nak (mau) kupindahkan. Sebentar lagi api ke sini,” kata Mat Item sambil menyodok tubuh Mat Pilis dengan sebuah balok kayu.

“Oi, kau Item. Biarlah aku mati bae. Sanak dak kate, dulur dak kate. Kate guno aku idup. Kalu kau nak nolong aku, untalkan aku ke dalam api itu (Keluarga tidak ada, saudara tidak ada. Tidak ada guna aku hidup. Kalau mau menolongku, lemparkan aku ke dalam api).”

Mat Item tersentak. Tapi dia kemudian berpikir sebaliknya.

“Kau ikhlas apo? Aku dak galak nanggung dusonya (Kau ikhlas apa? Aku tidak mau menanggung dosanya).”

“Aku ikhlas. Daripada aku idup menderita, lebih baek aku mati. Aku terimo. Kate lagi nak nolong aku. Kau tulah…(Aku ikhlas. Daripada hidup menderita, lebih baik aku mati. Aku terima. Tidak ada yang mau menolong aku. Hanya kau).”

“Aku nak cari wong dulu (Aku mau mencari orang dulu).”

Tak lama kemudian Mat Item datang bersama seorang petugas pemadam kebakaran.

“Ngapo, Pak (ada apa, Pak)?”

“Wong ini minta diuntalke ke api (Orang ini minta dilemparkan ke dalam api).”

“Ngapo nak cak itu. Gilo apo. Manusia apo bukan…(Kenapa seperti itu. Gila apa. Manusia atau bukan).”

“Manusia nian. Senterlah kalu dak percayo (Senterlah jika tak percaya).”

Petugas itu menyenter wajah, tangan, dan kaki Mat Pilis. “Masya Allah… payolah (ayo).”

Mat Item dan petugas itu mendobrak pintu besi sebuah toko yang terbakar di seberang tempat Mat Pilis terduduk.

“Mat, ikuti aku. Bismillah, Allah Akbar, Allah Akbar…,” kata Mat Item sambil mengangkat tubuh Mat Pilis yang terasa ringan itu. Bluk. Cepat sekali api melalapnya

Tos! Api menjunjung sekian detik. Kepala Mat Pilis pecah karena terbakar.
Beberapa hari kemudian Mat Item bermimpi didatangi Mat Pilis yang tertawa padanya. Dua bulan setelah peristiwa itu Mat Item berangkat ke Kalimantan, hingga kini tak kembali lagi.

SUATU subuh akhir Desember 1972, di pelabuhan Pasar 16 Ilir Palembang, seorang remaja berkulit hitam, kekar, berambut keriting, dan tinggi sekitar 175 cm mendekati perahu tambangan yang baru menepi.

Remaja itu biasa dipanggil Mat Pilis. Di pinggangnya terselip sebilah parang. Dua temannya yang juga menyelipkan parang di pinggang mengikutinya dari belakang. Ketiganya melompat ke dalam perahu yang membawa sayur-sayuran.

Terdengar teriakan seorang perempuan dan seorang lelaki yang meminta ampun dari arah perahu. Hanya sebentar. Sekian detik kemudian, ketiga remaja itu membopong tubuh perempuan yang kaki, tangan, dan mulutnya terikat kain. Mereka membawanya ke sebuah pondok yang disebut sebagai pos penjaga, sekitar 100 meter dari perahu.

Suami si perempuan hanya menangis dalam perahu. Orang-orang yang melihat kejadian itu tak mampu berbuat apa-apa. Mat Pilis memerkosa perempuan itu disaksikan kedua temannya.
Memerkosa istri orang merupakan kesenangan Mat Pilis. Tak terhitung istri nelayan atau petani dari dusun di pedalaman Sumatra Selatan, yang biasa berjualan di Pasar 16 Ilir Palembang, menjadi korban. Anehnya, dari 1972-1982, dia tidak pernah ditangkap polisi. Bahkan para pedagang maupun pengelola pasar tetap memercayainya sebagai penjaga malam untuk wilayah dermaga ikan.

Mat Pilis cukup ditakuti para pedagang maupun preman di pasar. Dia tak segan-segan membacok orang yang melawannya. Bayangkan, saat anak-anak, dia pernah memutuskan tangan seorang anak seusianya hanya gara-gara berebut seekor ikan di pasar.

Mat Pilis, yang nama aslinya Achmad, berasal dari sebuah dusun di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Dia menggelandang di Pasar 16 Ilir sejak kecil. Saat itu pekerjaannya mencopet atau mencuri ikan para pedagang. Sehari-hari dia tidur di emperan toko dan tak pernah menyewa rumah. Sejak remaja ia diangkat sebagai penjaga malam kawasan dermaga ikan Pasar 16 Ilir setelah menaklukkan penjaga sebelumnya.

Setelah sembuh dari penyakit lumpuh, pada 1983 Mat Pilis pergi ke Bangka. Empat tahun kemudian dia kembali ke Palembang. Saat kembali, tubuhnya kurus, matanya “belekan” alias selalu mengeluarkan air dan kotoran.

Perlahan tubuh Mat Pilis melemah hingga kedua kakinya lumpuh lagi. Bahkan jari tangan dan kakinya membusuk dan mengeluarkan nanah. Tak ada orang berani menyentuhnya. Mereka yang hendak memberi makan pun terpaksa melemparkan makanan. Bau badannya amis, pesing, dan apek.

Sejak lumpuh, Mat Pilis kencing, berak, dan tidur di bawah tangga belakang Pasar 16 Ilir. Jika ada orang mau membersihkan “tempatnya,” ia menarik Mat Pilis dengan sebuah kayu. Tentu saja pelan-pelan. Sambil menutup hidung si pembersih menyiramkan air bercampur minyak tanah. Minyak tanah diyakini dapat membunuh kuman dan menghilangkan bau amis.

Hanya sedikit orang pula berani lewat di depannya. Tentu saja karena jijik. Sementara Mat Pilis masih meletakkan sebuah pisau di sisinya. “Kalu ado wong yang nginoku, pasti kutujah (kalau ada orang menghinaku, pasti kutusuk).”

SEORANG ibu berkebaya lusuh mendatangi toko kain milik seorang pedagang keturunan Arab. Lebaran Idul Fitri tahun 1982 hendak tiba.

“Pak, aku minta duit untuk beli ayam buat lebaran. Kami dak katek duit (tidak ada uang),” kata ibu itu.

“Ah, kami bukan panti sosial, tempat wong minta duit. Sana pergi!” usir si pemilik toko.
“Tolonglah, Pak.”

“Pergi!”

Wak Jari yang sedang duduk bersama temannya tak jauh dari toko itu menggerutu. “Binatang galo wong toko nih (binatang semua pemilik toko nih).”

Wak Jari adalah penjaga toko yang dipercaya puluhan pemilik toko kain di Pasar 16 Ilir. Tugasnya membuka dan menutup toko.

Wak Jari memanggil si ibu. Dia memintanya datang tiga hari lagi. “Aku kagek (nanti) kasih duit dan ayam, percayalah,” katanya.

Sore hari Wak Jari mulai beraksi. Ketika toko kain itu hendak ditutup, Wak Jari lebih dulu memasukkan sabun cuci “Cap Gajah” ke lubang kunci. Lalu secepat kilat ditariknya sabun yang sudah mencetak bentuk kunci itu. Malam dia mendatangi pembuat kunci.

Besok malamnya, dengan kunci palsu itu dia mencuri selembar kain yang berharga cukup mahal di toko kain itu. Kain itu dijualnya ke toko kain milik pedagang keturunan Tionghoa. “Wong Arab dan wong Cino kan dak akor (Orang Arab dan orang Cina kan tidak akrab). Jadi tidak mungkin ketahuan,” katanya.

Uang hasil penjualan kain itu diberikannya kepada si ibu, yang datang sehari sebelum Idul Fitri. Pertolongan Wak Jari ini menjadi buah bibir di kampung 15 Ulu, tempat si ibu tinggal. Singkat cerita, orang-orang berkesusahan mendatangi Wak Jari, juga dari kampung- kampung lain. Mereka butuh uang untuk membeli beras, berobat, sewa rumah, hingga biaya sekolah. Seorang anak penjual kantong asoi (kantong plastik) dibiayai sekolah hingga tamat sekolah menengah pertama. Anak itu kini merantau ke Jawa.


Tapi kepahlawanan Wak Jari hanya berlangsung hingga tahun 1989.

Suatu malam dia ditangkap polisi ketika berjaga di Pasar 16 Ilir. Penangkapan ini berlandaskan pengaduan para pemilik toko yang sering kehilangan kain.

Wak Jari mengakui semua perbuatannya. Dan, saat ditahan di kantor Polsek Seberang Ulu II Palembang, puluhan warga di kampungnya, 13 Ulu, atau orang yang pernah ditolongnya mendatangi kantor polisi. Mereka meminta Wak Jari dibebaskan. Bagi mereka, Wak Jari adalah pahlawan. Tapi Wak Jari minta agar dirinya tetap dihukum.

Wak Jari pun dihukum 1,5 tahun. Setelah bebas dia pulang ke dusunnya di daerah Ogan Komering Ilir, sekitar 60 kilometer dari kota Palembang.

MAT Pilis, Mat Item, dan Wak Jari adalah teman Ridwan. Saat bercerita, malam itu, kedua mata Ridwan berkaca-kaca.

Ridwan bukan anak orang miskin. Ayahnya, yang ia panggil “Abah,” seorang polisi. Ketika dia lahir pada 1948, keluarganya tinggal di asrama polisi di kawasan Sekanak, Palembang. Abahnya orang Palembang keturunan India dan ibunya Palembang asli alias memiliki gelar kebangsawaan Kesultanan Palembang. Keluarganya pun memiliki sebuah toko kain di Pasar 16 Ilir.

Di pasar itu pula, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumahnya, Ridwan bermain. Dia masih sekolah menengah pertama, tapi suka mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Uang untuk membeli minuman keras seperti bir dan anggur mereka dapatkan dari “setoran pajak” para pedagang atau pemilik toko. Bahkan saat sekolah menengah atas, mereka sudah mendapat jatah “keamanan” dari sejumlah toko. Sehari bisa mencapai Rp 300-500 per pemilik toko. Jumlah itu cukup besar, dan cukup untuk membeli banyak bir yang harga per botolnya berkisar Rp 600. “Sehari kami mengumpulkan uang sedikitnya Rp 10 ribu,” katanya.

Modal mereka hanya keberanian; berani berkelahi dan kehilangan nyawa melawan preman lain yang ingin merebut “lahan” mereka.

Ridwan pernah berpikir untuk mengubah jalan hidupnya. Dia ikut syuting sebuah film di Medan, Sumatra Utara, pada 1970. Tubuhnya tinggi dan kekar, wajahnya tampan, modal yang cukup untuk jadi bintang film. Tapi orang tuanya melarang. “Bintang film saat itu dinilai hina. Hidupnya tak jelas. Orang tua saya marah. Saya disuruh pulang.”

Bukannya pulang, Ridwan merantau ke Pekanbaru, Riau. Dia menjadi penyelundup barang-barang dari luar negeri. Pernah tertangkap dan terkena timah panas di kakinya, tapi beruntung dia bisa melarikan diri dan kembali ke Palembang. Dia kembali ke Pasar 16 Ilir, berkumpul lagi dengan teman-temannya.

Tapi kekuatan kelompok Ridwan sudah melemah. Preman-preman baru lebih ditakuti karena dikenal punya ilmu kebatinan seperti ilmu kebal, ilmu dapat menghilang, dan ilmu membuat orang kasihan. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa, seperti Banten dan Tanggerang, atau di Sumatra Selatan seperti Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu.

Ridwan sadar diri. Pencak silat yang dikuasainya tak mungkin mampu menandingi mereka. Dua tahun kemudian dia dan teman-temannya memutuskan berguru kepada seorang ulama di sebuah kota di Jawa Tengah. Dia mengambil ilmu kebal atau tahan dari senjata tajam dan senjata api. “Ini ilmu putih, bukan ilmu hitam. Sebab dapat dibawa sembahyang.”

Sepulang dari sana, Ridwan kembali ke Pasar 16 Ilir Palembang. Hingga hari ini.
“Saya tidak lagi memajaki pedagang. Saya kini menjadi pengawas mobil sayuran yang bongkar muat di pasar. Saya juga menyewakan lapak ke padagang,” katanya.

Setiap hari dia menarik upah sekitar Rp 45 ribu dari pemilik truk. Dari sewa lapak dia mendapatkan sekitar Rp 15 ribu. Dengan penghasilan sebesar itu, Ridwan mampu menghidupi keluarganya dan menyekolahkan empat anaknya; tiga kuliah, dan satu di sekolah menengah atas.

SEPERTI biasanya, hari itu Ridwan tiba ke Pasar 16 Ilir sekitar pukul 14.00. Dia berkeliling pasar, memantau dan menyapa setiap penjual sayuran dan ikan yang berjualan di sepanjang jalan yang becek dan berbau amis. Dia layaknya seorang mandor perkebunan teh yang tengah mengawasi anak buahnya.

Tiba-tiba tiga lelaki memepet seorang penjual cabe, perempuan berusia 50-an, yang hendak pulang. Jaraknya sekitar dua meter di depan Ridwan. Dua lelaki berada di depan, sementara satunya mendorong perempuan itu dari belakang dengan sebuah belati menempel di pinggang.

“Oi! Ngapoi (ada apa) kalian itu,” teriak Ridwan.

“Oi! Berenti (berhenti)!” kembali Ridwan berteriak.

Sejurus kemudian lelaki yang memegang belati menyerang Ridwan. Breet! Beberapa orang yang melihat kejadian itu berteriak, “Ya, Allah!”

Dua penodong lainnya menerjang. Ridwan mengelak ke samping kanan, dan sedetik kemudian mengambil sebuah dacing (timbangan yang terbuat dari tembaga) milik seorang penjual sayuran. Ridwan mengejar lelaki yang menusuknya. Dengan sekuat tenaga dia pukulkan dacing ke arah belakang kepala lelaki yang bernama Boy itu. Buk! Tepat mengenai leher. Boy terkapar.

Beberapa pedagang menyerang dua teman Boy. Berbagai benda tumpul dan tajam menghantam mereka. Para pedagang menghentikan aksi mereka setelah beberapa satpam dan polisi meringkus ketiga penodong itu.

Ridwan sendiri ternyata tak terluka. Tusukan itu hanya merobek kemejanya yang berwarna coklat beberapa centimeter. “Allah masih melindungi saya.”

Boy, warga kampung 13-14 Ilir, yang sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit akhirnya meninggal dunia.

Ridwan dan teman-temannya sempat was-was. Beberapa minggu mereka bersiaga dari kemungkinan balas dendam preman 13-14 Ilir. Tak ada. Ridwan juga lolos dari pemeriksaan polisi. Tak ada saksi yang menyatakan Ridwan memukulkan dacing ke leher Boy.

Rasa was-was Ridwan dan teman-temannya justru terbukti setengah tahun kemudian. Minggu malam itu, ketika Ridwan dan dua anak buahnya tengah minum kopi, datang puluhan lelaki yang membawa berbagai senjata tajam, seperti pedang, parang dan tombak. Mereka preman dari kampung 13-14 Ilir.

Tanpa cang-cing-cong mereka menyerang Ridwan, menusuki tubuh Ridwan yang hanya mengandalkan sebuah pedang. Tapi Ridwan tak sedikit pun terluka, hanya bajunya robek-robek. Melihat itu para penyerang mengambil langkah seribu.

Ridwan mengejar dan menangkap salah seorang dari mereka. Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian tak seimbang itu berpikir Ridwan akan membunuhnya, apalagi rantai besi yang sebelumnya melingkar di pinggangnya telah melilit leher musuhnya.

“Ampun, Kak, aku minta nyawo (nyawa),” pinta lelaki itu.

Pengujung tahun 1986.

PASAR 16 Ilir Palembang merupakan pasar tradisional tertua di Palembang, dan kini berkembang menjadi pasar induk. Menurut buku Palembang, Doeloe, Sekarang dan Akan Datang, pada 1906-1935 pemerintah Belanda membangun sejumlah fasilitas umum, di antaranya pelabuhan 16 Ilir.


Pelabuhan ini digunakan sebagai sarana penyeberangan dari Palembang Ilir ke Palembang Ulu dan juga sebagai penambat kapal atau perahu pengangkut ikan dan sayuran. Dalam perkembangannya wilayah pelabuhan ini berubah menjadi pasar. Setelah menjadi pasar, mereka yang ingin ke Aceh, Medan, Padang, atau sebaliknya harus melalui pelabuhan ini.

Jembatan Ampera mulai dibangun pemerintahan Soekarno pada 1962. Dananya hasil pampasan perang dari pemerintah Jepang. Saat diresmikan pada 1965 Jembatan Ampera diklaim sebagai jembatan terbesar di Asia Tenggara. Panjangnya 1.177 meter dan lebar 22 meter. Menariknya, bagian tengah jembatan ini terangkat setinggi 35,40 meter jika ada kapal yang hendak melintas. Pada 1970 aktivitas naik-turun jembatan dihentikan karena waktu yang dibutuhkan bukan lagi 10 menit seperti sebelumnya tapi 30 menit, sehingga mengganggu arus lalu lintas.

Untuk melemahkan kekuatan Kesultanan Palembang yang ditaklukan Belanda pada 1821, kekuatan masyarakat Palembang yang terpusat dalam beberapa guguk atau perkampungan -dalam bahasa Jawa Kawi guguk berarti diturut atau diindahkan-dihancurkan dan diganti dengan perkampungan yang ditandai dengan nomor. Palembang yang dibelah Sungai Musi juga dibagi dua wilayah: Palembang Ilir dan Palembang Ulu.

Awalnya di Palembang Ilir ada 36 kampung dan Palembang Ulu ada 16 kampung. Tapi pada 1939 di Palembang Ilir tinggal 29 kampung dan di Palembang Ulu 14 kampung. Dan, 16 Ilir merupakan salah satu kampung di Palembang Ilir. Karena perkembangan Pasar 16 Ilir, saat ini tidak ditemukan satu rumah warga biasa yang berada di 16 Ilir. Semua warga 16 Ilir adalah pemilik pertokoan dan swalayan.

Di Pasar 16 Ilir, yang semula merupakan pasar ikan dan sayuran, berdiri sejumlah kios dan toko yang menjual kebutuhan masyarakat seperti kain, peralatan masak, dan rempah-rempah. Berdasarkan data di pemerintah kota Palembang, saat ini jumlah pertokoan di Pasar 16 Ilir mencapai 511 buah, sedangkan pedagang sayuran, ikan, dan daging berdasarkan data Aliansi Pedagang Pagi Pasar 16 Ilir mencapai 700 orang.

Pasar ini sangat terbuka bagi para pedagang. Berbagai etnik mengadu nasibnya, seperti wong Palembang asli -ini keturunan Kesultanan Palembang Darussalam-, kemudian India, Arab, Tionghoa, dan pendatang dari Sumatra Barat dan sejumlah daerah di Sumatra Selatan.

Kuli angkut barang umumnya berasal dari Banten atau Serang. Mereka tinggal di kolong-kolong rumah panggung milik wong Palembang, seperti di kampung Suro, 13 Ulu, 15 Ulu, dan 7 Ulu.
Tapi 10 tahun terakhir, kuli-kuli ini tidak hanya didominasi orang Banten dan Serang. Beberapa pendatang dari berbagai daerah di Sumatra Selatan memilih bekerja sebagai kuli di Pasar 16 Ilir. Penghasilan kuli rata-rata Rp 30 ribu per hari.

Melalui jaringan kuli ini, pada pertengahan 1960-an beberapa preman dari Banten yang disebut “pendekar” juga mengadu nasib di Pasar 16 Ilir. Mereka disebut pendekar karena berambut panjang, menyelipkan parang di pinggang, dan selalu mengenakan pakaian hitam. Persis pendekar di dalam buku cerita bergambar. Mereka umumnya menjadi pengawas perahu-perahu yang mengangkut sayuran atau pengawas para kuli.

“Dulu, di Pasar 16 Ilir paling gampang mencari duit. Kalau orang sudah takut sama kita, duit datang sendiri,” kata Sariman, 81 tahun, seorang pendekar dari Banten. “Tapi sejak ada banyak satpam dan polisi di sana, jagoan tidak diperlukan lagi.”

Sariman salah seorang pendekar dari Banten yang masih tersisa di Palembang. Dia mengaku berhenti menjadi pendekar saat zaman petrus (penembak misterius). Kini, lelaki yang mengaku sudah 40 kali menikah ini hidup di perkampungan 7 Ulu. Sehari-hari dia menggarap sebuah kebun di Keramasan, Kertapati Palembang.

Pada awal 1980-an para penembak misterius paling ditakuti preman-preman. Petrus diberlakukan guna membasmi preman di Indonesia yang dinilai menjadi biang persoalan keamanan masyarakat. Saat itu banyak preman mati, tapi sebagian masyarakat juga kehilangan keluarga mereka yang diyakini bukan preman.

Menghindari buruan para petrus, meskipun mengaku punya ilmu kebal, Sariman terpaksa pulang kampung ke Banten dan menjadi buruh lepas. Pada 1990 dia kembali ke Palembang. “Banyak nian temanku yang jadi korban petrus. Misalnya Joko Kapak, Udin Ulo, …banyaklah,” katanya.

Setelah puluhan tahun menjadi penjaga pasar, para preman membagi Pasar 16 Ilir menjadi beberapa wilayah “pajakan.” Ada wilayah pelabuhan, wilayah pedagang ikan dan daging, pertokoan, dan pedagang sayuran. Setiap wilayah ini dibagi dua, keamanan malam dan keamanan siang. Plus, wilayah parkir. Tapi sejak 1990 wilayah pelabuhan menjadi sepi karena penampungan ikan laut dipindahkan ke pelabuhan 10 Ulu. Pelabuhan 16 Ilir hanya menampung ikan sungai yang tak begitu diminati pembeli.

Setiap bulan pemilik toko di Pasar 16 Ilir mengeluarkan upeti untuk empat kelompok preman. Masing-masing sebesar Rp 50 ribu. Belum lagi permintaan sumbangan dari sejumlah organisasi massa serta kecamatan dan kelurahan bila menghadapi perayaan hari besar seperti 17 Agustus dan Lebaran. Pengeluaran resmi untuk pemerintah sendiri dikeluarkan para pemilik toko untuk retribusi kebersihan dan satpam pasar, masing-masing sebesar Rp 30 ribu per bulan.

Sementara para pedagang sayur, daging, dan ikan setiap hari harus mengeluarkan biaya untuk keamanan, kebersihan, dan sewa lampu -jika yang berdagang sejak dini hari. Sehari biayanya sekitar Rp 10 ribu. Ini pun diluar pengeluaran mendadak lainnya seperti permintaan sumbangan dari berbagai pihak.

Soal copet dan jambret, Pasar 16 Ilir adalah tempatnya. Dapat dipastikan setiap hari pasti ada orang yang kecopetan atau kejambretan. Ada kelompok pencopet dan penjambret yang terkenal di Pasar 16 Ilir yakni “Kelompok Jack.” Kelompok ini dipimpin Jack, seorang lelaki berwajah ganteng. Ia selalu berpenampilan necis saat melakukan aksinya.

Dalam melakukan aksinya kelompok Jack yang beranggotakan 10 orang, menggunakan banyak cara.

Sejak subuh beberapa anak buah Jack beraksi dengan pura-pura menjadi penjual sayuran. Mereka mengincar para ibu atau pedagang sayur kampung yang berbelanja ke Pasar 16 Ilir.
Saat beraksi mereka tidak sendirian. Minimal tiga orang. Cara mencopetnya pun macam-macam, dari cara diam-diam mencabut dompet dari saku celana menggunakan dua jari, menyilet tas, pura-pura menabrak, hingga terang-terangan menarik dompet korbannya.

Ada kiat agar tidak menjadi sasaran copet di Pasar 16 Ilir. Pertama jangan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah saat berbelanja. Mereka yang menggunakan bahasa Indonesia dan daerah, buat para pencopet merupakan sasaran empuk. Yang berbahasa Indonesia pasti orang pendatang dari Jakarta sementara yang menggunakan bahasa daerah mereka dari dusun. Keduanya dipercaya membawa banyak uang. Kiat kedua, letakkan uang atau dompet di saku celana bagian depan. Satu lagi, jangan menggunakan perhiasan apapun saat berbelanja, termasuk jam tangan yang mahal dan handphone.

Pasar 16 Ilir juga surga bagi pecandu obat koplo. Puluhan ibu yang menjual obat eceran menyediakan bermacam obat koplo, dari jenis Magadon, Rohypnol, Nipam, hingga Artan. Para pedagang obat koplo ini nongkrong di samping atau “menyelip” di antara pedagang sayuran yang memunyai kios. Kode atau tanda agar cepat mendapatkan obat dari mereka ini cukup dengan sapaan “Mamak,” yang memang memberi kesan akrab.

SEORANG remaja berusia 20-an tahun mendekati seorang bapak yang tengah menunggu bus tujuan Lahat, di depan simpang empat Jakabaring. Jarak Palembang dengan Lahat sekitar 250 kilometer. Terletak di bagian tenggara Sumatra Selatan.

“Bapak jingok (lihat) nomor ini,” kata si remaja itu sambil menunjukkan selembar kertas bertuliskan sejumlah angka. Matanya menatap tajam mata si bapak.

“Aku dapat melipatke (menggandakan) duit bapak,” katanya lagi, dan terus menatap mata si bapak. Sementara dua temannya memantau dari jarak sekitar 10 meter.

Bapak itu tentu saja diam. Bingung. Orang asing kok tiba-tiba menawarkan mau menggandakan uangnya.

“Aku tau duit bapak ada lima ratus ribu,” kata si remaja. Bapak itu terkejut. Dia berpikir bagaimana bisa jumlah uangnya diketahui. “Benar kan duit bapak lima ratus ribu.”

“Cobo (coba) aku pinjem dulu dompet bapak.”

Entah kenapa bapak itu mau mengeluarkan dompet dan kemudian menyerahkannya. Ketika dompet itu dibuka memang benar berisi uang sebanyak Rp 500 ribu.

Lalu, remaja itu mengeluarkan lembaran kertas yang dilihat si bapak sebagai lembaran uang seratus ribu. “Aku masuke (dimasukan) ke dompet bapak, ya.” Remaja itu kemudian mengembalikan dompet itu.

“Bapak catat alamat aku ini. Kalu (jika) minta bantuan aku hubungi aku di alamat ini,” kata si remaja. “Sekarang bapak pergilah. Berjalan sepuluh langkah, jangan tengok ke belakang.”

Bagai kambing dicocor hidungnya, bapak itu menurut saja. Setelah berjalan sepuluh langkah, dia menengok ke belakang. Remaja itu sudah pergi bersama dua temannya. Penasaran, dibukalah dompetnya. Alangkah terkejut si bapak, dompetnya kini berisi beberapa lembar kertas seukuran uang, sementara uangnya sebanyak Rp 500 ribu raib. Sedangkan alamat yang diberikan remaja itu hanya beberapa baris kalimat yang tulisannya tak jelas.

Bapak itu menjadi korban penipuan hipnotis. Di Palembang ada sebuah lorong yang sebagian besar warganya preman yang melakukan penipuan hipnotis. Nama lorong itu “Aman.” Terletak di Kelurahan 5 Ulu, Seberang Ulu I, Palembang.

Menurut Muhammad, warga lorong Aman, di lorongnya jumlah preman yang melakukan penipuan hipnotis cukup banyak. Puluhan orang. Mereka umumnya remaja putus sekolah.
Wilayah kerja para penjahat hipnotis ini bukan hanya di Palembang. Mereka juga mencari mangsa di Jambi, Lampung, dan Jakarta. “Mereka punya jaringan kuat. Mereka sulit ditangkap tangan, tapi kalu (kalau) ada yang tertangkap mereka kompak dan berani membayar aparat polisi untuk dikeluarkan. Bukankah penipuan seperti ini gampang berkelit,” katanya.

Lorong Aman, selain sarang penipu hipnotis, juga melahirkan preman-preman “lipas tanah.” Istilah ini ditujukan kepada penjahat yang suka mencopet dan menjambret. Satatusnya lebih rendah dari “tikus angin” yang kejahatannya berupa pencurian kendaraan bermotor dan membongkar rumah. Pengertian “lipas tanah” adalah kecoa yang hidup di tanah, sedangkan “tikus angin” adalah tikus yang gerakannya secepat angin.

Yang cukup mengejutkan, dari lorong ini lahir pula preman-preman yang kalau di Jakarta bergabung dengan kelompok “Kapak Merah.” “Banyak kawan aku yang menjadi anggota Kapak Merah. Kalu nak (jika mau) lebaran ini banyak yang berangkat ke Jakarta. Beroperasi. Kalu (jika) berhasil balek (pulang) pesta selama lebaran,” kata Muhammad.

Lorong Aman menjadi sarang preman, kata Muhammad, baru 10 tahun terakhir. Dan mereka menjadi preman karena persoalan ekonomi. Putus sekolah dan tidak punya pekerjaan. Orang tua mereka rata-rata buruh lepas, pembantu rumah tangga, atau penarik becak. Mereka umumnya berasal dari daerah seperti Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu.

Dari mana mereka belajar ilmu hipnotis? “Aku dak tau, tapi setauku mereka belajar ke dusun. Ado gurunyo.”

Di Palembang, banyak perkampungan preman seperti lorong Aman. Sebut saja Tembok Batu dan Hoktong di kawasan Plaju. Daerah ini sarang pencopet, penodong, dan penjambret. Begitu juga daerah Kertapati. Sementara di Tanggabuntung, 35 Ilir, selain sarang pencopet, penodong, dan penjambret juga sarang perampok atau pembongkar rumah dan toko. Preman yang terkenal dari kawasan Tanggabuntung ini adalah Mat Ijah. Dia pernah ditahan lantaran merampok beberapa toko emas di Palembang.

Para pencopet, pejambret, dan penodong dari beberapa kawasan itu beroperasi antara lain di Stasiun Kereta Api Kertapati, Pasar Plaju, Pasar 16 Ilir, Pertokoan Sayangan, dan kawasan International Plasa.

Preman jenis “tikus angin” dan “lipas tanah” juga dilahirkan dari kawasan Boom Baru, 3 Ilir, dan Sei Batang. Bedanya, operasi preman dari kawasan ini lebih banyak di Pasar Lemabang, Boom Baru, dan Dermaga Sei Batang.

Pokoknya, jika dilihat dari atas, setiap sudut kota Palembang pasti melahirkan perkampungan preman. Ujung timur di Palembang Ilir ada Sei Batang, 3 Ilir, dan Boom Baru. Ujung barat di Palembang Barat ada Tanggabuntung. Ujung barat di Palembang Ulu ada Kertapati, 5 Ulu, dan ujung timur di Palembang Ulu ada Hoktong dan Tembok Batu.

Meskipun preman kampung atau pasar, tongkrongan mereka bukan di tempat biasa atau “ngampung” seperti warung kopi. Selain di diskotik seperti di Hotel King, Princess, Lembang, Puri Indah, dan Darma Agung, mereka juga biasa nongkrong di sejumlah kafe yang memutar house music seperti kafe-kafe di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta.

Sebelum terbakar, Heppi Karaoke merupakan tempat kumpul favorit para preman. Tapi sejak tempat itu terbakar pada Juni 2002, yang menewaskan puluhan orang, mereka terpencar-pencar.

Untungnya masih ada izin dari kepolisian untuk menggelar “organ tunggal.” Melalui pesta “organ tunggal” ini para preman itu berkonsolidasi sambil mabuk minuman dan ekstasi. Acara ini biasa digelar oleh preman yang mengadakan hajatan, atau organisasi massa dan partai politik yang ingin dapat dukungan dari preman.

SEBUAH bus kota berwarna merah jurusan KM 12-Plaju sesak penumpang sore itu melaju kencang. Penumpangnya sebagian besar perempuan yang pulang kerja. Mengalun lagu dangdut yang didiskokan.

Di atas Jembatan Ampera, bus itu tiba-tiba dihentikan empat remaja. Mereka naik. Satu orang duduk berjongkok di belakang sopir, satu berdiri di pintu belakang, satunya berdiri dekat kernek, dan satunya di tengah.

Setelah melalui simpang Jakabaring, tiba-tiba keempat remaja itu mengeluarkan pisau. Yang di belakang sopir menghunuskan pisaunya ke leher si sopir. Begitu pun yang di dekat kernek. Sementara dua lainnya beraksi mengumpulkan barang berharga milik penumpang.

“Keluarke dompet, lepaskan jam tangan dan kalung kalian. Yang wong kito diam bae,” kata salah seorang dari mereka. Dua penodong itu pun dengan cepat menyambar apa yang dimiliki para penumpang.

Ekong, salah seorang penumpang, dengan tubuh gemetar memberikan dompetnya yang berisi uang sebanyak Rp 50 ribu. “Ibu Cino (Cina)?” tanya seorang penodong. Ekong tambah bingung.


“Kami ngembek (mengambil) barang wong Cino bae. Simpanlah punya ibu nih,” kata si penodong itu.

“Aduh! Ampun, Kak! Jangan bunuh aku, Kak, ampun…”

“Diam! Makonya dak usah ngelawan, buyan! (makanya jangan melawan, bodoh!)”

Gadis yang berteriak minta ampun itu menangis sambil memegang tangannya yang terluka. Dia tadi berusaha mempertahankan gelangnya yang hendak dirampas penodong. Saat itulah sebuah sabetan pisau melukai tangannya. Tidak seorang pun penumpang berani menolongnya.
Tepat di depan Jalan Banten, Plaju, bus berhenti. Keempat penodong itu turun. Mereka lari sekencangnya ke dalam Jalan Banten. Sopir bus dan kernet diam.


Seperti ledakan, sejumlah penumpang perempuan berteriak, memaki, dan menangis. Beberapa orang mendekati bus itu tapi tak ada yang memutuskan mengejar para penodong. Mereka kemudian ke kantor Polsek Seberang Ulu II Palembang. Pertengahan Agustus 1998. Empat bulan setelah kerusuhan Mei yang berujung kejatuhan Soeharto.

SENGATAN matahari, rasa lapar, haus, kian menaikkan emosi seribuan penarik becak yang gagal bertemu dengan Walikota Palembang Eddy Santana Putra, Jumat siang di akhir Agustus 2003. Beberapa detik setelah pemimpin aksi meminta mereka membubarkan diri, sekitar seratus penarik becak justru mendatangi kantor polisi pamong praja, sekitar 200 meter dari kantor walikota. Mereka mau mengambil paksa puluhan becak yang ditahan lantaran penarik becaknya tidak memiliki surat izin mengemudi becak.

Di depan kantor polisi pamong praja, ratusan penarik becak itu langsung melempar batu. Aksi itu dibalas dengan lemparan batu pula. Akibatnya puluhan penarik becak dan polisi pamong praja mengalami cidera. Beberapa penarik becak ditangkap polisi pamong praja saat berusaha mengambil becak yang ditahan.

“Berhenti! Mundur, mundur, jangan emosi,” kata Ridwan sambil menarik beberapa penarik becak. “Eh, kau! Jangan melempar batu pulo!(juga)” kata Ridwan sambil menunjuk seorang polisi pamong praja. Perang batu pun berhenti.

Bentrokan kecil itu merupakan pengalaman baru Ridwan dalam berpolitik. Sebab, aksi seribuan becak itu didukung Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), partai yang baru dimasuki Ridwan.

“Peristiwa itu pengalaman baru aku. Dulu, selama di Golkar aku jadi yang nakuti massa. Tapi kemaren aku di antara mereka,” katanya.

Tahun 1982 merupakan kali pertama Ridwan terlibat politik praktis. Saat itu dirinya diajak bergabung dengan Golkar untuk memenangi pemilihan umum. Dia tertarik lantaran dijanjikan akan dijadikan pengurus partai dan dapat dipromosikan menjadi calon anggota Parlemen lokal.
Dengan penuh semangat Ridwan mengedarkan proposal Golkar ke bank dan pertokoan di Pasar 16 Ilir. Isi proposal itu minta bantuan dana untuk menghadapi kampanye pemilihan umum.


“Dak kate (tidak ada) yang berani idak ngasih (tidak memberi) sumbangan. Mereka takut kagek (nanti) susah berurusan dengan camat dan lurah.”


Sebagian besar uangnya diserahkan ke partai, sisanya untuk makan dan mabuk-mabukan anak buahnya di Pasar 16 Ilir.

Selain mengedarkan proposal, Ridwan juga diminta mengerahkan massa saat kampanye. Dia dan anak buahnya mendapat tugas melakukan “serangan malam,” yakni mencopoti bendera partai milik Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.

Tugas ini dilakukan Ridwan dalam tiga pemilihan umum selanjutnya. Tapi janji Golkar untuk mempromosikan dirinya sebagai pengurus partai dan calon legislatif tidak kunjung tiba. Kejatuhan Soeharto membuat dirinya tersadar.

“Selama ini aku hanya jadi tempat tai. Tidak dapat apo-apo justru dapet celoan bae (dapat celaan saja),” katanya.

Meskipun Ridwan memutuskan berhenti berpolitik, di Palembang trend menggunakan preman dalam moment politik terus saja terjadi. Misalnya dalam proses suksesi gubernur Sumatra Selatan beberapa waktu lalu.

Sebelum pemilihan gubernur digelar pada 4 Agustus 2003, ribuan massa yang sebagian besar preman mendatangi Stasiun Televisi Republik Indonesia Palembang dan harian Transparan. Mereka tergabung dalam Barisan Pemuda Sumsel dan Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu. Mereka memprotes sikap kedua media itu yang dinilai tidak seimbang dalam memberitakan soal dukungan terhadap pasangan Syahrial Oesman dan Mahyudin. Keduanya dinilai terlalu pro dengan pasangan Rosihan Arsyad dan Radjab Semendawai. Mereka bahkan mengancam akan merusak dan menciderai awak redaksi.

Ribuan massa ini juga turun saat pemilihan gubernur yang akhirnya memenangkan pasangan Syahrial Oesman dan Mahyudin. Pasangan ini mengalahkan pasangan Rosihan Arsyad dan Radjab Semendawai dengan satu suara; 38-37.

Setelah pemilihan, ketika sekelompok orang melakukan aksi ke Kejaksaan Tinggi mendesak agar gubernur terpilih diperiksa berkaitan dengan berbagai kasus dugaan korupsi selama menjadi bupati Ogan Komering Ulu, puluhan preman yang dipimpin Toyib dan Atai menyerang pengunjuk rasa. Selain memukul, mereka juga menciderai seorang pengunjuk rasa dengan senjata tajam.

12 September 2003, ketika Syahrial Oesman dan Mahyudin gagal dilantik, sedikitnya 10 ribu preman dari Palembang, Muaraenim, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Komering Ilir aksi ke jalan. Mereka menuntut Syahrial segera dilantik. Aksi ini dipimpin Toyib, Atai, dan Edward Djaya.
Pihak Rosihan Arsyad dan Radjab Semendawai juga menurunkan massa-preman. Misalnya aksi ketika pemilihan berlangsung dan aksi memprotes soal pemilihan yang cacat hukum.
Mereka yang ikut aksi ini mengaku dibayar Rp 15-20 ribu per kepala. Bayaran ini di luar angkutan dan makan nasi bungkus.

Selain ada pemasukan dari proyek aksi massa, para preman seperti Toyib dan Atai juga mendapat proyek mengamankan dua lokasi perjudian ilegal di Palembang, yakni di Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Sayangan.

Suatu ketika saya pernah didatangi Toyib dan Atai lantaran memberitakan kegiatan perjudian ilegal tersebut. “Aku nih datang atas nama kawan-kawan. Jangan diberitakan lagi soal judi, tu. Kasihan kawan-kawan dak pacak (tidak dapat) makan kalau tempat itu ditutup. Kami minta tolong nian,” kata Toyib. Lalu anak buahnya berbisik bahwa pihak pengelola perjudian ilegal itu mau memberi uang. Begitu saya tolak, mereka tampak kecewa.

Pada pemilihan umum 1999 Ridwan berbalik mendukung Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Sekali lagi Ridwan mengaku kecewa. Baginya, partai itu tidak membawa perubahan tapi justru melahirkan koruptor-koruptor baru.
“Sekarang aku berusaha jadi anggota dewan. Kuli, preman, pedagang di Pasar 16 Ilir sudah dukung aku galo (semua).”*

*) Dimuat majalah Pantau tahun 2003

0 Comments: