Oleh T. Wijaya
SEMUA orang boleh kecewa dan marah terhadap Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Kemudian menyalahkan orang lain. Menempatkan diri sebagai orang yang paling benar, bermoral, dan cerdas. Atau juga, mengakui diri sebagai orang yang paling bertanggungjawab.
Lalu, apa salah Dewan Kesenian Sumatra Selatan? Jawabannya semua sudah tahu. Dewan Kesenian Sumatra Selatan dinilai gagal mengurusi seni-budaya di Sumatra Selatan, khususnya mengurusi pribadi-pribadi para pekerja seni.
Saya sepakat. Tapi kegagalan yang saya lihat yakni Dewan Kesenian Sumatra Selatan belum mampu mewujudkan sebuah perguruan tinggi seni di Sumatra Selatan. Sebab sebagai salah satu daerah tertua di Indonesia dan memiliki sejarah dan peradaban tinggi, Sumatra Selatan belum memiliki perguruan tinggi seni, seperti halnya di Bali, Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Kegagalan kedua, Dewan Kesenian Sumatra Selatan belum dapat mendorong lahirnya sebuah peraturan daerah mengenai seni dan budaya.
Kegagalan ketiga, mungkin naif, Dewan Kesenian Sumatra Selatan belum pernah memberikan saya biaya buat berkesenian, apalagi buat biaya makan dan minum saya sehari-hari sebagai pekerja seni.
Nah, ada dua sikap menyikapi kegagalan tersebut. Pertama, menghukum para pengurus Dewan Kesenian Sumsel dengan menggantungnya hidup-hidup di atas jembatan Ampera, atau kedua, mengkoreksi kegagalannya dan menyusun sebuah strategi baru mengoptimalkan peranan Dewan Kesenian Sumsel.
Saya tidak akan memilih langkah pertama. Sebab saya bukan manusia barbar, yang senang menyiksa atau membunuh orang lain. Maka, saya akan memilih sikap yang kedua.
Berdasarkan sikap yang kedua, penyebab kegagalan pertama Dewan Kesenian Sumsel yaitu mendirikan perguruan tinggi seni—saya berasumsi—lantaran secara sistematis ada kekuatan dari pusat atau luar yang tidak menginginkan Sumatra Selatan memiliki sebuah perguruan tinggi seni. Sebab jika di Sumatra Selatan lahir sebuah perguruan tinggi seni, akan terungkap semua kebesaran sejarah masa lalu nusantara yang beranjak dari Sumatra Selatan, sehingga memengaruhi berbagai kebijakan strategi kebudayaan di nusantara yang tengah berjalan. Artinya, bila Sumatra Selatan memiliki perguruan tinggi seni sejak 30-40 tahun lalu, mungkin konsep otonomi daerah yang dipakai kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam, sudah lama dijalankan pemerintahan di Indonesia.
Sementara kegagalan kedua yaitu mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai seni dan budaya lantaran Dewan Kesenian Sumsel tidak memiliki sumber daya manusia yang mampu bekerja secara fokus dan konsisten dalam mewujudkan peraturan daerah tersebut. Saya mengetahui keinginan Dewan Kesenian Sumsel mewujudkan peraturan daerah itu sudah berjalan sejak tiga tahun lalu, tapi sampai saat ini saya belum pernah melihat daft soal peraturan daerah tentang seni dan budaya versi Dewan Kesenian Sumsel.
Memang, mewujudkan peraturan daerah ini dibutuhkan kerja keras. Bahkan, kelompok seniman di luar kepengurusan Dewan Kesenian Sumsel, seperti Majelis Seniman Sumsel (MSS) dengan presidennya yang belum diganti—meskipun masa kerjanya sudah melewati batas waktu 2 tahun—yakni Nurhayat Arief Permana, belum berhasil selama 5 tahun ini mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai seni-budaya.
Lalu, kegagalan ketiga yakni membantu biaya kreatif bagi pekerja seni, lantaran Dewan Kesenian Sumsel memang “bokek”. Dana yang didapatnya hanya berdasarkan “niat baik” pihak pemerintah, baik melalui kantor gubernur Sumsel atau dinas-dinas yang terkait dengan isu seni dan budaya.
Bahkan, ironinya, para pengurus Dewan Kesenian Sumsel sendiri tidak memiliki gaji. Mereka diminta sukarela buat mengurusi kesenian di Sumsel. Sungguh mengharukan.
Sudah miskin, tak dapat gaji, lalu dimarahi para pekerja seni!
Jadi, berdasarkan penglihatan saya di atas, posisi Dewan Kesenian Sumsel sangat lemah. Posisi tawar lembaga ini jauh lebih lemah dari sebuah organisasi pemuda, klub sepakbola, bahkan lembaga swadaya masyarakat. Istilah gaulnya, Dewan Kesenian Sumsel itu pakaiannya kecil tapi badannya besar. Jelasnya, uangnya kecil, tanpa kekuatan hukum, tapi ngurusi peradaban manusia!
Namun, saya tidak dapat menyalahkan Dewan Kesenian Sumsel. Sebab negara ini memang tidak memandang penting—atau ketakutan—terhadap para pekerja seni dan budaya, sehingga sampai saat ini tidak ada menteri seni-budaya.
Mengapa Dipertahankan?
Dengan fakta di atas, mengapa Dewan Kesenian Sumatra Selatan harus dipertahankan? Menurut saya kalau Dewan Kesenian Sumsel dipertahankan dengan kondisi hari ini; yakni tak ada uang, tak ada kekuatan hukum, sumber daya manusia yang tidak ideal, ya, lebih baik dibubarkan. Sebab sia-sia. Hanya mendatangkan fitnah, kemarahan, dan kesombongan yang aneh pada para pekerja seni. Tetapi, bila Dewan Kesenian Sumsel dibubarkan, itu sama artinya kita memvonis masyarakat Sumsel tidak memiliki kebudayaan. Sungguh membingungkan.
Sekali lagi saya mempertimbangkan diri sebagai manusia yang tidak mau disebut sebagai manusia tanpa peradaban. Jadi, saya setuju Dewan Kesenian Sumsel tetap dipertahankan. Namun, Dewan Kesenian Sumsel ke depan harus memiliki posisi tawar yang bagus dengan pemerintah maupun kekuatan lainnya di masyarakat.
Lalu, apa saja prasyarat Dewan Kesenian Sumsel agar tetap dipertahankan?
Pertama, sebagai lembaga mitra pemerintah dan mengurusi persoalan yang besar yakni seni dan budaya, Dewan Kesenian Sumsel harus memiliki dasar hukumnya di mata pemerintah dan masyarakat, yakni harus ada payung peraturan daerah. Dalam hal ini, pemerintah Sumatra Selatan, jika memandang Dewan Kesenian Sumsel masih diperlukan buat mewujudkan masyarakat Sumsel ke depan cerdas dan sehat—merupakan cita-cita semua agenda kebudayaan—harus mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai seni-budaya. Sementara itu, jika partai politik, juga mau disebut sebagai partai politik sebenarnya—yang memikirkan negara dan bangsa ini ke depan—tentulah tidak memiliki alasan buat menolak peraturan daerah mengenai seni-budaya yang juga mengakui keberadaan Dewan Kesenian Sumsel.
Jika ini berlangsung, saya percaya para pengurus Dewan Kesenian Sumsel akan mendapatkan gaji, sehingga menjadi sehat dan kian cerdas. Lebih jauhnya, para pekerja seni akan mendapatkan fasilitas dalam batas tertentu, misalnya biaya produksi karya.
Kedua, Dewan Kesenian Sumsel—bila sudah sehat—segera mewujudkan agenda-agenda dari strategi kebudayaan yang diinginkan bersama, seperti melaksanakan program-program pembangunan humaniora.
Selanjutnya, kritik terhadap Dewan Kesenian Sumsel akan benar-benar objektif. Sebab inputnya sudah jelas dan terukur, seperti kita mengkritik para anggota Dewan, senator, gubernur, atau presiden. [*]
Rabu, 26 November 2008
Kapan Pengurus Dewan Kesenian Sumsel Menerima Gaji?
Diposting oleh T. Wijaya di 05.04
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment