Kamis, 27 November 2008

Novel Perahu karya Conie Sema


MULAI Jumat (21/11/2008) lalu, dapat dinikmati novel Perahu karya Conie Sema di www.novelperahu.blogspot.com. Novel ini bersetting masyarakat pesisir Lampung. Sebelumnya Conie Sema banyak bekerja di dunia teater bersama Teater Potlot. Novel ini ditulis di tengah kesibukan Conie Sema menjadi jurnalis. "Saya menulis novel, karena saya ingin menulis. Dan saya merasa lucu sehingga saya menulis novel," kata Conie.
Berikut kutipan dari novel Perahu:
Dari pengeras suara terdengar teriakan parau; “kawan-kawan! Satu rekan kita mati! Mereka menembak Rizal! Jangan mundur! Lawan! Maju… maju!” Mahasiswa kembali keluar dari kampus UBL. Mereka tumpah ruah ke jalan raya ZA Pagaralam, di depan kampus UBL.
Siapa Conie Sema? Inilah biodatanya:
CONIE SEMA, anak laki-laki, nomor urut lima dari sembilan bersaudara lahir di Kota Palembang. Bapaknya Sema’i (Alm), mengabdi jadi pegawai negeri sipil. Sampai pensiun berpangkat rendah, karena menolak dipaksa mencoblos Golkar, partainya ORBA. Selain bersastra juga berkesenian di Teater Potlot Palembang (1984-1996). Sehari-hari bekerja sebagai koresponden RCTI di Lampung.
Karya-karya drama yang ditulis dan sempat dipentaskan antara lain, Sari (drama tivi) produksi TVRI Palembang (1989), Bonseras (Boneka Setengah Waras), pentas tiga kota, Jambi, Lampung, dan Palembang (1992-1993). Sebungkus Deterjen Hari Ini di Palembang dan Jakarta (1993). Tahun 1994 hijrah ke Lampung, menggarap Orang-Orang Barunta pentas 6 Kabupaten dan Kota di Lampung (1999), Hutan Geribik Roadshow 50 desa di Lampung (2000).
Karya drama panggung lainnya yang belum sempat dipentaskan antara lain, Denting-Denting Piano (1989, drama tivi), Kereta Tanpa Rel (1996), Kondominium Bocor (1995), Monolog: Gergaji (2000), dan Rekonstruksi Angin (2001). Juga menulis esai-esai sastra dan budaya di Majalah Kebudayaan Dinamika, Sumatera Ekpres, Sriwijaya Post, Suara Rakyat Semesta, Media Indonesia, Lampung Post, Tabloid Sumber, Suara Lampung, dan lain-lain. Novel “Perahu” (2004-2006), adalah karya pertamanya menulis cerita panjang.

Nama : Conie Sema
Lahir : Palembang, 24 April 1965
Kelamin : laki-laki
Alamat : Jalan Imam Bonjol, Gang Randu 13 B, Kemiling, Bandarlampung
Pekerjaan : Jurnalis Televisi (Koresponden RCTI di Lampung)
Nama Isteri : Bisri Merduani
Nama Anak : 1. Sema Milenia
2. Sema Giga Ramadan
3. Sema Epik Revolka

Rabu, 26 November 2008

Kapan Pengurus Dewan Kesenian Sumsel Menerima Gaji?

Oleh T. Wijaya

SEMUA orang boleh kecewa dan marah terhadap Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Kemudian menyalahkan orang lain. Menempatkan diri sebagai orang yang paling benar, bermoral, dan cerdas. Atau juga, mengakui diri sebagai orang yang paling bertanggungjawab.
Lalu, apa salah Dewan Kesenian Sumatra Selatan? Jawabannya semua sudah tahu. Dewan Kesenian Sumatra Selatan dinilai gagal mengurusi seni-budaya di Sumatra Selatan, khususnya mengurusi pribadi-pribadi para pekerja seni.
Saya sepakat. Tapi kegagalan yang saya lihat yakni Dewan Kesenian Sumatra Selatan belum mampu mewujudkan sebuah perguruan tinggi seni di Sumatra Selatan. Sebab sebagai salah satu daerah tertua di Indonesia dan memiliki sejarah dan peradaban tinggi, Sumatra Selatan belum memiliki perguruan tinggi seni, seperti halnya di Bali, Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Kegagalan kedua, Dewan Kesenian Sumatra Selatan belum dapat mendorong lahirnya sebuah peraturan daerah mengenai seni dan budaya.
Kegagalan ketiga, mungkin naif, Dewan Kesenian Sumatra Selatan belum pernah memberikan saya biaya buat berkesenian, apalagi buat biaya makan dan minum saya sehari-hari sebagai pekerja seni.
Nah, ada dua sikap menyikapi kegagalan tersebut. Pertama, menghukum para pengurus Dewan Kesenian Sumsel dengan menggantungnya hidup-hidup di atas jembatan Ampera, atau kedua, mengkoreksi kegagalannya dan menyusun sebuah strategi baru mengoptimalkan peranan Dewan Kesenian Sumsel.
Saya tidak akan memilih langkah pertama. Sebab saya bukan manusia barbar, yang senang menyiksa atau membunuh orang lain. Maka, saya akan memilih sikap yang kedua.
Berdasarkan sikap yang kedua, penyebab kegagalan pertama Dewan Kesenian Sumsel yaitu mendirikan perguruan tinggi seni—saya berasumsi—lantaran secara sistematis ada kekuatan dari pusat atau luar yang tidak menginginkan Sumatra Selatan memiliki sebuah perguruan tinggi seni. Sebab jika di Sumatra Selatan lahir sebuah perguruan tinggi seni, akan terungkap semua kebesaran sejarah masa lalu nusantara yang beranjak dari Sumatra Selatan, sehingga memengaruhi berbagai kebijakan strategi kebudayaan di nusantara yang tengah berjalan. Artinya, bila Sumatra Selatan memiliki perguruan tinggi seni sejak 30-40 tahun lalu, mungkin konsep otonomi daerah yang dipakai kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam, sudah lama dijalankan pemerintahan di Indonesia.
Sementara kegagalan kedua yaitu mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai seni dan budaya lantaran Dewan Kesenian Sumsel tidak memiliki sumber daya manusia yang mampu bekerja secara fokus dan konsisten dalam mewujudkan peraturan daerah tersebut. Saya mengetahui keinginan Dewan Kesenian Sumsel mewujudkan peraturan daerah itu sudah berjalan sejak tiga tahun lalu, tapi sampai saat ini saya belum pernah melihat daft soal peraturan daerah tentang seni dan budaya versi Dewan Kesenian Sumsel.
Memang, mewujudkan peraturan daerah ini dibutuhkan kerja keras. Bahkan, kelompok seniman di luar kepengurusan Dewan Kesenian Sumsel, seperti Majelis Seniman Sumsel (MSS) dengan presidennya yang belum diganti—meskipun masa kerjanya sudah melewati batas waktu 2 tahun—yakni Nurhayat Arief Permana, belum berhasil selama 5 tahun ini mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai seni-budaya.
Lalu, kegagalan ketiga yakni membantu biaya kreatif bagi pekerja seni, lantaran Dewan Kesenian Sumsel memang “bokek”. Dana yang didapatnya hanya berdasarkan “niat baik” pihak pemerintah, baik melalui kantor gubernur Sumsel atau dinas-dinas yang terkait dengan isu seni dan budaya.
Bahkan, ironinya, para pengurus Dewan Kesenian Sumsel sendiri tidak memiliki gaji. Mereka diminta sukarela buat mengurusi kesenian di Sumsel. Sungguh mengharukan.
Sudah miskin, tak dapat gaji, lalu dimarahi para pekerja seni!
Jadi, berdasarkan penglihatan saya di atas, posisi Dewan Kesenian Sumsel sangat lemah. Posisi tawar lembaga ini jauh lebih lemah dari sebuah organisasi pemuda, klub sepakbola, bahkan lembaga swadaya masyarakat. Istilah gaulnya, Dewan Kesenian Sumsel itu pakaiannya kecil tapi badannya besar. Jelasnya, uangnya kecil, tanpa kekuatan hukum, tapi ngurusi peradaban manusia!
Namun, saya tidak dapat menyalahkan Dewan Kesenian Sumsel. Sebab negara ini memang tidak memandang penting—atau ketakutan—terhadap para pekerja seni dan budaya, sehingga sampai saat ini tidak ada menteri seni-budaya.

Mengapa Dipertahankan?
Dengan fakta di atas, mengapa Dewan Kesenian Sumatra Selatan harus dipertahankan? Menurut saya kalau Dewan Kesenian Sumsel dipertahankan dengan kondisi hari ini; yakni tak ada uang, tak ada kekuatan hukum, sumber daya manusia yang tidak ideal, ya, lebih baik dibubarkan. Sebab sia-sia. Hanya mendatangkan fitnah, kemarahan, dan kesombongan yang aneh pada para pekerja seni. Tetapi, bila Dewan Kesenian Sumsel dibubarkan, itu sama artinya kita memvonis masyarakat Sumsel tidak memiliki kebudayaan. Sungguh membingungkan.
Sekali lagi saya mempertimbangkan diri sebagai manusia yang tidak mau disebut sebagai manusia tanpa peradaban. Jadi, saya setuju Dewan Kesenian Sumsel tetap dipertahankan. Namun, Dewan Kesenian Sumsel ke depan harus memiliki posisi tawar yang bagus dengan pemerintah maupun kekuatan lainnya di masyarakat.
Lalu, apa saja prasyarat Dewan Kesenian Sumsel agar tetap dipertahankan?
Pertama, sebagai lembaga mitra pemerintah dan mengurusi persoalan yang besar yakni seni dan budaya, Dewan Kesenian Sumsel harus memiliki dasar hukumnya di mata pemerintah dan masyarakat, yakni harus ada payung peraturan daerah. Dalam hal ini, pemerintah Sumatra Selatan, jika memandang Dewan Kesenian Sumsel masih diperlukan buat mewujudkan masyarakat Sumsel ke depan cerdas dan sehat—merupakan cita-cita semua agenda kebudayaan—harus mendorong lahirnya peraturan daerah mengenai seni-budaya. Sementara itu, jika partai politik, juga mau disebut sebagai partai politik sebenarnya—yang memikirkan negara dan bangsa ini ke depan—tentulah tidak memiliki alasan buat menolak peraturan daerah mengenai seni-budaya yang juga mengakui keberadaan Dewan Kesenian Sumsel.
Jika ini berlangsung, saya percaya para pengurus Dewan Kesenian Sumsel akan mendapatkan gaji, sehingga menjadi sehat dan kian cerdas. Lebih jauhnya, para pekerja seni akan mendapatkan fasilitas dalam batas tertentu, misalnya biaya produksi karya.
Kedua, Dewan Kesenian Sumsel—bila sudah sehat—segera mewujudkan agenda-agenda dari strategi kebudayaan yang diinginkan bersama, seperti melaksanakan program-program pembangunan humaniora.
Selanjutnya, kritik terhadap Dewan Kesenian Sumsel akan benar-benar objektif. Sebab inputnya sudah jelas dan terukur, seperti kita mengkritik para anggota Dewan, senator, gubernur, atau presiden. [*]

Rabu, 19 November 2008

Peduli Soeharto, Bagaimana Nasir?

Oleh T.WIJAYA

AWALNYA Hitler merupakan pahlawan bangsa Jerman. Lalu, dia menjadi penjahat perang, terutama bagi bangsa Yahudi. Kini, ketika Jerman mengalami krisis ekonomi dan sosial, Hitlet kembali menjadi pahlawan buat sebagian rakyat Jerman.

Soekarno, awalnya juga seorang pahlawan. Tak lama kemudian Soekarno buat sebagian rakyat Indonesia merupakan “penjahat”. Selanjutnya Soekarno kembali menjadi pahlawan. Bahkan pada saat Soeharto berkuasa, Kelompok Kampungan, sebuah grup musik dari Yogyakarta pada tahun 1970-an, menuliskan lagu yang sempat dilarang Soeharto itu, berjudul, “Bung Karno”.

Liriknya antara lain, “Memandang Indonesia dari sisi sudut sejarah, teringat pada Bung Karno. Seorang manusia, yang pernah lahir di Indonesia, dan dicatat oleh sejarah. Sejarah merah-putih. Sejarah dunia. Sejarah seorang manusia. Mengenangkan Indonesia, terkenang akan para pahlawan, pejuang kemerdekaan, manusia Indonesia, berkata kepada Indonesia, aku cinta negeri Indonesia. Bung Karno telah pergi dengan segala kekurangan dan kelebihannya...”

Selanjutnya, Soeharto. Awalnya dia merupakan pahlawan. Namun, dia pun dinyatakan sebagai musuh rakyat. Kini, sebagian rakyat menempatkan dirinya sebagai pahlawan. Salahkah? Entahlah. Yang pasti kita boleh membuat lagu berjudul “Pak Harto” yang liriknya mungkin dapat mencaplok lagu “Bung Karno” milik Kelompok Kampungan tersebut.

Saya hanya mengingatkan. Banyak sekali para pejuang Indonesia yang belum diakui atau dinyatakan sebagai pahlawan. Ini sama sekali tidak disentuh oleh pemerintah Soekarno, Soharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Mereka itu contohnya Bung Tomo dan Muhammad Nasir.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan kekuatan baru parpol “kanan” di Indonesia. Mereka membangun citra sebagai parpol yang menjaga moral; politikus PKS tidak korup, tidak tertangkap bermain judi atau perempuan, dan dekat dengan rakyat. Meskipun soal melahirkan kebijakan buat publik, tampaknya PKS masih sama dengan parpol lainnya, tapi itu sudah cukup membuat PKS sebagai parpol yang mendapat jutaan pendukungnya.

Tiba-tiba PKS membuat suatu gebrakan yakni memosisikan Soeharto sebagai pahlawan. Sungguh mengejutkan. Semua rakyat Indonesia mendiskusikan sikap PKS ini. Ada yang mendukung, dan ada yang tidak.

Jika Parpol Golkar yang melakukannya mungkin tidak mengejutkan. Jadi, langkah PKS ini sebuah kecerdasan buat mempopuliskan dirinya menjelang Pemilu 2009.
Namun, saya hanya ingin bertanya, kenapa PKS tidak memperjuangkan Muhammad Nasir sebagai pahlawan nasional? Dan, saya pun bertanya, benarkah PKS merupakan parpol yang menampung karakter politisi Islam di masa lalu, yang tersingkirkan di era Soekarno maupun Soeharto? Ya, PKS adalah PKS, seperti karakter politisi mereka di parlemen yang ada saat ini. Soal moral tidak kompromi, soal kebijakan bisa kompromi. [*]

Selasa, 11 November 2008

Art Exhibition Digital and Oil Painting by Suharno Manap





Kamis, 06 November 2008

Catatan Buat Alex Noerdin-Eddy Yusuf

Oleh T. WIJAYA
KEMENANGAN pasangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf sebagai pemimpin Sumatra Selatan lima tahun ke depan, 2008-2013, merupakan bukti bahwa sebagian besar masyarakat Sumatra Selatan setuju dengan program Sumsel Sehat dan Cerdas. Jadi, apa pun kondisinya, program tersebut harus dijalankan secara optimal.
Lalu, cukupkah program tersebut dijalankan tanpa strategi kebudayaan? Artinya program itu hanya berjalan dalam kacamata proyek, misalnya cukup menyediakan obat-obat dan alat kesehatan serta penyediaan alat pendidikan, tanpa melihat dari kepentingan kebudayaan.
Sebab dalam pengertian dasar, mencerdaskan dan menyehatkan manusia merupakan tujuan utama dari sebuah strategi kebudayaan. Peradaban yang dibangun melalui agama, ilmu pengetahuan, kesenian, tradisi, teknologi, muara idealnya yakni menciptakan manusia yang sehat dan cerdas.
Jadi, program Sumsel Sehat dan Cerdas sebetulnya semacam penegasan kembali atas semua agenda kerja pembangunan yang dijalankan pemerintah Indonesia, termasuk pemerintah Sumatra Selatan, selama ini. Artinya pula bukan sesuatu yang baru, sebab selama ini setiap pemerintahan di Sumatra Selatan secara tidak langsung bercita-cita mewujudkan masyarakatnya sehat dan cerdas.

Crash Program
Cukupkah menciptakan manusia Sumatra Selatan menjadi cerdas dan sehat hanya melalui agenda kerja sekolah gratis dan berobat gratis? Saya pikir tidak. Sebab pertanyaan selanjutnya mengenai kualitas dari sekolah dan berobat gratis itu. Kalau pendidikan dan berobat gratis itu memiliki kualitas yang rendah, artinya hanya sebatas pemenuhan kebutuhan dasar, target perwujudan Sumsel Sehat dan Cerdas dapat dikatakan sebagai utopia belaka.
Bahkan, bila pemenuhan “gratis” berhenti di tengah jalan tanpa menghasilkan produk yang ideal, dia hanya menjadi semacam penyakit baru bagi masyarakat. Tepatnya mental masyarakat menjadi “peminta”. Analognya, saat sekolah digratiskan para orangtua ramai-ramai menyekolahkan anaknya, tapi ketika program itu berhenti, mereka kembali mengajak anaknya bekerja di kebun, sawah, atau di pasar.
Namun, di sisi lain, melihat kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat serta berbanding dengan kekayaan alam Sumatra Selatan, program tersebut merupakan kebutuhan yang mendesak, crash program.

Pembangunan Humaniora dan Lingkungan Hidup
Program Sumsel Sehat dan Cerdas menurut saya merupakan peluang pemerintah dan masyarakat buat membangun manusia Sumatra Selatan yang ideal atau yang berkualitas di masa mendatang.
Artinya, di tengah fasilitas gratis itu, perlu dilakukan pengisian terhadap dunia pendidikan dan kesehatan, melalui strategi pembangunan yang mumpuni.
Saya memberikan dua saran strategi pembangunan manusia Sumatra Selatan buat mengisi program Sumsel Sehat dan Cerdas tersebut.
Pertama, pembangunan humaniora. Krisis yang melanda Indonesia saat ini, salah satu penyebabnya lemahnya pembangunan humaniora yang dijalankan pemerintah. Pemerintah hanya sebatas melihat pembangunan fisik tanpa melihat isi dari pembangunan tersebut. Misalnya pendidikan yang hanya dilihat dari gedung sekolah, gaji guru, pakaian sekolah, dan penyediaan alat peraga pendidikan, tanpa melihat isi atau muatan yang diterima atau diajarkan dalam dunia pendidikan tersebut. Pendidikan di Indonesia akhirnya hanya melahirkan manusia yang kaku, tidak inspiratif, dan tidak sensitif lingkungan.
Apa saja yang harus diberikan kepada dunia pendidikan kita? Yang pertama yakni perlu diberikan kepada para pelajar, mulai pendidikan dasar hingga menengah atas, yakni pelajaran yang memiliki nilai muatan lokal seperti bahasa lokal, kesenian lokal, ilmu pengetahuan dan teknologi lokal. Misalnya soal bahasa, adat-istiadat, makanan, pakaian, filosofis hidup.
Yang kedua, yakni mata pelajaran mengenai lingkungan hidup. Kearifan menata limbah, lingkungan rumah, mengenal sumber daya alam, serta lainnya.
Merangkum isu-isu di atas, mungkin para pelajar di tingkat sekolah dasar hingga menengah atas, dapat diberikan pelajaran mengenai bahasa lokal, kesenian lokal, dan Kitab Simbur Cahaya. Kitab Simbur Cahaya yang disusun Ratu Sinuhun lima abad lalu itu, sebagian besar masih aktual pada saat ini, terutama terkait pendidikan mengenai lingkungan hidup, adat-istiadat, dan hubungan sosial pada masyarakat Sumatra Selatan.
Sementara di tingkat perguruan tinggi, perlu dilahirkan perguruan tinggi seni atau filsafat.
Kedua, yakni pendidikan lingkungan hidup terhadap masyarakat seperti memberikan pelatihan dan pembentukan organisasi pencinta tanaman atau pengelolaan limbah keluarga dan industri. Pendidikan ini dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang konsen dengan persoalan lingkungan hidup.
Adapun dampak dari muatan pendidikan yang diberikan pada program Sumsel Sehat dan Cerdas ini, akan didapatkan beberapa keuntungan:
1. Pelajar mendapatkan kesadaran mengenai tradisi, seni, adat-istiadat, dan kearifan terhadap lingkungan hidup, yang berkarakter lokal. Dampaknya terbangun kesadaran yang luas dan mendalam sebagai manusia Sumatra Selatan, lantaran mengenal diri sendiri, percaya diri, sehingga memiliki rasa cinta terhadap masyarakat dan sumber daya alam Sumatra Selatan.
2. Masyarakat menjadi sehat, sebab mengenal, menjaga, dan melestarikan lingkungan hidup yang bersih, alami, dan indah.
3. Teroptimalnya peranan aktor-aktor humaniora dalam proses pembangunan di Sumsel, yang mana selama ini termarginalkan dalam setiap pembangunan, seperti pekerja seni, aktifis lingkungan hidup, tokoh adat-istiadat.
Sebagai penutup, saya kembali menegaskan Program Sumsel Sehat dan Cerdas jangan sampai sebatas pembagian obat dan alat peraga pendidikan secara gratis, tapi kualitas pelajaran menurun dan lingkungan hidup masyarakat tidak sehat. [*]

Senin, 03 November 2008

Upacara Ma'Panini Adat Bissu


MUNGKIN Prihatin dengan perkembangan negara-bangsa Indonesia saat ini, masyarakat adat Bissu, Sulawesi Selatan, akan menggelar upacara adat Ma'Panini atau tolak bala pada 6-8 November 2008 di kampung komunitas Bissu, Sulawesi Selatan. Upacara ini akan dipimpin Puang Matoa Bissu Saidi. Bagi mereka yang ingin menyaksikan upacara ini, dapat menyaksikannya ke lokasi. *