Oleh T. WIJAYA
DEMOKRASI yang masuk ke dalam kesadaran masyarakat Sumatra Selatan, ceritanya seperti kilat atau petir. Setelah menggantikan fasisme, demokrasi tanpa dialog nasional yang panjang langsung menyentuh wilayah kelokalan di Nusantara, termasuk di Sumatra Selatan.
Seseorang di Mekakau, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatra Selatan, yang biasanya penuh ketakutan dan tekanan saat menentukan satu sikap politik, tiba-tiba seperti orang yang baru bangun tidur, langsung diminta menentukan siapa yang akan mewakili dirinya di parlemen atau pemerintahan; apakah tetangganya, saudaranya, atau dirinya sendiri. Panik. Gagap. Tapi penuh emosi.
Jadi, tak heran, demokrasi lokal yang berlangsung di Indonesia, khususnya di Sumatra Selatan, melahirkan fragmen-fragmen yang mengenaskan, aktor-aktor yang mengejutkan. Dapat dikatakan sampai menjelang Pemilu 2009, kepanikan menyerap demokrasi itu masih berlangsung. Pertarungan antara pejuang demokrasi dan pemanfaat isu demokrasi terus berlangsung. Pada akhirnya, rakyat menjadi bingung, marah, pragmatis, hingga irasional.
Dan, yang mengejutkan, aktor atau lembaga yang semasa Soeharto berkuasa tidak pernah mengenal demokrasi secara utuh, justru hingga hari ini berada di depan dalam memanfaatkan demokrasi. Birokrat yang selama ini hidup dalam kepatuhan yang absurd, justru mampu memanfaatkan demokrasi secara baik dalam mengelola politik, ekonomi, dan sosial. Dan, mereka yang selama Soeharto berkuasa sudah sering berteriak demokrasi justru sebagian besar termarginalkan atau terkalahkan.
Salah satu kekuatan itu yakni para pekerja seni. Tepatnya, apa yang didapatkan para pekerja seni selama proses demokrasi yang berlangsung di Sumatra Selatan sejak Soeharto lengser hingga hari ini? Dapat dikatakan jauh dari harapan, apalagi bila dibandingkan dengan dampak revolusi yang berlangsung di Prancis, Amerika Serikat, termasuk di Iran dan sejumlah negara pecahan Uni Soviet.
Kebijakan
Kegagalan para pekerja seni di Sumatra Selatan memaknai demokrasi yakni ketika mereka gagal menguasai Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Mereka dikalahkan oleh sekelompok birokrat, dan pekerja seni yang kebetulan juga menjadi birokrat.
Keinginan mengubah lembaga kesenian itu menjadi sarana perjuangan, sejak 1998 hingga hari ini, menjadi sia-sia. Tak heran, lokasi Taman Budaya Sriwijaya yang berada di Jalan POM IX Palembang justru diambilalih pemilik modal, yang kemudian dijadikan lokasi hotel dan pusat perbelanjaan. Baru setelah ada desakan atau juga sebuah pemanfaatan prasarana, gedung kesenian itu diganti dengan gedung yang berada di Jakabaring, Palembang. Ironisnya, lantaran tidak memiliki dana yang cukup buat melakukan pemeliharaan, Dewan Kesenian Sumatra Selatan melepaskan gedung kesenian tersebut buat dikelola pihak pemerintah.
Kegagalan lainnya, para pekerja seni tidak mampu mendesak Dewan Kesenian Sumatra Selatan melahirkan satu pun kebijakan yang terkait dengan seni dan budaya. Sehingga tak heran, subsidi kesenian nyaris tidak ada. Tidak itu saja, berbagai program pemerintah yang berbau seni dan budaya, hampir semua keputusannya diambil oleh para birokrat. Para pekerja seni—umumnya yang juga birokrat—dilibatkan sebagai pelaksana kegiatan. Buruh kesenian.
Di luar Dewan Kesenian Sumatra Selatan, para pekerja seni juga gagal memaknai demokrasi. Ada beberapa langkah yang cukup cerdas dan memiliki potensi keberhasilan, seperti kongres seniman Sumatra Selatan yang melahirkan Majelis Seniman Sumatra Selatan (MSS). Sayang, sejak 2003, lembaga itu tidak berhasil memperjuangkan satu pun kebijakan atau menyediakan sebuah fasilitas berkesenian yang menjadi amanah konggres. Begitupun ketika sejumlah pekerja seni mampu menguasai Dewan Kesenian Palembang (DKP), yang selama tiga tahun ini, belum berhasil menelorkan satu pun kebijakan yang terkait seni dan budaya.
Keaktoran
Memanfaatkan demokrasi, juga dilakukan para pekerja seni Sumatra Selatan secara individu, yakni dengan memanfaatkan dunia politik. Sayangnya, lantaran tidak memiliki dukungan massa, ekonomi, yang kuat, mereka pun kalah dalam pertarungan "liberal". Mereka dikalahkan mantan birokrat, mantan meliter, pengusaha, aktifis organisasi massa, yang sebetulnya baru belajar berdemokrasi sejak Soeharto tumbang.
Yang lebih mengejutkan lagi, para pekerja seni yang dikenal banyak berkarya selama Soeharto berkuasa, justru menghilang. Ada beberapa alasan yang membuat mereka menghilang. Mulai dari memanfaatkan kebebasan akses ekonomi, seperti menjadi pengusaha atau profesional di bidang yang lebih menguntungkan secara finansial, hingga yang menjadi "penghubung" aktor demokrasi, atau terlindas dalam pergaulan sosial dan ekonomi, yang memang agak lebih liberal.
Fakta ini dapat dilihat minimnya frekwensi pementasan teater yang digarap secara serius, seperti yang dilakukan Teater Kembara atau Teater Potlot di masa Orde Baru. Begitupun dengan seni rupa, yang gagal menaikan frekwensi pameran tunggal, meskipun seni rupa merupakan wilayah lebih cepat mendapatkan apresiasi dari publik. Dan, terakhir tari. Saya tidak mendapatkan karya-karya tari semacam garapan Elly Rudi saat Soeharto masih berkuasa dulu.
Mungkin, yang agak berhasil memanfaatkan demokrasi para pekerja sastra dan musik. Para pekerja sastra, misalnya, mereka tidak hanya mengoptimalkan publikasi melalui buku lantaran percetakan yang kian murah—sebagai dampak persaingan bisnis—juga dunia ruang ekspresi lainnya, seperti internet sebagai dampak dari kebebasan media. Sementara musik, tetap mempertahankan kondisinya seperti dulu.
Memang, pemanfaat pekerja sastra dan musik terhadap demokrasi lokal, belum begitu mendalam saat mengeksplorasi kelokalan, meskipun memiliki ruang kebebasan begitu besar.
Di sisi lain, para pekerja sastra dan musik ini juga mampu memainkan dua peran sekaligus dalam proses demokrasi lokal. Artinya, mereka dapat terus berkarya, dan dapat juga memanfaatkan akses ekonomi secara baik. Tidak heran, bila di era Soeharto, kehidupan para pekerja sastra dan musik ini sederhana atau kekurangan, di masa reformasi hidup mereka jauh lebih baik.
Pada 5 atau 10 tahun mendatang, berbeda dengan Revolusi Prancis, para pekerja seni dari sastra dan musik yang akan lebih dahulu memanfaatkan demokrasi, dibandingkan para perupa.
Pilihan Langkah
Pertanyaan pentingnya, bagaimanakah para pekerja seni di Sumatra Selatan dapat memanfaatkan demokrasi secara baik, sehingga mereka tidak tergilas arus kebijakan Bank Dunia?
Menurut saya, ada beberapa langkah yang harus diambil. Pertama, membangun kepercayaan publik atau memperluas pergaulan, sehingga memiliki hubungan yang baik dengan kekuatan lainnya dalam memanfaatkan demokrasi. Dalam hal ini, para pekerja seni di Sumatra Selatan harus terus menunjukkan karyanya, tanpa satu pun alasan menghentikannya, seperti halnya semangat tersebut hadir pada saat Soeharto berkuasa.
Kedua, bila muncul kepercayaan ini, para pekerja seni dapat mendesak atau melobi kekuatan politik untuk melahirkan berbagai kebijakan yang terkait dengan seni dan budaya. Ketiga, setelah mendapatkan dukungan atau kekuatan hukum tersebut, para pekerja seni dapat memanfaatkannya dengan menjalankan berbagai program pembangunan humaniora yang selama Soeharto berkuasa sangat dimimpikan.
Keempat, bila tiga tahapan di atas dilalui secara baik, maka demokrasi yang berlangsung merupakan tangga bagi seni dan budaya menjadi panglima peradaban. Bukan menyerahkannya kepada kekuatan modal, yang jelas-jelas telah menghancurkan kemanusiaan, seperti yang kita biarkan berlangsung saat ini. [*]
Rabu, 31 Desember 2008
Mengaca Demokrasi, Kita Yang Kalah
Diposting oleh T. Wijaya di 14.16 0 komentar
Kamis, 25 Desember 2008
Internet Lebih Penting daripada Koran
Oleh Eddi Santosa - detikNews
Washington - Internet merupakan sumber berita penting di Amerika, melampaui koran. Demikian hasil penelitian Pew Research Center, seperti dilaporkan de Volkskrant dari ANP hari ini (25/12/2008).
Internet dipilih 40% responden sebagai sumber penting berita, padahal 5 tahun lalu baru 20%. Sementara 35% responden memilih koran atau menyusut 15% dibandingkan 5 tahun lalu yang mencapai 50%.
Televisi masih menjadi sumber berita penting, namun popularitasnya menurun tajam di kalangan usia 30 tahun ke bawah. Sebanyak 70% responden masih menyebut layar kaca itu sebagai sumber berita penting nasional maupun internasional.(es/es)
http://www.detiknews.com/read/2008/12/25/193623/1059538/10/internet-lebih-penting-daripada-koran
Diposting oleh T. Wijaya di 17.34 0 komentar
Rabu, 24 Desember 2008
Diskusi Buku INDONESIA DIKHIANATI
Hendri, salah satu peserta yang dirinya juga terkutip dalam buku Indonesia Dikhianati.
Suasana diskusi, yang sebagian besar aktifis dan wartawan.
Suasana diskusi.
Tarech Rasyid, seorang peserta diskusi, yang aktifitasnya terekam dalam buku Indonesia Dikhianati tersebut.
Diposting oleh T. Wijaya di 09.57 0 komentar
Diskusi Buku INDONESIA DIKHIANATI
Sutrisman Dinah, moderator diskusi terbatas tentang buku Indonesia Dikhianati yang digelar harian Sriwijaya Post, Rabu (24/12/2008), di Horison, Jalan Angkatan 45, Palembang.
Para peserta diskusi buku Indonesia Dikhianati.
Aziz Kamis, seorang peserta diskusi juga menyatakan hal yang sama seperti Bambang Hariyanto, SH. Dia merasa keberatan dengan pernyatan Collins dalam buku tersebut.
Bambang Hariyanto, SH, seorang pengacara, yang ikut diskusi. Saat diskusi Bambang menyatakan keberatan dengan sejumlah data yang disodorkan dalam buku Indonesia Dikhianati, dan dia berencana melakukan upaya hukum.
Hadi Prayogo, Pimred Harian Sriwijaya Post, saat membuka diskusi buku Indonesia Dikhianati karya Elizabeth Collins dari Ohio University, Rabu (24/12/2008).
Diposting oleh T. Wijaya di 09.37 0 komentar
Cerpen "Pelangi Nusantara" Sigid Widagdo
INI cerpen karya Sigid Widagdo yang berjudul "Pelangi Nusantara". Cerpen pemenang ketiga dalam JILFest 2008. Sigid merupakan generasi baru cerpenis di Palembang. Menyimak cerpennya, kita menemukan gaya realis, yang mana sudah kita jarang temukan dari para cerpenis muda saat ini. Inilah cerpen tersebut:
Pelangi Nusantara
Cerpen Sigid Widagdo
Tar... ter... tor... ter... dor..., suara petasan bersahut sahut. Ratusan petasan yang diikat memanjang di batang rambutan itu sumbunya mulai terbakar satu persatu, lalu meledak mengeluarkan suara keras bertepatan dengan pecahnya gulungan kertas pembungkus bubuk mesiu, menjadi ribuan serpih yang melayang bertebaran di udara kemudian berserak jatuh ke tanah. Minggu pagi, pada satu perkampungan padat di Bintaro pinggiran Jakarta Selatan, pecah seketika, pertanda pesta pernikahan segera dimulai.
Lamat-lamat bebunyian lain muncul dari ujung jalan. Suara gendang kayu ditabuh seperti mengiringi pencak silat meliukkan jurusnya. Kenongan seng dipukul layaknya pertunjukan lenong sedang berlangsung. Tekyan yang digesek mengeluarkan suara ratapan gembira gadis negeri tirai bambu. Dan walau tidak ada balatentara kompeni yang berbaris pada upacara kenegaraannya, suara trombon dan terompet yang ditiup juga terdengar. Sebuah kolaborasi musik yang tersajikan instrumental, perpaduan Gambang Kromong dan Tanjidor, dengan dua boneka besar sebagai dirigennya.
Dua boneka besar itu setinggi dua kali tinggi orang Indonesia kebanyakan. Badannya sangat besar, pelukan dua orang dewasa belum sanggup merangkul seluruh lingkar perut boneka itu. Di kepalanya mengenakan kedok, yang satu berwarna merah dengan mata melotot dan kumis tebal, yang satunya lagi berwarna putih matanya lebih sipit dan lentik. Rambutnya dibuat dari ijuk berhias bunga kelapa, tegak-tegak berdiri tak bergeming diterpa angin. Baju dan selendang di bahunya berwarna cerah mencolok. Dan sarung berwarna gelap bermotif batik menutupi bagian bawahnya. Di daerah lain juga terdapat boneka seperti itu. Kami menyebutnya ondel-ondel. Melenggok kiri kanan, menjadi bintang tamu dalam arak-arakan.
Bintang utamanya Sang Pangeran yang ditunggu itu, Tan Liong San, yang bisa dipanggil A Liong, mengenakan baju koko panjang sampai ke mata kaki berwarna merah dengan hiasan keemasan dan topi bulat merah menutupi kepala. Payung kebesaran, yang memang berukuran besar itu, mencegah sinar matahari menyentuh tubuhnya. Matanya yang sipit serta melihat perawakan, penampilan, apalagi namanya itu, semua orang tahu Sang Pangeran adalah orang Tionghoa. Ia berjalan pelahan di tengah arak-arakan dengan puluhan orang mendampinginya.
Pertunjukan ini jadi tontonan langka yang takkan terlupakan untuk orang kampung metropolitan. Banyak juga yang baru pertama kali menyaksikan. Anak-anak berjingkrakan lari-lari kecil menggoda ondel-ondel.
Cing Nawi sudah siap sedari tadi di halaman rumahnya menunggu arak-arakan besan datang. Ia tampak sederhana, seperti seorang pendekar tobat dan menjadi wali. Busana serba putih dengan kopiah haji, dan sandal tertutup penuh pada bagian depan yang juga berwarna putih. Ia tidak seram seperti biasanya. Kumis tebalnya tertata rapi. Kaos putih, celana tiga perempat berwarna hitam, dan ikat pinggang besar berwarna hijau, yang menjadi seragam sehari-hari, tersimpan rapi dalam kamar, bersama golok kesayangannya.
Anak ketiga Cing Nawi, Minah, tak sabar lagi menunggu Sang Pangeran datang. Dalam baju kurung berwarna merah, wajah tertutup rumbai cadar dengan rambut tersanggul berhias kembang. Dan terpenting, di dahi Minah terlukis bulan sabit merah, tanda kesucian Sang Permaisuri. Kalaupun bulan sabit ini menjadi simbol hiasan adat semata, cukuplah Sang Pangeran yang tahu.
“Assalamualaikum.” Bapak A Liong memberi salam lalu menyalami Cing Nawi.
“Waalaikumsalam.” Cing Nawi bergegas mengucap salam seraya mempersilakan rombongan masuk.
A Liong segera mempertemukan kedua belah telapak tangannya, menjulurkan kepada Cing Nawi sambil membungkukkan badan dan menundukkan kepala. Sang Pangeran siap dinobatkan sebagai raja sehari dengan penyematan tahtanya, Ratu Minah, oleh Cing Nawi yang berwenang.
Kesunguhan cinta A Liong dan Minah meruntuhkan perbedaan etnis dan agama. Apalagi sekedar gunjingan orang. Kedua manusia dimabuk cinta ini malah mempersatukannya dengan indah. Prosesi dilakukan seadanya, tidak serumit pakemnya. Raja dan ratu sehari sudah duduk disinggasana.
Teras dan halaman rumah yang dipenuhi bangku dengan penutup tenda mulai terisi. Cing Nawi masih sibuk menyambut tamu undangan. Banyak juga saudara kandungnya yang sudah jadi orang udik datang dari luar kota. Para tetangga pun kondangan. Mas Paijo mengenakan batik dengan belangkon di kepala datang lebih dulu.
“Ora bawa keris, Mas ?” canda Cing Nawi menyalami Mas Paijo dengan tangan kiri merangkul ke pinggang belakang.
“Lupa Bang. Loh … golok Abang mana?” Balas Mas Paijo dengan logat Jawa totok sambil tertawa kecil.
Badaruddin datang menggandeng istrinya yang mengenakan baju kurung dengan sarung bertenun songket. Situmorang tampak mengenakan selendang ulos. Beberapa tamu lainnya mengunakan baju adat masing-masing. Ada juga yang menggunakan baju muslim dan jas tanpa dasi. Anak-anak muda banyak juga yang menggunakan kemeja dan celana jin. Tidak sedikit yang datang seperti pendekar Betawi, tentu tanpa golok. Juga datang Koh Tao mengenakan baju koko berwarna merah terang dengan topi bulat yang juga berwana merah.
“Haya... lu undang orang dari seluruh Indonesia,” sapa Koh Tao menyalami Cing Nawi melihat tamu undangan yang mengenakan pakaian adat beragam yang memenuhi bangku di bawah tenda itu.
“Pan dari Cina juga aye undang. Sebentar lagi dateng juga saudara aye yang pake seragam kompeni,” canda Cing Nawi bersemangat merasa himbauan yang disebar bersama undangan, harap tidak membawa bingkisan dan mengenakan pakaian adat masing-masing, ternyata berhasil.
Cing Nawi memang dikenal sebagai pencinta budaya Betawi. Ondel-ondel dan perangkat alat musik yang meramaikan pesta adalah miliknya. Kebanyakan ia buat sendiri. Sering kali mulutnya nyerocos marah kepada anak-anaknya yang tidak perduli kepada budaya sendiri. Jadinya kebanyakan pemain musik bukan orang Betawi asli. Dan orang di dalam ondel-ondel itu, ia temukan di pasar sedang memanggul karung, yang tidak tahu dirinya beretnis apa. Orang Indonesia, katanya.
Raja dan ratu sehari sudah mulai pegal duduk berdampingan di singgasananya. Satu persatu undangan pamit menyalami Cing Nawi. Seseorang lelaki berjas hitam dengan kemeja putih lengan panjang di dalamnya menyalaminya sambil berbisik, “Kalau tanah bapak mau dijual, hubungi saya,” lelaki itu lalu pergi meninggalkan sebuah amplop di tangan Cing Nawi. Bisikan itu langsung bersemayam di benak Cing Nawi. Di tengah pesta ini, risau Cing Nawi yang lama tersimpan kembali terusik.
Saat Minah masih sekolah dasar. Kebun rambutan milik Cing Nawi dijual. Batang rambutan dibabat dan didirikan perumahan. Rumah setengah gedek bambu yang berada di tengah kebun itu pun dibongkar. Sebagai gantinya, Cing Nawi membangun rumah yang lebih besar tanpa gedek bambu sedikitpun di atas tanah yang dibelinya di pinggiran kota.
Dan setelah rumah Cing Nawi selesai dibangun, ia berniat kawin lagi. Cekcok besar dengan istrinya, Munah, terjadi. Dua anaknya yang paling besar malah mengeruhkan suasana, minta ini dan itu serasa harta hasil menjual kebun rambutan tidak akan pernah habis. Cekcok besar ditinggalnya pergi, Cing Nawi mengajak Munah menunaikan ibadah ke tanah suci. Sepulang naik haji, Cing Nawi membangun kontrakan dua pintu di sisa halaman rumahnya.
Dan pesta perkawinan anaknya yang ketiga ini diharapkan memperpanjang nafas dari tetes terakhir sisa harta hasil jual kebun rambutan yang dijadikan komplek perumahan itu. Banyak anak banyak rejeki, kiranya Cing Nawi mulai goyang kepedeannya dengan semboyan lama itu. Mungkin lebih tepatnya kali ini, banyak undangan banyak rejeki.
Walau tak sedikitpun terbersit di wajah, apalagi saat pesta pernikahan ini, Cing Nawi mulai risau memikirkan empat adik Minah yang masih sekolah, berikut kebutuhan tiga cucunya yang kadang masih disponsorinya.
Ia menyadari. Tidak hanya kebun rambutannya yang kini menjadi komplek perumahan. Daerah yang dulu dipenuhi kebun jeruk telah menjelma menjadi hutan beton bertingkat, kumpulan menara pencakar langit. Jembatan bukan hanya untuk menyebrang sungai, berangsur kota ini membuat jembatan yang melintas diatas jalan, bahkan diatasnya lagi, dan lagi.
Hutan-hutan kayu, jati, aren, dan lainnya, tinggalah menjadi sebuah nama daerah yang biasa diteriakkan kernet bis kota. Kota ini tidak pernah tidur, sibuk memperbesar diri, mempercantik, atau lebih tepatnya mempertahankan diri dari serbuan orang yang sedari dulu berdatangan menggapai mimpi.
Kebun rambutan dan hasil tanaman lain yang dulu menjadi andalan penghidupan tinggal kenangan. Kalaupun mau bertanam lagi, paling sebatas hobi. Jurus terobosan baru dengan membangun kontrakan tidak juga ampuh, semenjak anak pertama dan keduanya berkeluarga dan menempatinya. Orang bilang, ondel-ondel sudah tidak zamannya lagi. Jawara seperti Si Pitung pun bisa nganggur di kota ini.
Sudah banyak saudara-saudara sekandungnya terpental ke luar Kota Jakarta. Lantaran menjual tanah atau ada juga yang tergusur proyek pembangunan, dan kembali membeli tanah yang lebih murah di luar kota untuk menetap, lalu menjualnya lagi, dan pindah lagi. Tidak hanya sampai pingiran kota. Bahkan ada yang terpental sampai pinggiran kota lain, tetangga kota ini.
Kerisauaan Cing Nawi tidak membuat gengsinya menciut. Pernikahan anaknya yang banyak mengundang protes itu malah di buat semeriah mungkin. Jauh dari bayangan keluarga besan sekalipun. Tidak cukup banyak undangan banyak rejeki, penting juga agar tidak kehilangan gengsi, sekalian promosi ondel-ondel agar tidak mati.
***
Ancur Minah. Baru enam bulan berlalu setelah pernikahan itu, perut Minah sudah besar menunggu hitungan menit mungkin jam untuk melahirkan. Saat mentari baru saja menutup mata, Minah yang tinggal di rumah utama babehnya serasa tak sanggup menahan bayi dalam kandungan.
Bidan terdekat dipanggil. Munah tidak meninggalkan anaknya barang sedetikpun. Munah tidak perduli kata orang, usia kandungan anaknya lebih tua dari masa pernikahan. A Liong mondar mandir di teras rumah. Dua orang Abang Minah berikut keluarga dan adik-adiknya ikut heboh. Dua orang tukang dukung ondel-ondel yang tinggal tidak jauh dari rumah Cing Nawi tidak ketinggalan, nongkrong di teras siap membantu jika diperlukan.
“Dasar anak kota,” Cing Nawi tampak kesal geleng-geleng kepala berjalan menuju teras, “Sini loe semuanye !” lalu duduk di kursi bambu.
Anak-anak, mantu, dan juga cucu-cucunya berkumpul di teras. Siapa yang berani menolak panggilan murka mantan jawara Betawi. Tinggalah Bidan, Munah, dan Minah yang sedang mengerang kesakitan, bersama bayi dalam kandungan, yang tidak ikut konvensi dadakan di teras depan. Tukang dukung ondel-ondel memang sudah sedari tadi nongkrong di situ, otomatis jadi peserta konvensi.
“Pan gua udah omongin dari dulu, Lu pade kagak mau dengerin omongan gue.”
Kerisauaan Cing Nawi yang sudah lama mengendap dalam otaknya berkecamuk tidak terkendali. Soal kebun rambutan yang sudah terjual, soal anak-anak yang tidak menghargai budayanya sendiri, dan orang Betawi lainnya yang terlempar jauh ke luar kota, dan sekarang cucu keempatnya akan lahir melangkahi moral waktu yang telah terbentuk lama oleh leluhurnya. Bulan sabit merah di dahi Minah saat menikah hanya menjadi budaya sandiwara, kebohongan semata. Semua soal dalam benak Cing Nawi terangkai tak beraturan menjadi satu, kecamuk itu sedang puncaknya, meminta jawab.
“Ini memang Jakarta bukan Betawi lagi. Tapi lu-lu pade kudu menghargai budaye.” Cing Nawi mengawali orasinya tanpa sanggah sedikitpun. Hingga hampir seperti berbicara sendiri. Seperti ini kiranya :
Budaya itu pegangan hidup agar tidak mudah tersesat, agar kita tidak tergelincir dari moral dan etika serta indahnya ajaran agama. Betawi boleh berubah, kebun dan hutan telah menemui ajalnya, langit-langit Jakarta boleh saja koyak tercakar tingginya manara, tapi budaya tidak boleh mati.
“Jangan lu pikir budaye hanya manggul ondel-ondel. Mau lu, gua masukin museum ?” Mata Cing Nawi melotot dengan tangan menujuk kepada seluruh anak-anak dan mantunya.
Tukang panggul ondel-ondel yang tidak kena tunjuk malah terkejut. Tidak terlalu mengikuti orasi Cing Nawi, kok tahu-tahu ingin dimasukkan ke museum. Mendengar Cing Nawi sering menyebut ondel-ondel, tukang panggul ondel-ondel mulai konsentrasi. Cing Nawi semakin tidak terbendung melanjutkan:
Ondel-ondel boleh saja berlenggok di istana menyambut tamu kehormatan atau berlenggok sesuka hati saat ulang tahun Jakarta. Bahkan kalau disimpan di seluruh museum yang ada di kota ini juga tidak apa. Namun jangan sampai sejarah, nilai moral dan etika yang terkadung didalamnnya ikut tersimpan di museum. Jadilah kota ini tempat ondel-ondel bisa bergaul dengan wayang kulit, golek, dan orang. Boleh juga bercengkrama dengan barongsai, bahkan dengan sincan dan donal bebek sekalipun.
“Kalo sampe semuanye tinggal di museum, Jakarta bakal ancur.”
Cing Nawi belum selesai : Jika tidak ada lagi moral dan etika yang tersisa dari budaya, Jakarta akan menjadi hutan belantara. Tidak cukup hutan beton menara, jalan melintang-lintang di atas jalan, bahkan seluruh lampu di kota ini yang telah mengalahkan pesona bintang di waktu malam, belum cukup kuat mempertahankan keberadaan kota tanpa budaya leluhur.
Tangis bayi menginterupsi orasi Cing Nawi. Peserta konvensi bubar seketika. A Liong lari lebih dulu masuk ke kamar Minah. Cing Nawi masih duduk di bangku bambu di teras rumahnya.
A Liong kembali ke teras mengabari, “Syukur, Beh. Ganteng kaya Engkongnya.” Lalu menyalami mertuanya, dengan hormat persis saat ia menjadi Sang Pangeran yang memohon restu kepada Cing Nawi agar dinobatkan menjadi raja sehari.
“Nah, lu kayaknya udah mulai ngerti yang gua omongin tadi.”
A Liong dengan wajah penuh syukur masih berdiri disebelah Cing Nawi.
“Gua kasih nama anak loe, Nursan.”
Risau Cing Nawi yang memuncak kecamuknya mulai redam bersama tangis Nursan. Cing Nawi menutup orasinya, yang lebih mirip seperti doa penuh kebaikan : Nursan artinya cahaya nusantara. Agar semua anak tidak melupakan budaya leluhurnya saat dewasa. Ingat akan cahaya asalnya, berbaur dengan cahaya lainnya, melahirkan warna yang membias mewarna-warni, menjadi pelangi. Dan pelangi nusantara itu adalah Jakarta.
Biarkan pelangi itu menunjukan keindahan warna-warninya. Jangan sampai hilang barang satu warna. Kalau sampai Jakarta ini hilang warna-warninya. Ia akan lupa dirinya sendiri. Lalu membias sampai seluruh nusantara, yang juga akan lupa akan jati dirinya. Seketika itu, ia akan hancur. Namun tidak hari ini, juga berabad lagi. Jakarta tetap menjadi pelangi nusantara.
Tengah malam menjelang, tangis Nursan masih terdengar, membawa harapan baru.
Palembang, awal November 2008
Diposting oleh T. Wijaya di 08.54 4 komentar
Label: JILFest 2008
Jumat, 12 Desember 2008
Sekilas Puisi Menandai Internet
Oleh T.WIJAYA
SAYA akan mengatakan, meskipun dunia dipenuhi makanan instan, politikus busuk, peperangan, penyakit mematikan, orang-orang yang bunuh diri, beragam bentuk sepatu, jutaan aroma parfum, menumpuknya utang negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, miliaran manusia menikah sesama jenis atau berlainan jenis, triliunan mobil dan sepeda motor dibuat, atau jutaan buruh dipecat dan jutaan petani kehilangan lahan, puisi tetap hidup. Puisi tetap lahir, hadir, walaupun kita tidak tahu di mana sebenarnya puisi-puisi itu diciptakan. Apakah lahir dari keliaran hati dan pikiran seorang penyair, atau dia memang ada sebelum manusia ada? Dia tumbuh di daun, berdiam di dalam batu, menggeliat di dalam air, menari di bungkus mi instan, batuk-batuk di bungkus rokok, bersenandung di alkitab, membelai dan menghentak bersama angin, membakar bersama matahari. Entahlah. Mungkin, kira-kira puisi selalu bersuara bersama bayangan Tuhan, yang saya percayai.
Mengapa saya mengatakan kalimat-kalimat yang mungkin terkesan meledak itu? Tak lain lantaran saya mengarungi sebuah lautan puisi di dunia internet. Saya geger budaya. Ya, memasuki wilayah atau negara baru yang 20 tahun lalu tidak terbayangkan. Berkenalan dengan banyak puisi bersama wajah, suara, bahasa, dari manusia yang menyampaikannya.
Website youtube atau dengan alamat www.youtube.com, memberikan suatu rumah yang begitu luas. Begitu juga halnya blog dengan alamat www.blogger.com, facebook atau www.facebook, multiply atau www.multiply.com, dan sebagainya.
Siapa pun penyair atau penikmat puisi dapat membuat kamarnya. Berekspresi sebebasnya, meskipun ada batasan etika, misalnya, jangan bersikap rasis atau mengundang dan mengajak berbuat kejahatan kemanusiaan.
Nah, di dunia internet itu miliaran puisi bertaburan. Mereka melintasi benua, berseliweran di kabel telepon, menembus badai, gempa bumi, seakan bersaing dengan mimpi-mimpi dan keinginan manusia.
Puisi Digital
SETAHUN belakangan ini, saya banyak memberikan waktu buat mengarungi youtube. Saya menyukai website ini lantaran dia menghadirkan puisi secara visual. Saya sebut puisi digital. Baik berupa video kreatif, live pembacaan puisi di panggung, di kamar, di jalan, di pasar, hingga animasi.
Berdasarkan data channel puisi di youtube yang saya temukan—mungkin akurasinya tidak lemah dan bisa bertambah atau berkurang saat ini—terdapat lebih kurang 421 channel puisi!
Channel puisi ini baik dikelola seorang penyair, organisasi, atau seorang remaja yang senang menulis puisi. Mulai dari www.youtube.com/user/badboypoet hingga www.youtube.com/user/ashaj45.
Menariknya, channel-channel tersebut saling berkomunikasi dan berbagi karya. Mereka berteman begitu saja dengan latar belakang budaya dan wilayah yang ribuan mil jauhnya. Pertemanan mereka tidak dibatasi agama, etnis, apalagi ideology.
Apa yang menarik dari puisi-puisi pada channel mereka? Tentu saja semua puisi ditampilkan dalam bentuk video, sebab youtube merupakan negara video terbesar dan terpopuler saat ini.
Di youtube, tampaknya seorang penyair tidak hanya dituntut pandai menulis, dia juga harus mampu memvisualkan karyanya—sekreatif mungkin—dalam sebuah video. Dampaknya setiap saat youtube menjadi ruang pertunjukkan puisi yang dapat dinikmati siapa pun di dunia ini. Mereka menyaksikannya secara gratis, di mana pun tempat, dan waktunya dapat ditentukan sendiri.
Anda akan menemukan puisi Four Quartets karyaT.S. Eliot yang dibacakan seorang nenek menyebutkan dirinya Ida (80) di channel www.youtube.com/user/Idlinfarm, lalu para penyair yang sekian abad lalu sudah mati, seperti Edgar Allan Poe, Gerard Manley, Alfred Lord, Walt Whitman, Ezra Pound, Zinaida Gippius, Dante Gabriel Rosseti, James Weldon, di youtube kembali hidup lalu membacakan puisinya di channel www.youtube.com/user/poetryanimations, puisi-puisi yang dalam film animasi pada www.youtube.com/user/akatashii, mendengarkan aktor Robert Gray menyenandungkan “Swarthy as oilcloth and as squat. as Sancho Panza. wearing a beret's little stalk. the pear…” atau artinya saya terjemahkan bebas menjadi: “Berkulit hitam sama taplak berlapis minyak dan seperti, berjongkok, seperti Sancho Panza, memakai suatu stalk kabaret yang kecil , buah per…” dari puisinya berjudul A Bowl of Pears di www.youtube.com/user/poetryinternational, hingga kita dapat mendengarkan puisi yang di-Rap-kan dalam banyak channel, contohnya channel www.youtube.com/user/PoeM1988. Sedikit promosi, jika Anda buat mencarinya di internet, Anda cukup mengklik blog saya www.sajakdigital.blogspot.com. Di sana Anda menemukan 113 channel puisi yang ada di youtube.
Masih Asing
Tetapi, yang mengejutkan, ternyata sulit sekali menemukan puisi digital atau video puisi para penyair Indonesia. Baik yang sudah meninggal dunia maupun yang masih hidup. Saya beruntung menemukan puisi Aku dan Tuhanku karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dibacakan Dian Sastrowardoyo dalam acara 100 tahun STA. Untungnya juga penyair seperti Chairil Anwar, Sutardji Calsoum Bahri atau WS Rendra banyak ditemukan.
Saya tidak tahu kenapa hal ini terjadi. Padahal bila ditelisik dari perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, penyair selalu di depan. Katakanlah, pada saat masyarakat Indonesia butuh hurup latin, penyairlah yang lebih dulu pandai membaca dan menulis, begitupun soal tradisi mencetak buku.
Memang, saya nyaris menemukan para penyair di Indonesia dalam sebuah blog. Tetapi, saya merasakan itu semacam pemindahan ruang baca, dari media cetak, buku, ke dunia internet. Artinya, dapat dikatakan para penyair di Indonesia masih percaya puisi adalah bahasa tulis, bukan bagian dari sebuah proses penandaan dengan menggunakan berbagai bahasa lain, seperti bunyi dan rupa.
Terlepas soal perdebatan mengenai media puisi, saya melihat fenomena puisi digital yang mulai membooming sejak 2006 atau 2007 lalu di berbagai belahan dunia, merupakan media yang cukup efektif dan artistic dalam membangun komunikasi dengan mayarakat pecinta puisi di dunia.
Apalagi saat ini, dunia video bukan merupakan sesuatu yang mahal atau mewah. Tiap computer kini memiliki program pengolahan video, alat perekam gambar bukan hanya tergantung pada kamera yang harganya jutaan rupiah seperti dimiliki stasion televisi, sebab sebuah handphone yang harganya ratusan ribu kini sudah dapat memotret dan merekam gambar. Lalu, ribuan jaringan internet, baik di warung internet atau di rumah, siap dikunjungi.
Jelasnya, saya merasakan penyair hari ini dituntut seperti di awal abad masehi, yang mampu menampilkan puisi dalam beragam penandaan, atau seperti kita mendengarkan senandung puisi di sebuah dusun di kaki Bukitbarisan.
Namun, ada satu hal yang harus diingat sebelum menggunakan internet. Dunia internet juga memiliki etikanya. Semangat internet adalah semangat berbagi sebagai sikap kritis atas dominasi informasi yang selama ini dimainkan pemerintah, humanis, individualistic, dan tidak rasis. Pengguna internet yang baik yakni memberikan ruang bagi banyak orang. Bila egois, niscaya dia akan kesepian dalamt pergaulan, tak ada yang mau ke rumah kita seandainya tamu yang sedikit atau cenderung memilih.
Selain itu, saya ulangi lagi, etika tetap dijaga. Yang cukup mengejutkan saya—kecuali blog atau situs khusus porno—di dunia barat yang selama ini dipercaya sangat “bebas” ternyata mereka sangat menjunjung etika. Gambar-gambar yang ditampilkan jauh lebih sopan, atau tidak mengekspos pornografi atau “seks” dalam pengertian pribadi. Bila ada yang berbau porno, itu semata berkarakter natural, sebab ditampilkan sangat hati-hati. Bagaimana tidak, bila itu dilanggar alamat mereka akan dihapus—terutama yang gratisan—dan akan diasingkan para pengguna internet lainnya.
Jadi, mempertegas pernyataan saya di awal tulisan ini, sebenarnya tak ada kuburan bagi puisi. Ketika penyair kehilangan pena dan kertas, media cetak, gedung kesenian, mesin cetak, kebebasan berekspresi, internet menjadi kebun bunga, lapangan sepakbola, atau negara yang lebih luas dan bebas. [*]
Diposting oleh T. Wijaya di 12.18 3 komentar
Minggu, 07 Desember 2008
Jumat, 05 Desember 2008
DKSS Persiapan Renstra Pembangunan Humaniora
GUNA mewujudkan manusia Sumatra Selatan ke depan yang lebih sehat dan cerdas, menurut Dewan Kesenian Sumatra Selatan, dibutuhkan strategi pembangunan humaniora. Bukan semata pembangunan fisik atau sarana dan prasarana.
“Kami telah menyusun sebuah renstra yang akan digunakan dalam kepengurusan DKSS periode 2009-2014 mendatang,” kata Z.A. Narasinga, sesuai rapat persiapan musyawarah seniman Sumsel pada akhir Januari 2009, di sekretariat Dewan Kesenian Sumsel, Jalan Amri Yahya Palembang, Jumat (05/12/2008).
Supriyadi, Z.A. Narasinga, Didik Kamil
Dijelaskan Narasinga, selama kepengurusan DKSS selama lima tahun itu, ditargetkan berdirinya sebuah perguruan tinggi seni di Sumatra Selatan. Selain itu, lahirnya sebuah landasan hukum dalam pembangunan seni dan budaya di Sumsel dalam bentuk peraturan daerah. “Kita juga berharap adanya penambahan fasilitas seni dan budaya, serta penguatan sumber daya manusia seni dan budaya seperti dalam bentuk pelatihan dan bea siswa pendidikan,” katanya.
Pernyataan Narasinga ini dipertegas oleh pekerja seni Didik Kamil. “Kita sudah terlambat sekian puluhan tahun dari daerah lain di Indonesia. Sekian abad dari negara-negara luar. Kini saatnya kita memperbaiki atau menyempurnakan semua kebijakan pemerintah. Program Sumsel sehat dan cerdas merupakan peluang guna melaksanakan pembangunan humaniora,” kata Didik.
Sedangkan Supriyadi, seorang dosen dari Universitas Sriwijaya mengatakan DKSS ke depan juga akan mendorong perguruan tinggi di Sumatra Selatan untuk meningkatkan pemberian pendidikan di bidang kebudayaan. “Misalnya Unsri sudah sepantasnya membuka fakultas sastra atau fakultas kebudayaan,” katanya.
Lalu, di tingkat pendidikan dasar, kurikulum sudah harus dimasuki dengan muatan budaya lokal.
Z.A.Narasinga
Didik Kamil
Musyawarah Budayawan
Pada akhir Januari 2008, selain digelar pesta seni, kemah seniman, musyawarah seniman, juga dilangsungkan musyawarah budayawan. “Semua menampung semua pekerja seni dan budaya di Sumsel. Mulai dari pekerja seni, pekerja budaya, dan aktifis seni dan budaya. Dari pentas seni, pameran, hingga berdiskusi, dan merumuskan berbagai rekomendasi pembangunan kebudayaan Sumsel ke depan,” kata Narasinga.
Diposting oleh T. Wijaya di 07.12 0 komentar
Selasa, 02 Desember 2008
Boy Legend From Musi River
Oleh T. WIJAYA
PADA zaman dahulu. Abad 20 Masehi. Hiduplah seorang lelaki, berhidung mancung, beralis tebal, berkumis dan berjanggut tipis, tubuh agak tambun, berambut ikal panjang sebahu, dan paling senang makan masakan pindang. Dari pindang tulang sapi hingga pindang kepala ikan patin. Dia bukan anak seorang raja, bukan pula anak seorang petani. Dia anak seorang pegawai sebuah perusahaan pengolahan minyak bumi di Plaju, Palembang.
Sore itu, dia bercerita; puluhan tahun lalu, saat dia masih kanak-kanak, tiap sore atau malam setelah mengaji dan belajar, buyutnya banyak bercerita tentang legenda-legenda yang berkembang di masyarakat Palembang, khususnya di sepanjang tepian sungai Musi.
Dia juga bercerita saat itu mudah sekali mencari ikan di sungai Musi. “Kita biso mancing iwak selontok dari cela-cela papan lantai rumah,” katanya. Sementara sekarang, lanjutnya, mancing semalaman, sulit sekali mendapatkan ikan juaro seberat 1 kilogram. Saya manggut-manggut; setuju. “Padahal kotoran manusia yang dibuang ke sungi Musi, kian hari kian bertambah. Logikanya iwak juaro seharusnya cepet beranak dan cepet besak, ,” kata saya. Dia tertawa.
“Awak pecak tau nian iwak juaro senang makan itu...?”
“Aku nih jugo wong plembang. Lahir di tepi sungi Musi,” jawab saya dengan membusungkan dada.
“Awak pacak manjat?”
“Idak.”
“Pacak berenang?”
“Idak jugo.”
“Dak jelas awak nih. Kalu wong sungi pasti pacak berenang, kalau wong darat pasti pacak manjat pohon. Awak nih dak jelas nian. Lahir di sungi tapi dak pacak berenang.”
Saya terdiam. Dia cengar-cengir.
Sekian detik kemudian ujung bibirnya menurun. “Aku kangen dengan masa kecilku. Aku juga kangen dengan dongeng, legenda, yang diceritakan buyutku. Aku pengen nulisnyo,” katanya.
Saya terus diam, sebab masa kecil saya dipenuhi kisah petualangan Batman, Superman, atau Bobo. Kalau saya kangen dengan masa kecil, saya cukup membuka buku-buku cerita milik anak saya.
“Pecak mano kalu cerito-cerito buyut awak tuh diterbitkan dalam buku. Rasonya belum ado buku kumpulan cerito pecak itu. Sementara wong tuo sudah sedikit yang seneng bercerito pecak buyut awak tu,” kata saya.
“Setuju nian aku. Bagus nian ide awak tu.”
19 tahun lalu. Lelaki itu selalu berpenampilan seperti seorang bule dari Texas, Amerika Serikat. Bercelana blue jeans. Rambut disisir rapi ke belakang, bergaya Elvis Presley. Mengenakan sepatu dan tali pinggang dari kulit buaya. Berkaos ketat. Mengenakan jaket, juga dari kulit, berwarna hitam atau coklat susu. Pokoknya dia selalu tampil necis bila berkumpul dengan teman-teman pekerja seni.
“Oi borjuis! Jangan awak sering ngumpul di sini,” kata saya.
Dia bergegas mendekati saya. “Yo, kalu awak ploletar.”
“Indonesia sekarang nih miskin. Jadi jangan awak banyak gaya.”
“Apo wong miskin dan susah tidak boleh bergaya?” tanyanya.
“Yo. Sebab itu tidak mencerminkan jiwo perlawanan.”
Dia pergi, “Dasar gilo.”
12 tahun kemudian. Dia tetap tampil penuh gaya. Bedanya, rambutnya panjang. Tapi, mungkin karena ikal dan sedikit botak, rambutnya sering disisir ke belakang dan diikat ujungnya.
“Bagus nian jaket awak, nih,” katanya, mengomentari jaket hitam yang sangat kenakan.
“Apo wong miskin dak boleh bergaya?”
Kami tertawa. Kami wong miskin yang sadar dengan gaya.
“Kalu di surga kagek Allah pasti mewajibkan kito tampil penuh gaya, dan aroma tubuh wangi. Sebab mano ado bidadari di surga seneng dengan kito kalu tampil kayak Chairil Anwar. Kurus, kumel, dan bau.” Saya membuat kesimpulan. Dia tersenyum. Dipegangnya buku novel saya yang baru diterbitkan saat itu, Juaro.
1 Desember 2008, dia datang ke rumah saya. Dia memberikan saya sebuah buku yang baru ditulisnya, dan diproduksi oleh Dinas Pendidikan Sumatra Selatan. Judulnya Legenda Tepian Musi. Buku ini berisi 7 cerita legenda yang berkembang pada masyarakat di tepian sungai Musi. Baik yang berkembang pada masyarakat di Palembang maupun di daerah pedalaman.
“Buku ini katek yang salah. 100 persen bener. Menjawab kegalauanku pada novel Juaro dan Buntung. Ngapo? Sebab buku awak nih ngidupke buyut kito yang pinter dan arif.”
Dia tersenyum. Tak lama kemudian bersama seorang teman dia keluar rumah. Setengah jam kemudian dia muncul. Dia baru saja difoto.
Sebuah foto memberi satu fakta yang membuat saya terkejut. Foto dia tengah manjat pohon kelapa. Ternyata, sebagai seorang manusia yang dilahirkan di tepi sungai Musi, dia dapat manjat pohon kelapa. Tapi, pohon yang paling sering dipanjatnya saat kanak-kanak ternyata pohon nangka.
PADA zaman sekarang. Abad 21. Lelaki itu terus hidup. Namanya Yudhy Syarofie. Dia terus menulis dan berkisah kepada kita. Maka, baca dan bersenanglah kita dengan buku Legenda Tepian Musi ini agar kita dapat manjat pohon dan berenang, meskipun di buku ini tidak ada legenda tentang lelaki yang tidak dapat berenang dan manjat pohon seperti saya.
*]
Diposting oleh T. Wijaya di 11.58 1 komentar