Selasa, 02 Desember 2008

Boy Legend From Musi River

Oleh T. WIJAYA

PADA zaman dahulu. Abad 20 Masehi. Hiduplah seorang lelaki, berhidung mancung, beralis tebal, berkumis dan berjanggut tipis, tubuh agak tambun, berambut ikal panjang sebahu, dan paling senang makan masakan pindang. Dari pindang tulang sapi hingga pindang kepala ikan patin. Dia bukan anak seorang raja, bukan pula anak seorang petani. Dia anak seorang pegawai sebuah perusahaan pengolahan minyak bumi di Plaju, Palembang.
Sore itu, dia bercerita; puluhan tahun lalu, saat dia masih kanak-kanak, tiap sore atau malam setelah mengaji dan belajar, buyutnya banyak bercerita tentang legenda-legenda yang berkembang di masyarakat Palembang, khususnya di sepanjang tepian sungai Musi.
Dia juga bercerita saat itu mudah sekali mencari ikan di sungai Musi. “Kita biso mancing iwak selontok dari cela-cela papan lantai rumah,” katanya. Sementara sekarang, lanjutnya, mancing semalaman, sulit sekali mendapatkan ikan juaro seberat 1 kilogram. Saya manggut-manggut; setuju. “Padahal kotoran manusia yang dibuang ke sungi Musi, kian hari kian bertambah. Logikanya iwak juaro seharusnya cepet beranak dan cepet besak, ,” kata saya. Dia tertawa.
“Awak pecak tau nian iwak juaro senang makan itu...?”
“Aku nih jugo wong plembang. Lahir di tepi sungi Musi,” jawab saya dengan membusungkan dada.
“Awak pacak manjat?”
“Idak.”
“Pacak berenang?”
“Idak jugo.”
“Dak jelas awak nih. Kalu wong sungi pasti pacak berenang, kalau wong darat pasti pacak manjat pohon. Awak nih dak jelas nian. Lahir di sungi tapi dak pacak berenang.”
Saya terdiam. Dia cengar-cengir.
Sekian detik kemudian ujung bibirnya menurun. “Aku kangen dengan masa kecilku. Aku juga kangen dengan dongeng, legenda, yang diceritakan buyutku. Aku pengen nulisnyo,” katanya.
Saya terus diam, sebab masa kecil saya dipenuhi kisah petualangan Batman, Superman, atau Bobo. Kalau saya kangen dengan masa kecil, saya cukup membuka buku-buku cerita milik anak saya.
“Pecak mano kalu cerito-cerito buyut awak tuh diterbitkan dalam buku. Rasonya belum ado buku kumpulan cerito pecak itu. Sementara wong tuo sudah sedikit yang seneng bercerito pecak buyut awak tu,” kata saya.
“Setuju nian aku. Bagus nian ide awak tu.”

19 tahun lalu. Lelaki itu selalu berpenampilan seperti seorang bule dari Texas, Amerika Serikat. Bercelana blue jeans. Rambut disisir rapi ke belakang, bergaya Elvis Presley. Mengenakan sepatu dan tali pinggang dari kulit buaya. Berkaos ketat. Mengenakan jaket, juga dari kulit, berwarna hitam atau coklat susu. Pokoknya dia selalu tampil necis bila berkumpul dengan teman-teman pekerja seni.
“Oi borjuis! Jangan awak sering ngumpul di sini,” kata saya.
Dia bergegas mendekati saya. “Yo, kalu awak ploletar.”
“Indonesia sekarang nih miskin. Jadi jangan awak banyak gaya.”
“Apo wong miskin dan susah tidak boleh bergaya?” tanyanya.
“Yo. Sebab itu tidak mencerminkan jiwo perlawanan.”
Dia pergi, “Dasar gilo.”
12 tahun kemudian. Dia tetap tampil penuh gaya. Bedanya, rambutnya panjang. Tapi, mungkin karena ikal dan sedikit botak, rambutnya sering disisir ke belakang dan diikat ujungnya.
“Bagus nian jaket awak, nih,” katanya, mengomentari jaket hitam yang sangat kenakan.
“Apo wong miskin dak boleh bergaya?”
Kami tertawa. Kami wong miskin yang sadar dengan gaya.
“Kalu di surga kagek Allah pasti mewajibkan kito tampil penuh gaya, dan aroma tubuh wangi. Sebab mano ado bidadari di surga seneng dengan kito kalu tampil kayak Chairil Anwar. Kurus, kumel, dan bau.” Saya membuat kesimpulan. Dia tersenyum. Dipegangnya buku novel saya yang baru diterbitkan saat itu, Juaro.

1 Desember 2008, dia datang ke rumah saya. Dia memberikan saya sebuah buku yang baru ditulisnya, dan diproduksi oleh Dinas Pendidikan Sumatra Selatan. Judulnya Legenda Tepian Musi. Buku ini berisi 7 cerita legenda yang berkembang pada masyarakat di tepian sungai Musi. Baik yang berkembang pada masyarakat di Palembang maupun di daerah pedalaman.
“Buku ini katek yang salah. 100 persen bener. Menjawab kegalauanku pada novel Juaro dan Buntung. Ngapo? Sebab buku awak nih ngidupke buyut kito yang pinter dan arif.”
Dia tersenyum. Tak lama kemudian bersama seorang teman dia keluar rumah. Setengah jam kemudian dia muncul. Dia baru saja difoto.

Sebuah foto memberi satu fakta yang membuat saya terkejut. Foto dia tengah manjat pohon kelapa. Ternyata, sebagai seorang manusia yang dilahirkan di tepi sungai Musi, dia dapat manjat pohon kelapa. Tapi, pohon yang paling sering dipanjatnya saat kanak-kanak ternyata pohon nangka.

PADA zaman sekarang. Abad 21. Lelaki itu terus hidup. Namanya Yudhy Syarofie. Dia terus menulis dan berkisah kepada kita. Maka, baca dan bersenanglah kita dengan buku Legenda Tepian Musi ini agar kita dapat manjat pohon dan berenang, meskipun di buku ini tidak ada legenda tentang lelaki yang tidak dapat berenang dan manjat pohon seperti saya.

*]

1 Comment:

Anonim said...

Best eCOGRA Sportsbook Review & Welcome Bonus 2021 - CA
Looking deccasino for an https://octcasino.com/ eCOGRA Sportsbook Bonus? 바카라 사이트 At this eCOGRA Sportsbook review, we're talking wooricasinos.info about a variety of ECCOGRA sportsbook promotions.