Oleh T. WIJAYA
DEMOKRASI yang masuk ke dalam kesadaran masyarakat Sumatra Selatan, ceritanya seperti kilat atau petir. Setelah menggantikan fasisme, demokrasi tanpa dialog nasional yang panjang langsung menyentuh wilayah kelokalan di Nusantara, termasuk di Sumatra Selatan.
Seseorang di Mekakau, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatra Selatan, yang biasanya penuh ketakutan dan tekanan saat menentukan satu sikap politik, tiba-tiba seperti orang yang baru bangun tidur, langsung diminta menentukan siapa yang akan mewakili dirinya di parlemen atau pemerintahan; apakah tetangganya, saudaranya, atau dirinya sendiri. Panik. Gagap. Tapi penuh emosi.
Jadi, tak heran, demokrasi lokal yang berlangsung di Indonesia, khususnya di Sumatra Selatan, melahirkan fragmen-fragmen yang mengenaskan, aktor-aktor yang mengejutkan. Dapat dikatakan sampai menjelang Pemilu 2009, kepanikan menyerap demokrasi itu masih berlangsung. Pertarungan antara pejuang demokrasi dan pemanfaat isu demokrasi terus berlangsung. Pada akhirnya, rakyat menjadi bingung, marah, pragmatis, hingga irasional.
Dan, yang mengejutkan, aktor atau lembaga yang semasa Soeharto berkuasa tidak pernah mengenal demokrasi secara utuh, justru hingga hari ini berada di depan dalam memanfaatkan demokrasi. Birokrat yang selama ini hidup dalam kepatuhan yang absurd, justru mampu memanfaatkan demokrasi secara baik dalam mengelola politik, ekonomi, dan sosial. Dan, mereka yang selama Soeharto berkuasa sudah sering berteriak demokrasi justru sebagian besar termarginalkan atau terkalahkan.
Salah satu kekuatan itu yakni para pekerja seni. Tepatnya, apa yang didapatkan para pekerja seni selama proses demokrasi yang berlangsung di Sumatra Selatan sejak Soeharto lengser hingga hari ini? Dapat dikatakan jauh dari harapan, apalagi bila dibandingkan dengan dampak revolusi yang berlangsung di Prancis, Amerika Serikat, termasuk di Iran dan sejumlah negara pecahan Uni Soviet.
Kebijakan
Kegagalan para pekerja seni di Sumatra Selatan memaknai demokrasi yakni ketika mereka gagal menguasai Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Mereka dikalahkan oleh sekelompok birokrat, dan pekerja seni yang kebetulan juga menjadi birokrat.
Keinginan mengubah lembaga kesenian itu menjadi sarana perjuangan, sejak 1998 hingga hari ini, menjadi sia-sia. Tak heran, lokasi Taman Budaya Sriwijaya yang berada di Jalan POM IX Palembang justru diambilalih pemilik modal, yang kemudian dijadikan lokasi hotel dan pusat perbelanjaan. Baru setelah ada desakan atau juga sebuah pemanfaatan prasarana, gedung kesenian itu diganti dengan gedung yang berada di Jakabaring, Palembang. Ironisnya, lantaran tidak memiliki dana yang cukup buat melakukan pemeliharaan, Dewan Kesenian Sumatra Selatan melepaskan gedung kesenian tersebut buat dikelola pihak pemerintah.
Kegagalan lainnya, para pekerja seni tidak mampu mendesak Dewan Kesenian Sumatra Selatan melahirkan satu pun kebijakan yang terkait dengan seni dan budaya. Sehingga tak heran, subsidi kesenian nyaris tidak ada. Tidak itu saja, berbagai program pemerintah yang berbau seni dan budaya, hampir semua keputusannya diambil oleh para birokrat. Para pekerja seni—umumnya yang juga birokrat—dilibatkan sebagai pelaksana kegiatan. Buruh kesenian.
Di luar Dewan Kesenian Sumatra Selatan, para pekerja seni juga gagal memaknai demokrasi. Ada beberapa langkah yang cukup cerdas dan memiliki potensi keberhasilan, seperti kongres seniman Sumatra Selatan yang melahirkan Majelis Seniman Sumatra Selatan (MSS). Sayang, sejak 2003, lembaga itu tidak berhasil memperjuangkan satu pun kebijakan atau menyediakan sebuah fasilitas berkesenian yang menjadi amanah konggres. Begitupun ketika sejumlah pekerja seni mampu menguasai Dewan Kesenian Palembang (DKP), yang selama tiga tahun ini, belum berhasil menelorkan satu pun kebijakan yang terkait seni dan budaya.
Keaktoran
Memanfaatkan demokrasi, juga dilakukan para pekerja seni Sumatra Selatan secara individu, yakni dengan memanfaatkan dunia politik. Sayangnya, lantaran tidak memiliki dukungan massa, ekonomi, yang kuat, mereka pun kalah dalam pertarungan "liberal". Mereka dikalahkan mantan birokrat, mantan meliter, pengusaha, aktifis organisasi massa, yang sebetulnya baru belajar berdemokrasi sejak Soeharto tumbang.
Yang lebih mengejutkan lagi, para pekerja seni yang dikenal banyak berkarya selama Soeharto berkuasa, justru menghilang. Ada beberapa alasan yang membuat mereka menghilang. Mulai dari memanfaatkan kebebasan akses ekonomi, seperti menjadi pengusaha atau profesional di bidang yang lebih menguntungkan secara finansial, hingga yang menjadi "penghubung" aktor demokrasi, atau terlindas dalam pergaulan sosial dan ekonomi, yang memang agak lebih liberal.
Fakta ini dapat dilihat minimnya frekwensi pementasan teater yang digarap secara serius, seperti yang dilakukan Teater Kembara atau Teater Potlot di masa Orde Baru. Begitupun dengan seni rupa, yang gagal menaikan frekwensi pameran tunggal, meskipun seni rupa merupakan wilayah lebih cepat mendapatkan apresiasi dari publik. Dan, terakhir tari. Saya tidak mendapatkan karya-karya tari semacam garapan Elly Rudi saat Soeharto masih berkuasa dulu.
Mungkin, yang agak berhasil memanfaatkan demokrasi para pekerja sastra dan musik. Para pekerja sastra, misalnya, mereka tidak hanya mengoptimalkan publikasi melalui buku lantaran percetakan yang kian murah—sebagai dampak persaingan bisnis—juga dunia ruang ekspresi lainnya, seperti internet sebagai dampak dari kebebasan media. Sementara musik, tetap mempertahankan kondisinya seperti dulu.
Memang, pemanfaat pekerja sastra dan musik terhadap demokrasi lokal, belum begitu mendalam saat mengeksplorasi kelokalan, meskipun memiliki ruang kebebasan begitu besar.
Di sisi lain, para pekerja sastra dan musik ini juga mampu memainkan dua peran sekaligus dalam proses demokrasi lokal. Artinya, mereka dapat terus berkarya, dan dapat juga memanfaatkan akses ekonomi secara baik. Tidak heran, bila di era Soeharto, kehidupan para pekerja sastra dan musik ini sederhana atau kekurangan, di masa reformasi hidup mereka jauh lebih baik.
Pada 5 atau 10 tahun mendatang, berbeda dengan Revolusi Prancis, para pekerja seni dari sastra dan musik yang akan lebih dahulu memanfaatkan demokrasi, dibandingkan para perupa.
Pilihan Langkah
Pertanyaan pentingnya, bagaimanakah para pekerja seni di Sumatra Selatan dapat memanfaatkan demokrasi secara baik, sehingga mereka tidak tergilas arus kebijakan Bank Dunia?
Menurut saya, ada beberapa langkah yang harus diambil. Pertama, membangun kepercayaan publik atau memperluas pergaulan, sehingga memiliki hubungan yang baik dengan kekuatan lainnya dalam memanfaatkan demokrasi. Dalam hal ini, para pekerja seni di Sumatra Selatan harus terus menunjukkan karyanya, tanpa satu pun alasan menghentikannya, seperti halnya semangat tersebut hadir pada saat Soeharto berkuasa.
Kedua, bila muncul kepercayaan ini, para pekerja seni dapat mendesak atau melobi kekuatan politik untuk melahirkan berbagai kebijakan yang terkait dengan seni dan budaya. Ketiga, setelah mendapatkan dukungan atau kekuatan hukum tersebut, para pekerja seni dapat memanfaatkannya dengan menjalankan berbagai program pembangunan humaniora yang selama Soeharto berkuasa sangat dimimpikan.
Keempat, bila tiga tahapan di atas dilalui secara baik, maka demokrasi yang berlangsung merupakan tangga bagi seni dan budaya menjadi panglima peradaban. Bukan menyerahkannya kepada kekuatan modal, yang jelas-jelas telah menghancurkan kemanusiaan, seperti yang kita biarkan berlangsung saat ini. [*]
Rabu, 31 Desember 2008
Mengaca Demokrasi, Kita Yang Kalah
Diposting oleh T. Wijaya di 14.16
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment