Rabu, 24 Desember 2008

Cerpen "Pelangi Nusantara" Sigid Widagdo

INI cerpen karya Sigid Widagdo yang berjudul "Pelangi Nusantara". Cerpen pemenang ketiga dalam JILFest 2008. Sigid merupakan generasi baru cerpenis di Palembang. Menyimak cerpennya, kita menemukan gaya realis, yang mana sudah kita jarang temukan dari para cerpenis muda saat ini. Inilah cerpen tersebut:

Pelangi Nusantara

Cerpen Sigid Widagdo

Tar... ter... tor... ter... dor..., suara petasan bersahut sahut. Ratusan petasan yang diikat memanjang di batang rambutan itu sumbunya mulai terbakar satu persatu, lalu meledak mengeluarkan suara keras bertepatan dengan pecahnya gulungan kertas pembungkus bubuk mesiu, menjadi ribuan serpih yang melayang bertebaran di udara kemudian berserak jatuh ke tanah. Minggu pagi, pada satu perkampungan padat di Bintaro pinggiran Jakarta Selatan, pecah seketika, pertanda pesta pernikahan segera dimulai.
Lamat-lamat bebunyian lain muncul dari ujung jalan. Suara gendang kayu ditabuh seperti mengiringi pencak silat meliukkan jurusnya. Kenongan seng dipukul layaknya pertunjukan lenong sedang berlangsung. Tekyan yang digesek mengeluarkan suara ratapan gembira gadis negeri tirai bambu. Dan walau tidak ada balatentara kompeni yang berbaris pada upacara kenegaraannya, suara trombon dan terompet yang ditiup juga terdengar. Sebuah kolaborasi musik yang tersajikan instrumental, perpaduan Gambang Kromong dan Tanjidor, dengan dua boneka besar sebagai dirigennya.
Dua boneka besar itu setinggi dua kali tinggi orang Indonesia kebanyakan. Badannya sangat besar, pelukan dua orang dewasa belum sanggup merangkul seluruh lingkar perut boneka itu. Di kepalanya mengenakan kedok, yang satu berwarna merah dengan mata melotot dan kumis tebal, yang satunya lagi berwarna putih matanya lebih sipit dan lentik. Rambutnya dibuat dari ijuk berhias bunga kelapa, tegak-tegak berdiri tak bergeming diterpa angin. Baju dan selendang di bahunya berwarna cerah mencolok. Dan sarung berwarna gelap bermotif batik menutupi bagian bawahnya. Di daerah lain juga terdapat boneka seperti itu. Kami menyebutnya ondel-ondel. Melenggok kiri kanan, menjadi bintang tamu dalam arak-arakan.
Bintang utamanya Sang Pangeran yang ditunggu itu, Tan Liong San, yang bisa dipanggil A Liong, mengenakan baju koko panjang sampai ke mata kaki berwarna merah dengan hiasan keemasan dan topi bulat merah menutupi kepala. Payung kebesaran, yang memang berukuran besar itu, mencegah sinar matahari menyentuh tubuhnya. Matanya yang sipit serta melihat perawakan, penampilan, apalagi namanya itu, semua orang tahu Sang Pangeran adalah orang Tionghoa. Ia berjalan pelahan di tengah arak-arakan dengan puluhan orang mendampinginya.
Pertunjukan ini jadi tontonan langka yang takkan terlupakan untuk orang kampung metropolitan. Banyak juga yang baru pertama kali menyaksikan. Anak-anak berjingkrakan lari-lari kecil menggoda ondel-ondel.
Cing Nawi sudah siap sedari tadi di halaman rumahnya menunggu arak-arakan besan datang. Ia tampak sederhana, seperti seorang pendekar tobat dan menjadi wali. Busana serba putih dengan kopiah haji, dan sandal tertutup penuh pada bagian depan yang juga berwarna putih. Ia tidak seram seperti biasanya. Kumis tebalnya tertata rapi. Kaos putih, celana tiga perempat berwarna hitam, dan ikat pinggang besar berwarna hijau, yang menjadi seragam sehari-hari, tersimpan rapi dalam kamar, bersama golok kesayangannya.
Anak ketiga Cing Nawi, Minah, tak sabar lagi menunggu Sang Pangeran datang. Dalam baju kurung berwarna merah, wajah tertutup rumbai cadar dengan rambut tersanggul berhias kembang. Dan terpenting, di dahi Minah terlukis bulan sabit merah, tanda kesucian Sang Permaisuri. Kalaupun bulan sabit ini menjadi simbol hiasan adat semata, cukuplah Sang Pangeran yang tahu.
“Assalamualaikum.” Bapak A Liong memberi salam lalu menyalami Cing Nawi.
“Waalaikumsalam.” Cing Nawi bergegas mengucap salam seraya mempersilakan rombongan masuk.
A Liong segera mempertemukan kedua belah telapak tangannya, menjulurkan kepada Cing Nawi sambil membungkukkan badan dan menundukkan kepala. Sang Pangeran siap dinobatkan sebagai raja sehari dengan penyematan tahtanya, Ratu Minah, oleh Cing Nawi yang berwenang.
Kesunguhan cinta A Liong dan Minah meruntuhkan perbedaan etnis dan agama. Apalagi sekedar gunjingan orang. Kedua manusia dimabuk cinta ini malah mempersatukannya dengan indah. Prosesi dilakukan seadanya, tidak serumit pakemnya. Raja dan ratu sehari sudah duduk disinggasana.
Teras dan halaman rumah yang dipenuhi bangku dengan penutup tenda mulai terisi. Cing Nawi masih sibuk menyambut tamu undangan. Banyak juga saudara kandungnya yang sudah jadi orang udik datang dari luar kota. Para tetangga pun kondangan. Mas Paijo mengenakan batik dengan belangkon di kepala datang lebih dulu.
“Ora bawa keris, Mas ?” canda Cing Nawi menyalami Mas Paijo dengan tangan kiri merangkul ke pinggang belakang.
“Lupa Bang. Loh … golok Abang mana?” Balas Mas Paijo dengan logat Jawa totok sambil tertawa kecil.
Badaruddin datang menggandeng istrinya yang mengenakan baju kurung dengan sarung bertenun songket. Situmorang tampak mengenakan selendang ulos. Beberapa tamu lainnya mengunakan baju adat masing-masing. Ada juga yang menggunakan baju muslim dan jas tanpa dasi. Anak-anak muda banyak juga yang menggunakan kemeja dan celana jin. Tidak sedikit yang datang seperti pendekar Betawi, tentu tanpa golok. Juga datang Koh Tao mengenakan baju koko berwarna merah terang dengan topi bulat yang juga berwana merah.
“Haya... lu undang orang dari seluruh Indonesia,” sapa Koh Tao menyalami Cing Nawi melihat tamu undangan yang mengenakan pakaian adat beragam yang memenuhi bangku di bawah tenda itu.
“Pan dari Cina juga aye undang. Sebentar lagi dateng juga saudara aye yang pake seragam kompeni,” canda Cing Nawi bersemangat merasa himbauan yang disebar bersama undangan, harap tidak membawa bingkisan dan mengenakan pakaian adat masing-masing, ternyata berhasil.
Cing Nawi memang dikenal sebagai pencinta budaya Betawi. Ondel-ondel dan perangkat alat musik yang meramaikan pesta adalah miliknya. Kebanyakan ia buat sendiri. Sering kali mulutnya nyerocos marah kepada anak-anaknya yang tidak perduli kepada budaya sendiri. Jadinya kebanyakan pemain musik bukan orang Betawi asli. Dan orang di dalam ondel-ondel itu, ia temukan di pasar sedang memanggul karung, yang tidak tahu dirinya beretnis apa. Orang Indonesia, katanya.
Raja dan ratu sehari sudah mulai pegal duduk berdampingan di singgasananya. Satu persatu undangan pamit menyalami Cing Nawi. Seseorang lelaki berjas hitam dengan kemeja putih lengan panjang di dalamnya menyalaminya sambil berbisik, “Kalau tanah bapak mau dijual, hubungi saya,” lelaki itu lalu pergi meninggalkan sebuah amplop di tangan Cing Nawi. Bisikan itu langsung bersemayam di benak Cing Nawi. Di tengah pesta ini, risau Cing Nawi yang lama tersimpan kembali terusik.
Saat Minah masih sekolah dasar. Kebun rambutan milik Cing Nawi dijual. Batang rambutan dibabat dan didirikan perumahan. Rumah setengah gedek bambu yang berada di tengah kebun itu pun dibongkar. Sebagai gantinya, Cing Nawi membangun rumah yang lebih besar tanpa gedek bambu sedikitpun di atas tanah yang dibelinya di pinggiran kota.
Dan setelah rumah Cing Nawi selesai dibangun, ia berniat kawin lagi. Cekcok besar dengan istrinya, Munah, terjadi. Dua anaknya yang paling besar malah mengeruhkan suasana, minta ini dan itu serasa harta hasil menjual kebun rambutan tidak akan pernah habis. Cekcok besar ditinggalnya pergi, Cing Nawi mengajak Munah menunaikan ibadah ke tanah suci. Sepulang naik haji, Cing Nawi membangun kontrakan dua pintu di sisa halaman rumahnya.
Dan pesta perkawinan anaknya yang ketiga ini diharapkan memperpanjang nafas dari tetes terakhir sisa harta hasil jual kebun rambutan yang dijadikan komplek perumahan itu. Banyak anak banyak rejeki, kiranya Cing Nawi mulai goyang kepedeannya dengan semboyan lama itu. Mungkin lebih tepatnya kali ini, banyak undangan banyak rejeki.
Walau tak sedikitpun terbersit di wajah, apalagi saat pesta pernikahan ini, Cing Nawi mulai risau memikirkan empat adik Minah yang masih sekolah, berikut kebutuhan tiga cucunya yang kadang masih disponsorinya.
Ia menyadari. Tidak hanya kebun rambutannya yang kini menjadi komplek perumahan. Daerah yang dulu dipenuhi kebun jeruk telah menjelma menjadi hutan beton bertingkat, kumpulan menara pencakar langit. Jembatan bukan hanya untuk menyebrang sungai, berangsur kota ini membuat jembatan yang melintas diatas jalan, bahkan diatasnya lagi, dan lagi.
Hutan-hutan kayu, jati, aren, dan lainnya, tinggalah menjadi sebuah nama daerah yang biasa diteriakkan kernet bis kota. Kota ini tidak pernah tidur, sibuk memperbesar diri, mempercantik, atau lebih tepatnya mempertahankan diri dari serbuan orang yang sedari dulu berdatangan menggapai mimpi.
Kebun rambutan dan hasil tanaman lain yang dulu menjadi andalan penghidupan tinggal kenangan. Kalaupun mau bertanam lagi, paling sebatas hobi. Jurus terobosan baru dengan membangun kontrakan tidak juga ampuh, semenjak anak pertama dan keduanya berkeluarga dan menempatinya. Orang bilang, ondel-ondel sudah tidak zamannya lagi. Jawara seperti Si Pitung pun bisa nganggur di kota ini.
Sudah banyak saudara-saudara sekandungnya terpental ke luar Kota Jakarta. Lantaran menjual tanah atau ada juga yang tergusur proyek pembangunan, dan kembali membeli tanah yang lebih murah di luar kota untuk menetap, lalu menjualnya lagi, dan pindah lagi. Tidak hanya sampai pingiran kota. Bahkan ada yang terpental sampai pinggiran kota lain, tetangga kota ini.
Kerisauaan Cing Nawi tidak membuat gengsinya menciut. Pernikahan anaknya yang banyak mengundang protes itu malah di buat semeriah mungkin. Jauh dari bayangan keluarga besan sekalipun. Tidak cukup banyak undangan banyak rejeki, penting juga agar tidak kehilangan gengsi, sekalian promosi ondel-ondel agar tidak mati.
***
Ancur Minah. Baru enam bulan berlalu setelah pernikahan itu, perut Minah sudah besar menunggu hitungan menit mungkin jam untuk melahirkan. Saat mentari baru saja menutup mata, Minah yang tinggal di rumah utama babehnya serasa tak sanggup menahan bayi dalam kandungan.
Bidan terdekat dipanggil. Munah tidak meninggalkan anaknya barang sedetikpun. Munah tidak perduli kata orang, usia kandungan anaknya lebih tua dari masa pernikahan. A Liong mondar mandir di teras rumah. Dua orang Abang Minah berikut keluarga dan adik-adiknya ikut heboh. Dua orang tukang dukung ondel-ondel yang tinggal tidak jauh dari rumah Cing Nawi tidak ketinggalan, nongkrong di teras siap membantu jika diperlukan.
“Dasar anak kota,” Cing Nawi tampak kesal geleng-geleng kepala berjalan menuju teras, “Sini loe semuanye !” lalu duduk di kursi bambu.
Anak-anak, mantu, dan juga cucu-cucunya berkumpul di teras. Siapa yang berani menolak panggilan murka mantan jawara Betawi. Tinggalah Bidan, Munah, dan Minah yang sedang mengerang kesakitan, bersama bayi dalam kandungan, yang tidak ikut konvensi dadakan di teras depan. Tukang dukung ondel-ondel memang sudah sedari tadi nongkrong di situ, otomatis jadi peserta konvensi.
“Pan gua udah omongin dari dulu, Lu pade kagak mau dengerin omongan gue.”
Kerisauaan Cing Nawi yang sudah lama mengendap dalam otaknya berkecamuk tidak terkendali. Soal kebun rambutan yang sudah terjual, soal anak-anak yang tidak menghargai budayanya sendiri, dan orang Betawi lainnya yang terlempar jauh ke luar kota, dan sekarang cucu keempatnya akan lahir melangkahi moral waktu yang telah terbentuk lama oleh leluhurnya. Bulan sabit merah di dahi Minah saat menikah hanya menjadi budaya sandiwara, kebohongan semata. Semua soal dalam benak Cing Nawi terangkai tak beraturan menjadi satu, kecamuk itu sedang puncaknya, meminta jawab.
“Ini memang Jakarta bukan Betawi lagi. Tapi lu-lu pade kudu menghargai budaye.” Cing Nawi mengawali orasinya tanpa sanggah sedikitpun. Hingga hampir seperti berbicara sendiri. Seperti ini kiranya :
Budaya itu pegangan hidup agar tidak mudah tersesat, agar kita tidak tergelincir dari moral dan etika serta indahnya ajaran agama. Betawi boleh berubah, kebun dan hutan telah menemui ajalnya, langit-langit Jakarta boleh saja koyak tercakar tingginya manara, tapi budaya tidak boleh mati.
“Jangan lu pikir budaye hanya manggul ondel-ondel. Mau lu, gua masukin museum ?” Mata Cing Nawi melotot dengan tangan menujuk kepada seluruh anak-anak dan mantunya.
Tukang panggul ondel-ondel yang tidak kena tunjuk malah terkejut. Tidak terlalu mengikuti orasi Cing Nawi, kok tahu-tahu ingin dimasukkan ke museum. Mendengar Cing Nawi sering menyebut ondel-ondel, tukang panggul ondel-ondel mulai konsentrasi. Cing Nawi semakin tidak terbendung melanjutkan:
Ondel-ondel boleh saja berlenggok di istana menyambut tamu kehormatan atau berlenggok sesuka hati saat ulang tahun Jakarta. Bahkan kalau disimpan di seluruh museum yang ada di kota ini juga tidak apa. Namun jangan sampai sejarah, nilai moral dan etika yang terkadung didalamnnya ikut tersimpan di museum. Jadilah kota ini tempat ondel-ondel bisa bergaul dengan wayang kulit, golek, dan orang. Boleh juga bercengkrama dengan barongsai, bahkan dengan sincan dan donal bebek sekalipun.
“Kalo sampe semuanye tinggal di museum, Jakarta bakal ancur.”
Cing Nawi belum selesai : Jika tidak ada lagi moral dan etika yang tersisa dari budaya, Jakarta akan menjadi hutan belantara. Tidak cukup hutan beton menara, jalan melintang-lintang di atas jalan, bahkan seluruh lampu di kota ini yang telah mengalahkan pesona bintang di waktu malam, belum cukup kuat mempertahankan keberadaan kota tanpa budaya leluhur.
Tangis bayi menginterupsi orasi Cing Nawi. Peserta konvensi bubar seketika. A Liong lari lebih dulu masuk ke kamar Minah. Cing Nawi masih duduk di bangku bambu di teras rumahnya.
A Liong kembali ke teras mengabari, “Syukur, Beh. Ganteng kaya Engkongnya.” Lalu menyalami mertuanya, dengan hormat persis saat ia menjadi Sang Pangeran yang memohon restu kepada Cing Nawi agar dinobatkan menjadi raja sehari.
“Nah, lu kayaknya udah mulai ngerti yang gua omongin tadi.”
A Liong dengan wajah penuh syukur masih berdiri disebelah Cing Nawi.
“Gua kasih nama anak loe, Nursan.”
Risau Cing Nawi yang memuncak kecamuknya mulai redam bersama tangis Nursan. Cing Nawi menutup orasinya, yang lebih mirip seperti doa penuh kebaikan : Nursan artinya cahaya nusantara. Agar semua anak tidak melupakan budaya leluhurnya saat dewasa. Ingat akan cahaya asalnya, berbaur dengan cahaya lainnya, melahirkan warna yang membias mewarna-warni, menjadi pelangi. Dan pelangi nusantara itu adalah Jakarta.
Biarkan pelangi itu menunjukan keindahan warna-warninya. Jangan sampai hilang barang satu warna. Kalau sampai Jakarta ini hilang warna-warninya. Ia akan lupa dirinya sendiri. Lalu membias sampai seluruh nusantara, yang juga akan lupa akan jati dirinya. Seketika itu, ia akan hancur. Namun tidak hari ini, juga berabad lagi. Jakarta tetap menjadi pelangi nusantara.
Tengah malam menjelang, tangis Nursan masih terdengar, membawa harapan baru.

Palembang, awal November 2008

4 Comments:

sigid widagdo said...

Terimakasih Kak Tewe. Banyak semangat dan pelajaran yang aku resap dari kakak.

Anonim said...

penulis berbakat mantap euy...
apa kabar bung tewe? senang bisa ketemu disini, salam hormat ya'kub

T. Wijaya said...

kabar baik, semoga demikian dikau. o ya ikuti juga blog sajak digitalku www.sajakdigital.blogspot.com atau di www.youtube.com/user/musimengalir

Anonim said...

amin aku baik2 selalu. wow sajak2nya dalem euy.dan yang pasti kreatif berat pakai sajak digital..salut..