Jumat, 27 Juni 2008

Mari Mencari Ibu dan Bapak

T. Wijaya
Mari Mencari Ibu dan Bapak
SAYA menulis ini bukan lantaran saya tahu banyak, tapi karena saya memimpikan; di masa mendatang, setiap pekan kita jalan-jalan ke luar angkasa, tapi kita tetap ada dengan keyakini dan identitas kita. Atau, kita terus bercinta di tengah bisingnya kota. Tanpa ada yang mengganggu.Tenang.
Membayangkan kondisi yang indah itu, tidaklah mudah atau gampang. Kita perlu perjuangan. Apalagi realitas hari ini, kekerasan menjadi alat utama berbagai kelompok buat menjadi kekuatan yang mendominasi. Berebut menjadi pemenang. Bukan hanya di gelanggang olahraga, politik, juga merambah ke wilayah kepercayaan maupun keyakinan.
Di Indonesia, setelah jatuhnya rezim Soeharto, banyak yang berebut menggantikan posisi “Soeharto”. Meliter bukan lagi sebagai kekuatan utama yang ingin menguasai, sipil bersenjata yang mengatasnamakan keyakinan tertentu juga ingin menjadi pemenang, termasuk para pemilik modal.
Berebut kursi “raja” ini bukan hanya lahir atau muncul dari kekuatan di dalam, tetapi juga didorong dari kekuatan luar. Mengutip pemikiran Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib dalam sebuah sajaknya, “Ibuku Satu, Bapakku Satu, Orangtuaku Seribu”, saya mengibaratkan kita yang hari ini hidup sebenarnya memiliki ibu dan bapak satu, tapi memiliki sejuta orangtua. Macam-macam permintaan dan nasehatnya.
Kasarnya, kita hari ini diobok-obok para orangtua dari berbagai negeri yang jauh, baik dari Eropa, Amerika, Arab, India, Jepang, atau Tiongkok. Ada yang mengajari menari, baca puisi, berdagang, merampok, membuat film, menjadi jurnalis, menjadi politikus, hingga cara menjadi pelaku bom bunuh diri.
Lalu, di mana ibu dan bapak kita? Entahlah. Hanya kita yang dapat menjawabnya. Jadi, dari diskusi yang sederhana ini, mari kita mencari ibu dan bapak kita yang berabad-abad telah mengajari kita bagaimana hidup dengan damai, sejahtera, dan bersemangat. Sehingga para orangtua dari negeri asing itu angkat kaki, atau menjadi bagian dari kita yang selalu menikmati “pelangi”.

Di Kampung Sendiri
Ibu dan bapak, seperti halnya hewan, tidak akan meninggalkan anaknya begitu saja, kecuali ada hal yang sangat penting. Tetapi, sejauh-jauhnya ibu dan bapak pergi, dia akan kembali juga. Jadi, kemungkinan besar ibu dan bapak kita tidak berada di New York, Tokyo, Hongkong, Madinah, London, Paris, atau Moscow. Ibu dan bapak kita masih berada di dekat kita, di kampung kita.
Memang, yang menjadi persoalan, kita tidak mampu melihat ibu dan bapak itu. Kalaupun terlihat, cenderung samar-samar. Penyebabnya, ruang buat bertemu telah digusur oleh pabrik, pasar swalayan, rumah toko, atau pusat-pusat hiburan.
Tidak itu saja, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan para orangtua lain, telah memfitnah, merendahkan, bahkan menghilangkan eksistensi ibu dan bapak kita. Macam-macam penyebutannya, seperti primitive, kuno, feudal, terbelakang, kampungan, atau bodoh.
Di sisi lain, bila pun di antara kita masih memiliki ibu dan bapak, para orangtua dari luar akan memanfaatkan kita buat menghabisinya dengan berbagai stigma di atas itu. Bila masih bertahan, kekerasan menjadi pilihannya. Baik yang mengeluarkan suara “dor” maupun kata “amankan”.

Bersatu
Ibarat sapu lidi, kita harus bersatu. Bersatu mencari dan menemukan ibu dan bapak kita. Bersatu tapi kita tetap dengan jati diri kita. Bukan seperti butiran biji besi yang dileburkan menjadi satu. Tanpa ingin bersatu, kita dengan mudahnya dipatahkan atau disingkirkan. Dan, saya percaya keinginan mencari dan menemukan ibu dan bapak, membuat kita bersatu.

Bersedekah
Saya percaya, sejak 150.000 - 80.000 tahun Sebelum Masehi atau awal migrasi besar manusia dari Afrika ke berbagai penjuru bumi, berbagi atau bersedekah merupakan sikap baik yang sudah tumbuh pada manusia. Jadi, selain kita mampu bersatu, kita juga harus mampu berbagi. Berbagi ini bukan hanya sebatas harta juga ilmu pengetahuan. Penelitian kita yang dikerjakan bertahun-tahun, dengan biaya yang besar, mungkin tidak kita simpan rapat-rapat di perpustakaan atau di inti otak. Bagikan kepada siapa saja. Termasuk kepada saudara-saudara kita yang tidak atau belum sempat menguasai ilmu pengetahuan seperti kita. Logikanya, semakin banyak orang yang seperti kita—katakanlah berpengetahuan—kian gampanglah mencari ibu dan bapak kita.
Percayalah, bila kita memberi satu, kita akan menerima dua, seperti halnya kita di Toraja. Atau, seperti Tuhan berjanji dalam Alquran, berilah satu akan diberi 10.

Informasi
Sebelum mencari ibu dan bapak kita, sebaiknya kita mengetahui kekuatan para orangtua yang telah mengobok-obok kesadaran kita. Menurut saya, kehebatan mereka, yakni mampu menguasai informasi. Ilmu pengetahuan, bahasa, teknologi, yang mereka miliki, mereka kemas dalam sebuah jaringan informasi, sehingga menjadi sebuah mitos yang membuat mata kita tak mampu melihat ibu dan bapak kita.
Jelasnya, mereka mampu menulis dan membaca kita setiap hari, tapi kita sendiri gagal membaca dan menulis mereka. Kita hanya menjadi penikmat, pengagum, dan akhirnya kita gagal menjelaskan diri sendiri, lantaran kita termakan dengan mitos mereka. Dampaknya, ibu dan bapak kita pun hilang.
Memang, sebagian kita dengan kemampuan ilmu pengetahuan, bahasa, teknologi, juga mampu menulis dan membaca mereka. Namun, kebanyakan, segala item pada tubuh dan kesadaran kita justru bermigrasi ke mereka. Istilah saya, minum coca-cola sambil makan ikan asin dengan tubuh dililit bom, saat makan malam bersama istri dan anak. Parahnya, bahkan tanpa ilmu pengetahuan, teknologi, bahasa, yang mumpuni, di dalam pondok tanpa lampu, kita melakukan migrasi ke New York, menjadi Batman atau Superman. Terus-terang, saya sendiri mengalami hal tersebut.

Menulis Diri Sendiri
Seperti diyakini kawan Nasrani, saya ini seorang pendosa. Saya ini kotor. Atau, seperti diyakini kawan penyair Afrizal Malna, dirinya telah kehilangan “Minangkabau”, dirinya tanpa ibu dan bapak. Dirinya menjadi massa. Tak lebih dari susunan angka di kalkulator seorang pegawai kantor kelurahan atau pengusaha makanan instant.
Yang menjadi persoalan, apakah ibu dan bapak mau menemui kita yang kotor ini? Tentu saja mau. Tak ada orangtua yang membenci anaknya, seperti halnya harimau dan tikus. Tetapi, mungkin ada syaratnya, kita harus menjadi diri kita. Kita harus kembali menjadi anak yang tahu asal rahimnya, Toraja jadilah Kailise, Sigiese, Poso, atau Luwuk. Dayak jadilah Kajan, Bahau, atau Punan. Minangkabau jadilah Koto, Piliang, Bodi, atau Chaniago. Nias jadilah Nias. Kei jadilah Kei. Aceh jadilah Aceh. Palembang jadilah Palembang. Sasak jadilah Sasak. Kubu jadilah Pinggir. Mentawai jadilah Melayu. Jawa jadilah Jawa. Sunda jadilah Sunda. Badui jadilah Urang Kanekes atau Urang Rawajan.
Nah, dengan kesadaran ini, kita pun akan mampu menuliskan diri sendiri. Kita bukan ditulis dan dicatat oleh orang lain atau oleh kita yang menjadi “orang lain”. Kita akan menjadi media informasi sebenarnya. Tanpa sensor, tanpa kebencian, tanpa matematika saat menuliskan kasih dan sayang kita.
Saya percaya dengan cara seperti ini, kita akan bebas dari kata primitive, kuno, feodal, terbelakang, kampungan, atau bodoh. Fakta yang kita tulis, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan milik dunia, merupakan fakta bukan penilaian atau opini.
Bagaimana dengan para pendatang? Ya, jadilah diri mereka sendiri, sehingga mereka menjadi kita. Sebab sejak berabad lalu, para puyang atau nenek moyang di nusantara ini tidak pernah menolak kehadiran pendatang, seperti kedatangan puyang saya beberapa abad lalu, dan akhirnya menjadi bagian dari keberagaman yang mengagumkan ini.

Bertemu Ibu dan Bapak
Saya percaya, bila kita telah menuliskan diri kita, ibu dan bapak akan terus mendampingi kehidupan kita. Kita akan tahu bagaimana menghargai orang lain, berbakti pada Tuhan, seperti yang disampaikan dari pikiran dan hati mereka. Kita pun menjadi Toraja bukan menjadi Batman, Superman, atau Ali Baba, meskipun ilmu dan teknologi membuat kita setiap pekan dapat jalan-jalan ke luar angkasa, misalnya pada tahun 2030 nanti.
Kenapa? Sebab ibu dan bapak akan melindungi kita dari ancaman para orangtua yang memiliki keinginan “menguasai dunia” layaknya para pemuja fasisme. Ibu dan bapak kita dilahirkan Tuhan untuk memerangi pemikiran Benito Mussolini yang tahun 1932 menulis, “…Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya…” [*]

Minggu, 22 Juni 2008

Memburu Kekalahan

T. WIJAYA
Memburu Kekalahan

TIM sepakbola yang kalah dalam Piala Eropa 2008 yang digelar di Swiss-Austria adalah kesedihan. Kedukaan. Taufik Hidayat dan kawan-kawan takluk di tangan Korea Selatan dalam Piala Thomas Cup beberapa waktu lalu juga sebuah kesedihan. Lalu, merupakan kesedihan pula pasangan yang diusung Partai Golkar dan PAN kalah dalam pemilihan walikota Palembang periode 2008-2013.
Kekalahan sering juga dimengerti sebagai sebuah kemaluan. Aib. Dan, dampaknya membuat seseorang atau masyarakat menjadi frustasi. Marah. Bahkan bunuh diri.
Sebaliknya, kemenangan merupakan sebuah kebanggaan. Kejayaan. Luar biasa. Menganggumkan. Pokoknya, ada sejuta ungkapan yang membuat pihak yang menang untuk meninggikan bahunya atau menaikkan dagunya.
Pertanyaannya, adakah orang atau kelompok yang mau kalah? Jawabannya, hampir dipastikan, tidak ada. Hanya orang tidak waras yang mau kalah. Begitu pun hari ini, dari anak-anak yang ikut lomba mewarnai hingga mantan pejabat yang kaya ikut suksesi politik, tidak yang mau kalah.

KEINGINAN untuk selalu menang merupakan karakter purba manusia. Sejak peradaban batu hingga peradaban mesin ini, manusia selalu menciptakan berbagai permainan atau ruang buat berkompetisi. Permainan dan ruang kompetisi ini tentunya buat melahirkan subjek-subjek atau kelompok yang dinilai unggul. Pemenang. Mulai dari fisik, ilmu pengetahuan, keterampilan, hingga keindahan tubuh atau berakting.
Kesadaran purba manusia ini diperkuat oleh pemikiran eksistensial yang berkembang pesat di awal abad 20. Tiap manusia didorong untuk menjadi manusia yang paling unggul. Mereka yang lemah, bodoh, merupakan subjek yang harus dimusnahkan atau disingkirkan di dunia ini.

SETELAH Soeharto tumbang, saya melihat ada fenomena yang sangat menonjol dalam masyarakat Indonesia. Yakni tiap orang ingin menjadi pemenang. Ingin meraih kemenangan. Tekanan kekalahan yang diterapkan Soeharto benar-benar menjadi tsunami luar biasa pada kesadaran eksistensial manusia Indonesia.
Di dalam ruang politik, misalnya, mulai dari penambal ban, pegawai negeri, ahli agama, mantan pejabat, pengusaha, akademisi, ibu rumah tangga, pekerja seni, guru, preman, aktifis LSM, bersama para aktifis partai politik, bersaing buat menjadi anggota dewan, kepala daerah, atau sebuah organisasi.
Lalu, anak-anak dan remaja didorong para orangtuanya menjadi yang terbaik dalam berbagai lomba terkait dunia hiburan, seperti menjadi penyanyi, artis, atau model.
Di bidang ilmu pengetahuan juga seperti itu. Lomba matematika, fisika, kimia, menjadi ajang yang sering diselenggarakan buat para pelajar atau mahasiswa. Bahkan, seni pun turut dilombakan, seperti lomba penulisan puisi, penulisan novel, teater, film, akting, dan seterusnya.
Dan, bagi mereka yang tidak dapat menunjukkan prestasinya seperti disebutkan tadi, membuka ruang sendiri, misalnya menjadi juara ngebut motor di jalan, jagoan berkelahi di sekolah atau kampus, atau jagoan berkelahi di kampung.
Seperti yang banyak dikatakan orang, bila keinginan untuk menang sudah tertanam ke dasar hati seseorang atau kelompok, berbagai cara dilakukan. Mulai dari lobi dengan sogokan uang atau perempuan, teror, fitnah, hingga menggunakan cara-cara gaib atau dunia perdukunan. Dampaknya pun dapat kita perkirakan, yakni kekerasan. Baik kekerasan secara fisik maupun moral. Hari ini, setiap hari, kita membaca berita, mendengar, merasakan, dan menonton berita mengenai berbagai kekerasan yang sumbernya sebetulnya akibat persaingan untuk menang.

Kalah Itu Nikmat?
Dari uraian di atas, saya ingin mengatakan bahwa sebuah kekalahan itu merupakan kenikmatan. Buktinya, manusia yang mengakui dirinya kalah dari Tuhan, dia akan masuk surga. Meskipun ini sifatnya berupa keyakinan moral.
Namun, manusia yang merasa dirinya kalah dapat dipastikan menjadi penakut dan lemah, sehingga dia tidak mau berbuat sesuatu yang membuat dirinya kian terkalahkan. Katakanlah, tindakannya selalu baik, sopan, menghindari konflik. Dia memilih bersikap damai dan adil.
Memang, ada juga orang yang kalah tapi tidak dapat menerima kekalahan sehingga berbuat jahat. Tetapi, sebenarnya orang seperti ini memiliki kesadaran dirinya tidak kalah, justru sebaliknya dia yakin dirinya telah menang. Lantaran sesuatu hal kemenangan dirinya telah dirampas.
Mereka yang kalah, tidak akan pernah gelisah bagaimana mempertahankan sebuah kemenangan. Dan, sebaliknya mereka yang menang cenderung merasakan kesepian dan cemas bagaimana mempertahankan sebuah kemenangan. Logikanya, sebuah perlombaan, pertandingan, yang diikuti banyak orang selalu melahirkan satu orang pemenang. Bukankah dia sendirian?
Jadi, maukah kita menjadi orang-orang yang kalah? Maukah kita memburu kekalahan? Sekali lagi, saya percaya, tidak seorang pun yang mau kalah. Sebab kekalahan itu membuat kita merasa menjadi miskin, tertindas, dan tidak dapat menyampaikan keinginan atau ide. Meskipun kondisi paling kalah, akan dialami setiap manusia, ketika memasuki realitas kematian.
Jika begitu, jangan kita salahkan kondisi manusia Indonesia hari ini. Sebab kita tidak mau menjadi orang yang kalah. Minoritas ingin menang, mayoritas ingin selalu menang! Bersaing hingga tanah dan langit penuh fitnah, darah, dan sumpah. [*]

Senin, 16 Juni 2008

Lomba Bidar, Tradisi Sungai Musi



T. Wijaya
Lomba Bidar, Tradisi Sungai Musi
SETIAP tahun masyarakat Palembang disuguhi lomba mendayung perahu pancalang di sungai Musi, yang disebut lomba perahu Bidar. Sayangnya, tidak ada catatan resmi mengenai sejak kapan lomba perahu Bidar dilangsungkan, serta apa artinya “Bidar”.
Yang jelas, berdasarkan penuturan sejumlah orangtua yang hidup sebelum kelahiran Republik Indonesia, lomba perahu Bidar sudah ada pada saat kolonial Belanda menguasai Palembang. Saat itu, lomba perahu Bidar digelar setiap kali kolonial Belanda memperingati hari ulang ratunya, atau adanya pesta yang digelar para pejabat pemerintahan Belanda.
Setelah Republik Indonesia berdiri, seperti halnya lomba panjat pinang, lomba perahu Bidar digelar setiap kali memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Namun, sejak digelarnya Festival Sriwijaya yang kini memasuki tahun ke-17, lomba perahu Bidar juga digelar. Pada Festival Sriwijaya tahun ini, lomba perahu Bidar dilangsungkan pada hari ini, 17 Juni 2008, di sungai Musi. Pada saat yang sama digelar lomba Perahu Hias.
Sejumlah sejarawan berasumsi lomba perahu Bidar sudah berlangsung sejak masa kerajaan Sriwijaya atau masa Kesultanan Palembang Darussalam. Sebab ada legenda dari Muaraenim, yakni legenda Putri Dayang Merindu, disebutkan ada sejumlah pangeran yang memperebutkan Putri Dayang Merindu, melakukan lomba mendayung perahu, setelah lomba bela diri tidak ada yang kalah.
Di sisi lain, cukuplah logis bila masyarakat yang akrab dengan perahu, seperti di Palembang, muncul keinginan untuk melakukan suatu lomba mendayung perahu.

Perahu Pancalang
Yang diketahui dari lomba perahu Bidar, hanya perahu yang digunakan. Yakni perahu Pancalang. Dalam bahasa Melayu, Pancalang artinya “lepas menghilang”. Jelasnya Panca berarti “lepas”, dan Lang berarti “hilang”. Pancalang ini panjangnya berkisar 10-20 meter, dan lebar 1,5-3 meter, bermuatan sampai 50 orang, dikayuh oleh 8–30 orang.
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, pada saat perang maupun damai, perahu Pancalang digunakan raja dan sultan untuk pesiar atau angkutan kurir menyampaikan perintah raja ke daerah-daerah kekuasaannya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia terbitan W. Van Hoeve Bandung Graven Hage dituliskan: Perahu Pancalang ini adalah perahu tidak beruas, terdapat di sekitar Sumatra Selatan untuk mengangkut penumpang dan menjajakan dagangannya di sungai, beratap kajang kemudinya berbentuk dayung dan didayung dengan galah bambu. Perahu Pancalang inilah di kenal sebagai asal muasal “Perahu Bidar” sekarang ini. [*] Foto: Zanial Mazalisa, www.kotapalembang.blogspot.com

Senin, 09 Juni 2008

Esai Dongeng Gebi








T. WIJAYA
Dongeng Gebi

Pernah ada rasa cinta
Antara kita kini tinggal kenangan
Ingin kulupakan
Semua tentang dirimu
Namun tak lagi kan seperti dirimu oh bintangku

Reff :
Jauh kau pergi meninggalkan diriku
Disini aku merindukan dirimu
Kini ku coba mencari penggantimu
Namun tak lagi kan seperti dirimu oh kekasih

SETELAH mendendangkan lagu di atas, yang berjudul ”Tinggal Kenangan”, Gebi Caramel bunuh diri. Lagu itu sendiri ditulisnya lantaran kekasihnya, lebih dulu meninggal dunia lantaran bunuh diri. Tragis dan menyedihkan. Begitu omongan para remaja dari berbagai belahan dunia tentang Gebi Caramel.
Siapa Gebi Caramel? Tidak ada yang tahu. Misteri. Hanya informasi yang beredar gadis cantik—dibayangkan dari suaranya—berasal dari Bali. Mungkin lantaran misteri dan kisahnya tragis ini, membuat para remaja menyukainya.
Saya sendiri mengetahui lagu ini setelah anak saya yang tertua mendendangkannya.
”Bagus benar, lagu siapa itu?” tanya saya.
Selanjutnya, berceritalah anak kelas 5 sekolah dasar itu. Saya tertarik. Saya cari di
www.google.com dan www.youtube.com. Ada ratusan file mengenai lagu ini. Termasuk MP3-nya. Berbagai komentar muncul; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan bahkan ada yang cemas.
Ternyata lagu itu merupakan milik Pay alias Rifai Ilyas (24), gitaris kelompok band Caramel di Makasar, Sulawesi Selatan. Begitu sebuah pengakuan Pay dengan detikcom. Tidak ada kisah tragis mengenai si penulis dan penyanyi lagu itu.

Romantis
Dilihat dari lirik dan senandungnya, lagu “Tinggal Kenangan” merupakan lagu yang romantis. Melankolis. Lagu ini sebenarnya tidak istimewa, sama seperti lagu-lagu melankolis yang dinyanyikan grub band yang ada di Indonesia, seperti lagu-lagu milik Letto, Dewa, Ada, atau lagu-lagu milik Melly Goeslaw dan Ari Lasso.
Jadi, menurut saya, meledaknya lagu ini, yang juga banyak dinyayikan para pengamen, lantaran ada cerita alias dongeng tragis dan misteri yang melatari lagu ini.
Kisah lagu ini mungkin sama dengan lagu “Love Story”, yang mengikuti ledakan film dan novel “Love Story”. Atau, di Indonesia, seperti melegendanya lagu “Badai Pasti Berlalu” milik Erros Djarot yang digemari para remaja saat itu—sebagian saat ini—bersamaan dengan filmnya.
Yang membedakannya, “Tinggal Kenangan” dibangun dengan kisah romantis yang dibangun melalui “kebohongan” di dunia internet, sementara “Love Story” dan “Badai Pasti Berlalu” dari kisah romantis dari sebuah cerita fiksi alias kebohongan yang legal.

Kecemasan Orangtua
Terus-terang, saat ini saya begitu cemas dengan meningkatnya aksi bunuh diri para remaja di Indonesia. Alasan bunuh diri ini mulai dari permintaan si anak yang tidak dipenuhi orangtuanya, hingga persoalan cinta seperti dongeng pada lagu “Tinggal Kenangan”.
Tentunya, kecemasan ini sangat wajar. Sebab pada masa sekarang, seorang anak bukan hanya berguru dan bertanya dengan orangtuanya. Anak seorang petani, misalnya, ketika mau tahu persoalan agama, bukan hanya bertanya dengan orangtuanya, juga bertanya dengan gurunya, tokoh agama, atau bertanya dengan seseorang beridentitas ”nama” di dunia maya alias internet. Kondisi ini, seperti yang dicemaskan Emha Ainun Nadjib 20 tahun lalu melalui puisinya, ”Ibuku satu, bapakku satu, tapi orangtuaku seribu...”
Persoalan anak ini, seperti yang kita rasakan dulu, bukan hanya persoalan ilmu pengetahuan, tapi juga persoalan batin. Mulai dari persoalan Tuhan, hingga asmara. Dan, bila mereka menghadapi persoalan tersebut, mereka bukan hanya bertanya dengan bapak dan ibunya, juga bertanya dengan orangtua yang lain.
Lalu, seandainya pertanyaan itu menghadapi benturan atau tidak memuaskan si anak, apa yang terjadi? Kaum agama mungkin menyebutnya, si anak menjadi sesat. Tapi realitas yang saya tangkap adalah sikap frustasi, marah, sehingga melahirkan aksi yang paling menakutkan kita yakni bunuh diri.
Mungkin banyak orang akan mengatakan persoalan ini muncul lantaran lemahnya peranan orangtua menjadi ”kawan komunikasi” anak-anaknya. Jika orangtua mengambil peranan yang optimal dan baik, mungkin anak-anak mereka akan selamat.
Tetapi, banyak orangtua—terutama yang miskin—memberikan alasan, waktu mereka lebih banyak untuk mengatasi perut. Alasan ini cukup wajar. Jika seseorang tidak bekerja keras, ancaman kelaparan cukup terbuka lebar di Indonesia. Bahkan, banyak orangtua yang sudah bekerja keras, keluarga mereka tetap hidup miskin.

Ruang Publik
Saya melihat, ruang komunikasi para remaja Indonesia menjadi macet lantaran hilang dan menyempitnya ruang publik bagi para remaja. Pembangunan di berbagai kota besar, lebih melayani kebutuhan orang dewasa. Taman, gelanggang remaja, sarana olahraga, kian terpinggirkan, dan tergantikan dengan plasa, rumah toko, maupun tempat hiburan orang dewasa.
Para remaja kemudian lari ke dunia maya alias internet. Nah, menurut saya, ruang ini terlalu liberal, sehingga seseorang dapat mengekspresikan dirinya sedemikian rupa. Di dunia internet, seseorang dapat menjadi apa saja. Jadi, termasuk membangun dongeng Gebi Caramel di dunia maya tersebut.
Namun, perlukah kita membatasi dunia internet? Saya pikir tidak. Sebab liberalisasi yang diciptakan dunia internet itu juga membawa perubahan positif bagi para penggunanya. Seperti dalam menambah ilmu pengetahuan dan sahabat.
Saya masih percaya, kegagalan ruang publik yang dibangun pemerintah yang membuat para remaja kita kehilangan ruang buat mengekspresikan diri, sehingga kemacetan itu melahirkan aksi bunuh diri atau aksi lain seperti kebohongan yang membuat kita tercengang. ***

Minggu, 08 Juni 2008

Esai Bola Menggelinding 7.000 Tahun







T. WIJAYA
Bola Menggelinding 7.000 Tahun ke Sriwijaya

WONG Palembang lebih dulu mengenal sepakbola dibandingkan orang Inggris. Tapi, lantaran tidak ada tanah kering yang luas, baru 12 abad sejak ibu kota kerajaan Sriwijaya ini berdiri sepakbola dimainkan wong Palembang.
Pernyataan bernada humor ini saya sampaikan kepada seorang kawan, yang menyatakan wong Palembang baru mengenal sepakbola, bila dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia, seperti Medan, Surabaya, Makasar, maupun Jakarta. Dalilnya, tidak banyak pemain sepakbola buat tim nasional Indonesia yang berasal dari Palembang.
Fakta minimnya pemain sepakbola tim nasional Indonesia dari Palembang, dapat dibenarkan. Tetapi, soal masyarakat Palembang baru mengenal olahraga ini, saya tidak setuju. Bahkan, saya berasumsi puyang atau nenek moyang wong Palembang lebih dulu mengenal sepakbola dibandingkan orang Inggris. Lo?
Dasar asumsi ini lantaran hubungan masyarakat Palembang dengan bangsa Tiongkok, jauh lebih dahulu dibandingkan dengan orang Inggris. Hubungan bangsa Tiongkok dengan masyarakat Palembang—bahkan sebagian berasal dari Tiongkok—sejak berdiri kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7.
Lalu, apa hubungannya sepakbola dengan bangsa Tiongkok?
Menurut seorang kawan, tanpa identitas, yang menulis sejarah sepakbola, yang mana artikelnya itu gentayangan selama dua tahun ini di dunia maya alias internet, sepakbola berasal dari Tiongkok. Bukan dari Inggris atau India, seperti yang diyakini selama ini.
Setelah melakukan verifikasi dengan data dari sumber lain, saya mempercayai penelusurannya itu. Jadi, sangatlah tidak benar bila sporter Inggris, saat Piala Eropa 1996 lalu, menulis pada sebuah spanduk besar: Sepakbola kembali ke tanah luluhurnya. Sporter Inggris tampaknya mengukur sejarah sepakbola dari berdirinya Asosiasi Sepakbola (FA) Inggris yang baru berusia dua abad, yang merupakan organisasi sepakbola tertua di dunia.

PADA tanggal 20 Mei 2004, saat merayakan ulangtahunnya ke-100, organisasi sepakbola international (FIFA), secara resmi mengakui sepakbola berasal dari Tiongkok, bukan dari Inggris atau India yang selama ini diyakini banyak orang.
Berdasarkan penelitian sejarah, sepakbola berkembang atau telah dimainkan bangsa Tiongkok, lebih kurang 7.000 tahun lalu. Buktinya, sebuah manuskrip dari masa Dinasti Tsin (255-206 sebelum Masehi) menceritakan soal sepakbola. Diceritakan sepakbola adalah permainan rakyat dan bangsawan, sejak 5.000 tahun sebelumnya. Pada masa Tsin sendiri, permainan yang disebut Tsu chu yang berarti “menendang bola”, digunakan buat melatih fisik para prajurit kerajaan.
Menurut penulis Tiongkok, Li You (55-135), Tsu chu dimainkan 12 orang, atau setiap tim terdiri 6 orang. Mereka berlomba memasukkan bola ke lubang jaring yang diameternya berkisar 40 centimeter. Jaring itu diletakan di atas tiang setinggi 10,5 meter di tengah lapangan. Lapangan itu sendiri dikelilingi tembok. Bola terbuat dari kulit binatang berisi rambut atau bulu. Dalam bermain Tsu chu, para pemain menggunakan ilmu bela diri kung fu. Aturannya, bola tidak boleh disentuh dengan tangan, dan pemenangnya adalah tim yang banyak memasukkan bola ke jaring. Saat itu sudah ada yang berfungsi sebagai wasit, yang mengatur permainan dan mencatat skor.
Filosofis Tsu chu; bola menyimbolkan bulan yang bernilai sakral, tim yang bertanding melambangkan Yin dan Yan, dan, angka 12 menunjukkan jumlah bulan dalam penanggalan Tiongkok. Pada 1465-1509, Tsu chu juga dimainkan para perempuan.
Berdasarkan legenda di masyarakat Tiongkok yang berkembang hingga hari ini, para raja atau kaisar selain membuat lapangan Tsu chu, memerintahkan sekolah atau lembaga pendidikan diwajibkan mengajarkan olahraga ini. Bahkan pada masa Dinasti Han (206 sebelum Masehi hingga 200 setelah Masehi) ada pertandingan antara tim Tsu chu Tiongkok melawan tim Jepang di Kyoto. Orang Jepang sendiri mengenal olahraga ini setelah dibawa para pedagang atau siswa yang belajar ke Tiongkok. Bedanya, di Jepang olahraga ini disebut Kemari. Pemainnya minimal 2 orang dan maksimal 12 orang. Gawangnya berupa jaring yang diletakkan pada dua tiang. Artinya, tiap tim menjaga jaringnya. Tapi, sama seperti Tsu chu, para pemain dilarang bersikap kasar atau melukai lawan.
Dari Jepang dan Tiongkok ini diperkirakan Marcopolo mengenal olahraga tersebut, dan kemudian membawa atau memperkenalkannya ke Eropa. Meskipun sebagian peneliti meragukan perkiraan tersebut.

SEPAKBOLA tradisional di Eropa berkembang sebagai olahraga barbar. Ini berbeda yang berkembang di Tiongkok dan Jepang.
Bangsa Eropa mengenal permainan bola pada 800 tahun sebelum Masehi. Tepatnya bermula di Yunani, yang disebut Episkyro dan Harpastron. Bangsa Romawi yang menyerang Yunani tahun 146 sebelum Masehi, diperkirakan membawa permainan tersebut ke negerinya. Kebetulan, Kaisar Romawi saat itu Julius Caesar sangat menyukai Harpastron. Sama seperti di Tiongkok, mereka menggunakannya sebagai olahraga melatih fisik para prajurit atau tentara. Pemainnya ratusan orang. Dan, bentrok fisik sering berlangsung, sehingga tampak seperti kerusuhan massal. Tidaklah heran, pemikir Romawi saat itu, Horatius Flaccus dan Virgilius Maro, menyebut Harpastron sebagai olahraga biadab. Selanjutnya, olahraga ini dilarang di Romawi. Pelarangan terus berlangsung di Romawi dan daratan Eropa lainnya.
Hal yang sama berlangsung di Inggris, yang mengenal permainan bola sejak abad ke-8 Masehi. Permainan ini dilakukan di lapangan luas, atau sebuah jalan yang panjangnya mencapai 4 kilometer. Pemainnya ratusan orang. Bolanya adalah tengkorak kepala manusia. Caranya berebut bola tanpa aturan atau dengan segala cara. Akibatnya, setiap kali pertandingan digelar, puluhan hingga ratusan orang tewas. Yang selamat, dipastikan mengalami cidera atau luka-luka.
Dampaknya, raja Inggris, Edward II pada tahun 1344 Masehi, mengeluarkan titah yang isinya melarang rakyatnya bermain olahraga itu, terkhusus bagi kalangan keluarga istana atau bangsawan. Menurut Edward II, sepakbola adalah permainan setan yang dibenci Tuhan. Siapa saja yang kedapatan bermain sepakbola akan dihukum mati atau kurungan. Larangan ini berlangsung hingga Ratu Elizabeth I (1533-1608) berkuasa.
Gereja-gereja di Inggris turut terpengaruh dengan sikap para raja ini. Mereka turut mengutuk atau mengkampanyekan pelarangan sepakbola. Seorang pemikir dan puritan di Inggris, Philip Stubbes, merupakan tokoh yang paling getol mengkampanyekan pelarangan sepakbola. Tahun 1583, dia menulis buku The Anatomie of Abuses, dan menuliskan, “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan ini (sepakbola).”
Sejarah yang sama berlangsung di Prancis. Permainan yang disebut Soule itu akhirnya dilarang Raja Felipe V pada 1319 Masehi, dan dilanjutkan para raja sesudahnya.

SEMENTARA di Amerika Tengah, permainan bola telah dikenal suku Indian sejak ratusan tahun lalu. Pada suku Astek, permainan bola merupakan gabungan dari permainan basket, voli, dan sepakbola.
Pada suku Indian, sepakbola lebih tepat disebut sebagai perang antarsuku, yang digelar di lapangan sangat luas, dalam waktu berhari-hari, jika skor terus imbang. Artinya, setiap pertandingan, harus ada pemenang. Setiap tim, pemainnya mencapai 500 orang. Dan, dapat dibayangkan, setiap akhir pertandingan, banyak pemain yang mengalami cidera.

MENGENAI sepakbola modern, kita harus mengakui Eropa. Permainan sepakbola modern dan tertib yang dikembangkan Eropa, kini berkembang di pelosok dunia, atau yang resmi disebut sepakbola. Meskipun awalnya, di Tiongkok, olahraga ini tertib dan damai, tidak seperti di Eropa yang biadab.
Adalah Giovani Bardi dari Italia, yang menulis mengenai aturan permainan sepakbola yang di Italia disebut Calcio pada tahun 1580. Setahun kemudian, 1581, Richard Mulcaster di Inggris melakukan hal yang sama. Pendidik atau kepala sekolah Merchant Taylor’s dan St. Paul ini menyerukan adanya pembatasan pemain dan wasit dalam sepakbola. Dia pun menolak unsur kekerasan dalam sepakbola. Dia menyarankan sepakbola dimainkan perempuan dan anak-anak. Semua seruannya itu termuat dalam buku miliknya yang berjudul Position Where in Those Primitive Circumstones be Examined.
Seruan kedua tokoh ini tidak mendapat sambutan yang luas. Baru, dua abad kemudian, Joseph Strutt, melalui bukunya The Sports and Pastimes of The People England, menyarankan sepakbola dimainkan oleh dua tim yang jumlahnya sama. Lalu, kedua tim harus berebut bola untuk memasukkannya ke gawang lawan yang terpisah, dengan jarak lapangan berkisar 70-90 meter.
Dalam World Soccer (1992), Guy Oliver menulis peraturan dan permainan Tsu Chu maupun Kemari merupakan sumber ilham sepakbola modern. Sementara Mulcaster dijuluki sebagai “pembela sepakbola paling gigih dari abad 16”. Konsep Strutt dijadikan pijakan peraturan sepakbola modern. Pijakan ini mendasari lahirnya Football Association (FA) di Inggris pada 26 Oktober 1863, yang merupakan organisasi sepakbola tertua di dunia. Awalnya FA mengatur pemain sepakbola setiap tim sebanyak 15-21 orang. Tahun 1870, mereka memutuskan dengan 11 pemain setiap tim. Sepuluh tahun kemudian, 1880, diciptakan seorang penjaga gawang.
FA juga memutuskan adanya wasit dalam setiap pertandingan, dan mematok luas lapangan, serta bola terbuat dari kulit binatang yang diisi angin.
Istilah Soccer dari lahir dari FA. Charles Wreford Brown, mahasiswa Universitas Oxford, tidak sengaja menyebut “Soccer” ketika menjawab pertanyaan apakah dia seorang pemain rugby (rugger). “No, I’am soccer,” katanya.
Sedangkan kata football, lahir dari kebencian atas permainan tersebut. Para raja di Inggris pada abad ke-17, menyebut permainan tersebut sebagai fute-ball. Lalu, sastrawan Inggris, William Shakespeare, mempopulerkan istilah ini buat mengejek seseorang dalam naskah dramanya.
Drama King Lear, seorang tokoh mengejek tokoh lain yang dinilainya dungu dengan kalimat, “Foorball player.” Begitupun dalam naskah Comedy and Errors yang ditulis Shakespeare.

SEBAGAI hasil dari kebudayaan massal, banyak intelektual atau pemikir membahas sepakbola. Misalnya Vicktor Matheson dari Departemen Ekonomi William College, Inggris, tahun 2003, menyebutkan, klub-klub sepakbola di Eropa dan Amerika Latin, telah menyumbangkan pertumbuhan ekonomi pada negaranya. Setiap klub, berputar uang triliun rupiah, dan setidaknya memberikan pekerjaan buat 3.000 orang.
Filsuf sekelas Albert Camus, yang pernah menjadi kiper, berkata, dirinya berutang banyak pada sepakbola karena olahraga ini mempertontonkan soal moral dan tanggungjawab. Filsuf lainnya, seperti Claude Levi-Strauss dan Gramsci juga menulis kajian filsafat mengenai sepakbola.
Sedangkan di Indonesia, pemikir yang sering menulis sepakbola adalah Abdurachman Wahid atau Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia. Bahkan, kabarnya, dengan kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan, dia masih menyempatkan diri mengikuti pertandingan sepakbola.
MELALUI sejarah panjang di atas, tidaklah heran pada dasawarsa 20 tahun terakhir, sepakbola memiliki peranan penting dalam perjalanan kebudayaan dunia. Sepakbola bukan menjadi simbol kebiadaban, tetapi kembali menjadi tanda kesehatan dan kedamaian seperti kelahirannya di Tiongkok.
Pemain, pelatih, maupun pemilik, merasakan dampak positif dari sepakbola. Bahkan, sepakbola dapat memengaruhi eksistensi sebuah negara dalam pergaulan international. Tidak heran, bila banyak pemikir dunia meletakkan sepakbola sebagai ideologi baru, yang mampu menyatukan berbagai etnis maupun bangsa, dengan perbedaan latar belakang sosialnya.
Negara-negara yang sudah merasakan dampak politik dan ekonomi dari sepakbola, selain negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, atau Prancis, juga negara-negara miskin di Afrika maupun Amerika Latin. Menjadi pemain sepakbola professional, merupakan peluang yang realitis bagi anak-anak Afrika atau Amerika Latin yang miskin buat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Sementara pemerintah, memanfaatkannya buat mempromosikan sumber daya alam atau kekayaan negaranya buat menarik wisatawan maupun investor.
Mungkin kita tidak akan tahu keberadaan negara seperti Pantai Gading atau Ghana, bila kita tidak mengenal pemain seperti Didier Drogba atau Michel Essien.
Di Eropa, seorang politikus atau pebisnis yang memiliki kedekatan dengan sebuah klub sepakbola yang prestasinya menonjol, baik sebagai pemilik maupun pendukung, lebih gampang melejitkan karier politik atau bisnisnya.

SEBETULNYA perkembangan sepakbola modern di Indonesia, tidak terlalu jauh dengan perkembangannya di Eropa dan Amerika. Bila dibandingkan dengan sejumlah negara di Afrika atau Asia, mungkin jauh lebih tua. Buktinya, organisasi sepakbola Indonesia yakni Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dibentuk pada 19 April 1930 di Yogyakarta.
Organisasi yang didirikan dengan semangat politik, sebagai alat membangun rasa nasionalisme bagi pemuda Indonesia, didirikan seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo.
PSSI menjadi anggota FIFA pada 1 November 1952 pada saat kongres FIFA di Helsinki, Finlandia. Lalu, tahun itu pula PSSI menjadi anggota AFC (Asian Football Confederation). Selanjutnya menjadi pelopor pembentukan AFF (Asean Football Federation).
Menariknya, PSSI adalah satu – satunya induk organisasi olahraga yang terdaftar dalam berita Negara setelah 8 tahun negara Indonesia berdiri. Yakni berbadan hukum dengan mendaftarkan ke Departement Kehakiman dan mendapat pengesahan melalui SKep Menkeh R.I No. J.A.5/11/6, tanggal 2 Februari 1953, tambahan berita Negara R.I tanggal 3 Maret 1953, No 18.
Prestasi terbaik sepakbola Indonesia, justru pada saat PSSI berada saat Indonesia belum berdiri. Meskipun tidak disetujui Soeratin, sebanyak 9 pemain binaan PSSI dikirim mengikuti Piala Dunia 1938 atas nama Dutch East Indies, pemain lainnya adalah orang Belanda di Indonesia. Soeratin tidak setuju lantaran menolak mengibarkan bendera Belanda.
Di era 1960-an, sepakbola Indonesia cukup disegani di tingkat international. Timnas Uni Soviet ditahan 0-0 saat bertanding di Stadion Gelora Bung Karno. Era kejayaan Indonesia di masa Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto Suntoro, dan terakhir era Ronny Pattinasarani.
Kini, prestasi sepakbola Indonesia seperti terjun bebas. Indonesia yang sebelumnya mampu menghempaskan Jepang, Korea, Arab Saudi, akhirnya tak berdaya dengan tim nasional dari negara-negara tersebut, yang kemudian menjadi langganan Piala Dunia. Bahkan, Indonesia cukup sulit mengalahkan tim nasional sekelas Vietnam, Thailand, maupun Malaysia.
Di tengah prestasi sepakbola nasional yang anjlok, di Indonesia pupolaritas sepakbola justru naik dibandingkan olahraga lainnya. Globalisasi siaran liga sepakbola yang digelar negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, membuat para pemain sepakbola, dari era Klismann, Platini, Bechkam, Ronaldo, Kaka, hingga Ronney, mendapatkan fans-nya di Indonesia.
Banyak orang bermimpi Indonesia memiliki tim nasional yang tangguh, dan dapat berbicara di level international. Liga sepakbola pun disemarakkan, termasuk berbagai turnamen, yang melibatkan banyak klub di Indonesia. Agar dapat merangsang kemampuan para pemain nasional, didatangkan para pemain asing, yang kualitasnya di atas rata-rata pemain Indonesia.
Di tengah euphoria sepakbola ini, sangatlah wajar apabila sejumlah pemerintah daerah menciptakan sebuah tim sepakbola. Harapan mereka, tentunya tim yang mereka bentuk dapat merangsang prestasi tim nasional, selain itu memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya, sehingga lahir semangat juang untuk mendorong pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia.
Pemerintah Sumatra Selatan di bawah kepemimpinan Syahrial Oesman, tampaknya peduli dengan persoalan ini. Tahun 2004, Syahrial Oesman, mengakusisi sebuah klub yang prestasinya menurun di Liga Indonesia dan mengalami krisis keuangan, yakni Persijatim Solo. Pemerintah Sumatra Selatan membelinya sebesar Rp6 miliar. Tahun 2005, Persijatim Sriwijaya FC, nyaris melorot dari divisi utama. Tapi, tahun 2006, setelah namanya menjadi Sriwijaya FC, prestasinya menjanjikan, masuk 10 besar. Lalu, memasuki tahun ketiga, 2007, Sriwijaya FC langsung melejit, yakni meraih juara Piala Copa Dji Sam Soe dan Liga Indonesia. Sebuah prestasi yang belum pernah diraih semua tim yang ada di Indonesia!
Prestasi Sriwijaya FC tersebut merupakan prestasi yang kali pertama dirasakan masyarakat Sumatra Selatan dalam sepakbola. Sebelumnya di Palembang pernah bercongkol klub Kramayudha Tiga Berlian. Tapi, mungkin klub ini saat pindah markas ke Palembang, prestasinya sudah menonjol, sehingga antusias masyarakat tidak sebesar terhadap Sriwijaya FC. Tepatnya, proses prestasi Sriwijaya berjalan bersama masyarakat Sumatra Selatan.
Lalu, banyak orang mencibir prestasi Sriwijaya FC. Misalnya menyebut Sriwijaya FC tidak akan berprestasi sehebat itu kalau tidak ada pemain asing. Cibiran ini menurut saya tidak muncul, bila mereka mengenal sejarah klub-klub besar di dunia, khususnya di Eropa. Para pemain asing dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia, kini betaburan di klub-klub besar di Eropa, seperti Liverpool, AC Milan, Bayern Munchen, Real Madrid, atau Arsenal.
Belum lagi kalau melihat sejarah, bangsa Indonesia ini merupakan kumpulan berbagai etnis atau bangsa yang ada di Asia maupun belahan dunia lainnya. Tidak ada yang asli Indonesia. Mungkin, yang dimaksud para pengkritik itu adalah para pemain yang ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) Sumatra Selatan.
Di sisi lain, saat ini berbagai bangsa di dunia, seakan sepakat sepakbola merupakan wadah komunikasi antarbangsa. Sehingga sepakbola yang sebelumnya merupakan olahraga barbar menjadi olahraga pemersatu, penyebar persaudaraan dan perdamaian. Kalau terus dihembuskan pemain asing dan nonasing, saya khawatir sepakbola di Sumatra Selatan akan menghidupkan kelompok ultranasionalis seperti Neo-Nazi yang menyusupi sporter sepakbola di Jerman. Memang, sebuah klub harus melahirkan para pemain lokal yang andal, sebagai kebutuhan daerah maupun nasional. Namun, tampaknya tuntutan terhadap Sriwijaya FC masih terlalu dini. Bila klub ini telah berusia 5 tahun, mungkin tuntutan itu sudah pantas diajukan.
Terakhir, meskipun belum ditemukannya catatan mengenai olahraga Tsu chu yang dimainkan masyarakat Palembang, saya berspekulasi bangsa Tiongkok telah memperkenalkan olahraga tersebut pada masyarakat Palembang, ketika kerajaan Sriwijaya menjadi tujuan utama bangsa Tiongkok ke kawasan selatan Asia. Bila permainan sepak takraw dijadikan cikal sepakbola, tampaknya masyarakat Palembang—baca Melayu—telah mengenal lama sepakbola.
DI balik uraian di atas, saya mendapatkan sesuatu yang unik dari prestasi Sriwijaya FC. Yang mana, semua prestasinya memberikan tanda angka 3.
Memasuki usia 3 tahun atau 63 tahun berdirinya Republik Indonesia, Sriwijaya FC meraih Piala Copa Dji Sam Soe ke-3. Lalu, Ketua Umum Sriwijaya FC yakni Syahrial Oesman merupakan gubernur Sumatra Selatan ke-13, sementara Sriwijaya FC meraih juara Liga Indonesia ke-13. Syahrial Oesman sendiri berumur 53 tahun.
Keberhasilan Sriwijaya FC meraih Piala Liga Indonesia dan Piala Copa Dji Sam Soe melahirkan 3 kejutan. Pertama, Sriwijaya FC merupakan klub pertama yang mampu menggabungkan dua piala bergengsi di Indonesia itu. Kedua, pelatih Rahmad Darmawan, merupakan pelatih pertama yang merasakan nikmatnya Piala Liga Indonesia dari klub yang berbeda, yakni Persipura Jayapura dan Sriwijaya FC. Ketiga, Zah Rahan menjadi pemain asing pertama yang menerima penghargaan sebagai pemain terbaik Liga Indonesia.
Dan, saat mengikuti Liga Indonesia tahun 2005, di Sumatra Selatan masih terdiri 13 kabupaten dan kota. Lebih jauhnya, prestasi Sriwijaya FC menandai umur peradaban dunia yang memasuki milenia ke-3 atau 13 abad setelah kelahiran kerajaan Sriwijaya.
Misteri angka 3 itu, menurut saya sebuah pertanda baik bagi masyarakat Sumatra Selatan. Sama seperti bangsa Eropa yang kali pertama memasuki era kebangkitan, yakni masa revolusi industri, sejalan dengan perkembangan dan prestasi sepakbolanya.
Bukan tidak mungkin, Sriwijaya FC mendorong sepakbola sebagai peyumbang pertumbuhan ekonomi bagi Sumatra Selatan, seperti halnya klub-klub sepakbola di Eropa dan Amerika Latin. Selain itu, sebagai penanda semangat dan kepercayaan diri masyarakat Sumatra Selatan dalam membangun daerah yang kaya dengan sumber energi dan pangan ini. Target utamanya, menjadikan Sumatra Selatan sebagai lumbung pesepakbola andal. [*] Dimuat majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir, edisi April 2008

Narasi Manipulasi Tanah Lahat








T. WIJAYA
Sambil Latihan Tempur, Yon Zipur Pun Menggusur

PERUSAHAN perkebunan kelapa sawit PT Artha Prigel (PT AP)termasuk salah satu perusahaan yang menyebabkan sedikitnya munculnya 140kasus pertanahan di Sumatera Selatan (Sumsel). Setidaknya itu yang ada dalamdata Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang.
Bermodalkan dua surat dari Gubernur Sumsel Ramli Hasan Basri (dua periode:1988-1993 dan 1993-1998), bertanggal 2 Juni 1993 tentang izin pencadanganlahan dan 24 Juni 1993 tentang izin lokasi, perusahaan yang termasuk dalamResat Salim Aceh Group itu mendapatkan lahan seluas 5 ribu hektare.Akibatnya, lahan seluas 1.735 hektare milik 700 kepala keluarga (KK) di DesaTalangakar, Karangendah, Pagarbatu, Talang Sejemput, Padanglengkuas, dan Pulaupinang--semuanya ada di Kabupaten Lahat--digusur begitu saja tanpaterlebih dahulu bermusyawarah dengan para petani.
Padahal, berdasarkan surat dari Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Sumsel Djulkif Siregar, 20 September 1993, penggusuran itu hanya diperbolehkanuntuk tanah negara dan berupa alang-alang dan semak belukar. Bila ada lahanpetani di lokasi konsesi, harus dilakukan inclave jika mereka menolakdigusur. Penggusuran yang dilakukan sejak awal Desember 1994 itu tentu sajamendapat reaksi dari para petani. Mereka melakukan, misalnya, penghadangandatangnya buldoser ke lahan mereka. Namun, usaha mereka sia-sia lantaranratusan anggota ABRI dari Batalyon Zeni Tempur 12 Komando Daerah Militer(Yon Zipur 12 Kodam) II Sriwijaya melakukan latihan militer di lokasi lahanyang akan digusur. Selain itu, buldoser-buldoser merobohkan ribuan pohonkaret, kopi, dan tanaman produktifnya lainnya, dan itu dilakukan pada malamhari, pada saat petani beristirahat di rumah.
Karena tidak tahu harus mengadu ke mana, para petani akhirnya diam saja. Duabulan kemudian, saat buldoser-buldoser itu turut menggusur makam puyang(nenek moyang), para petani di enam desa tersebut tak dapat lagi menahanemosi. Mereka protes dan menghadang lajunya buldoser-buldoser. Mereka jugamenduduki base camp perusahaan dan berhadapan dengan ratusan aparat militerdan polisi.
Pemerintah Daerah (Pemda) Lahat akhirnya turun tangan. Bupati Lahat Solichin Daud (1993-1998) mengeluarkan surat kepada Artha Prigel, yang isinyamemerintahkan agar pihak perusahaan itu meng-inclave areal persawahan,menginventerasisasi tanam tumbuh, dan meng-inclave makam atau perkuburanpuyang.
Surat itu memang kemudian mampu meredam emosi para petani. Hanya sebatasitu. Nyatanya, hingga saat ini perusahaan tersebut tidak mengindahkan satupun dari tiga perintah Bupati. Sayangnya, Bupati Daud pun tidak bereaksihingga masa jabatannya habis, November 1998.
Kecuali tuntutan petani agak mereda, setelah turun surat itu, perusahaanbersangkutan hanya memberikan uang yang disebutkan sebagai ganti rugi kepadapara petani dengan perhitungan setiap hektare lahan dihargai Rp75 ribu.

Isu Kristenisasi
Tapi, keadaan itu tak berlangsung lama. Para petani kembali menuntut agarlahan adat yang telah mereka kelola selama puluhan tahun itu dikembalikanlagi. "Tanah adat itu tidak dapat dinilai dengan uang sebesar apa pun. Kamihanya ingin tanah itu dikembalikan," kata Kepala Desa (Kades) Padanglengkuas, Achmad Rifai Ya'cub, 28 Desember 1998.
Pada 15 Desember, ratusan warga menduduki base camp PT AP. Massa yang sudahmembawa berbagai senjata tajam itu kembali dihadapkan dengan ratusan aparatmiliter dan polisi yang menjaga infrastruktur perusahaan.
Keputusan pun diambil. Mereka berunding dengan pihak perusahaan, disaksikanBupati Lahat (yang baru) Harunata, 21 Desember 1998, di Pemda Lahat. PT APyang dipimpin Uuh Subhi Sidiek itu tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Tuntutan para petani agar lahan mereka dikembalikan dijawab oleh EstateManager (EM) PT AP, Kiswan Prihanto, dengan tiga jawaban, yakni pertama,perusahaan tidak mungkin menambah ganti rugi; kedua, para petani akandijadikan plasma apabila lahan yang masih mereka miliki diserahkan kepadaperusahaan; dan ketiga, lahan yang sudah ditanami kelapa sawit tidak mungkindiberikan kepada petani karena sudah menjadi kebun inti.
Selain Bupati Lahat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lahat,Muhammad Sohid, dan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Lahat, Tajuddin,dan para petani tetap kecewa. Sekian jam setelah pertemuan itu, ratusanwarga lantas mendatangi base camp perusahaan. Mereka lalu membakar meskaryawan berpintu tujuh dan merusak ratusan bibit kelapa sawit yang siapditanam. Sekian jam kemudian karyawan dan para pimpinan lapangan perusahaanminggat ke Jambi. Sepekan kemudian, kuasa hukum perusahaan Amin Kias, S.H.,dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lahat--tak ada kaitannya dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)--mengumumkan kerugian perusahaan sebesar Rp250 juta.
Aksi yang dikatakan oleh Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Lahat Letkol(Pol) Tamanihe Pontolumiu sebagai aksi spontan ini justru dikatakan olehKades Padanglengkuas, Achmad Rifai Ya'cub, sebagai aksi yang terkesandirekayasa oleh pihak tertentu. "Ada orang-orang yang memprovokasi warga.Apalagi, sebelum peristiwa para karyawan telah mengemasi barang-barangnya dibase camp," kata Ya’cub yang tidak dapat mengindentifikasi orang yangmemprovokasi aksi pembakaran itu.
Sebab, setelah peristiwa itu, tanda positif perundingan warga denganperusahaan malah kian menjauh. Bupati Lahat saat dihubungi hanya menjawabakan membuat tim untuk melakukan penelitian soal ini. "Kami akan membentuktim yang akan turun ke lapangan," katanya pada 31 Desember 1998. Sedangkankuasa hukum Kias akan melakukan tuntutan hukum terhadap para petani atasperistiwa tersebut. "Setelah saya bertemu dengan Pak Uuh, diputuskan PTArtha Prigel akan menuntut mereka yang telah membakar dan merusak basecamp," katanya.
Pernyataan kuasa hukum perusahaan itu ditanggapi LBH Palembang. "Itupernyataan ngaco. Sebelum mereka menuntut rakyat, terlebih dahulu merekadibawa ke muka hukum karena pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukanterhadap petani," kata Nurkholis, S.H., dari LBH Palembang. "Kami akanmendampingi para petani dari ancaman itu," sambungnya.
Kini, penghasilan para petani itu anjlok atau sama sekali hilang.Penghasilan puluhan juta setiap tahun dari berkebun kopi, karet, sertatanaman produktif lainnya seperti durian, jengkol, cempedak, jadi lenyap.Yang diberikan perusahaan kepada mereka kemudian adalah pekerjaan sebagaiburuh di perkebunan kelapa sawitnya dengan gaji Rp5.800 per hari, tanpamakan dan ongkos.
Selain itu, akibat pihak perusahaan menabur racun babi di lokasi perkebunandan tidak memasang pagar sebagai batas kebun, puluhan ekor sapi peliharaanpara petani mati keracunan. "Saat kami laporkan kematian sapi-sapi itu,pihak perusahaan diam saja," kata Zainal Abidin, warga Pagarbatu.
Saat memberikan ganti rugi terhadap para petani pun mereka memalsu tandatangan petani. "Masa warga saya yang buta huruf dapat membuat dua tandatangan?" tanya Ya’cub. Dan jumlah petani yanag diganti rugi pun terhitungfiktif. "Bahkan ada karyawan perusahaan yang disebutkan sebagai warga desakami. Makanya, saya menolak menandatangani laporan mereka," kata Ya’cublagi. Kias kembali membantah. Menurutnya, keterangan kades itu mengada-ada.
Nasib Nurdiana, S.H., warga Lahat yang ditunjuk sejumlah petani untukmemperjuangkan haknya, sangat tragis. Perempuan ini menjadi korban darikonflik yang kemudian muncul di antara sesama petani. Nurdiana, yangberagama Nasrani, agama minoritas di Lahat, diisukan akan melakukankritenisasi terhadap para petani yang haknya ia perjuangkan. Akibatnya,beberapa petani yang termakan isu tersebut, pada pertengahan 1996,mengeroyok Nurdiana. Mereka memukulinya hingga tulang pinggangnya retak.
Ada yang menduga, pengeroyokan terhadap Nurdiana ini adalah bagian darirekayasa perusahaan. "Saya juga diisukan memotong uang yang diberikanperusahaan kepada warga," kata Ya’cub lagi. Kias membantah bahwa isutersebut sengaja diciptakan perusahaan. "Dia itu tidak normal. Agama sajatidak jelas. Jangan dipercayalah omongan dia," tukasnya.
Langkah Nurdiana lainnya adalah juga mengirim surat pengaduan ke berbagaipihak, termasuk mengajak warga mengirim surat kepada Panglima ABRI (saatitu) Jenderal Feisal Tandjung. Akibatnya, ia dan Ya’cub sering menerimateror melalui telepon. "Jangan lagi mengirim surat ke Pangab kalau tidak maumenerima akibatnya," katanya menirukan ancaman itu. ***
(Palembang, 7 Januari 1999. Narasi ini saya tulis ketika menjadi wartawan Lampung Post, dan peserta Workshop Liputan Politik LP3Y)

Jumat, 06 Juni 2008

Esai Gus Dur vs Munarman








T. WIJAYA
Leluhur Gus Dur & Munarman Sama

ABDURACHMAN Wahid atau Gus Dur adalah seorang ulama, cendikiawan muslim, dan politikus. Munarman adalah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi aktifis organisasi nonpemerintah, lantas menjadi aktifis Islam fundamentalis. Sejarah yang berbeda. Tetapi, keduanya terlibat perdebatan mengenai Ahmadiyah. Yang satu membela, yang satunya mengecam. Tahukah Anda, keduanya sama-sama keturunan Putri Campa.

Pernyataan Gus Dur masih merupakan keturunan Putri Campa, disampaikan mantan presiden Indonesia itu beberapa waktu lalu.

Siapa Putri Campa? Kisahnya bermula dari adipati Majapahit yang menjadi pemimpin Palembang—Palembang Lamo—yakni Ario Damar. Ario Damar mendirikan kerajaan Palembang. Adipati Ario Damar berkuasa antara tahun 1455-1486. Lantaran banyak rakyat beragama Islam, Adipati Ario Damar memeluk agama Islam. Namanya berubah menjadi Ario Abdilah atau Ario Dillah.

Suatu hari, Ario Dillah mendapat hadiah perempuan dari Prabu Kertabumi Brawijaya V yakni ayahnya sendiri. Perempuan itu bernama Putri Champa, muslim dan beretnis Tionghoa-Melayu, yang sebelumnya menetap di Palembang. Putri Campa diceraikan Prabu Kertabumi Brawijaya V, lantaran keluarga besar kerajaan Majapahit tidak mau ada yang beragama Islam di lingkungan kerajaan.

Saat dibawa kembali ke Palembang, Putri Champa tengah mengandung. Setelah Putri Champa melahirkan anaknya, baru Ario Dillah menjadikannya istri. Anak yang dilahirkan Putri Champa dari suaminya Prabu Kertabumi Brawijaya V adalah Raden Hasan, yang nantinya menjadi ulama dan pemimpin terkenal bernama Raden Fatah. Lalu, Putri Champa dan Ario Damar memiliki anak bernama Raden Husin atau yang dikenal sebagai Raden Kusen.

Raden Hasan dan Raden Husin dibesarkan Ario Dillah dan Puteri Champa di istananya di Palembang Lamo yang dinamakan Candi Ing Laras, dengan pendidikan Islam.

Setelah Ario Dillah wafat, Palembang tidak memiliki pemimpin hingga tahun 1486. Lalu, keluarga Ario Dillah, termasuk Raden Hasan dan Raden Husin hijrah ke Jawa. Mereka ditampung Raden Rahmad atau Sunan Ampel. Di sana mereka memperdalam ajaran Islam. Sunan Ampel sendiri masih sepupu dari Cheng Ho, laksamana dari Tiongkok yang mampu membersihkan Palembang dari perompak di awal abad ke-15. Selanjutnya di Jawa, Raden Hasan menjadi ulama terkenal. Dia kemudian menjadi mantu dari Sunan Ampel, dan diberi gelar Raden Fatah oleh Sunan Ampel.

Pada tahun 1481, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dia didukung kekuatan dari berbagai daerah di Jawa, yang sebelumnya dikuasai Majapahit, seperti Tuban, Gresik, dan Jepara.

Pada masanya, Kerajaan Demak menjadi pusat niaga di Jawa pada abad ke-15. Gelar Raden Fatah setelah memimpin Demak adalah Senapati Jimbun Ngabdu‘r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata‘Gama. Tahun 1518 Raden Fatah wafat, dan digantikan Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor, putranya.Tahun 1521, Pati-Unus wafat. Tahta kekuasaan diserahkan kepada Pangeran Trenggono, adik Pati-Unus. Dia meninggal tahun 1546.

Nah, setelah itu, Kerajaan Demak goyang, sebab sejumlah saudara Pangeran Trenggono dan Pati-Unus ingin berkuasa, seperti Pangeran Seda ing Lepen. Keinginan tersebut ditentang Pangeran Prawata, anak Pangeran Trenggono. Terjadi perebutan kekuasaan hingga terjadi pertumpahan darah antarkeluarga.

Pangeran Seda ing Lepen dibunuh Pangeran Prawata. Selanjutnya Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Lalu, menantu Raden Trenggono, bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Pertumpahan darah terus berlanjut.

Tahun 1549, Arya Penangsang dibunuh Adiwijaya atau Jaka Tingkir, menantu Pangeran Trenggono, yang saat itu sebagai Adipati Kerajaan Pajang. Selanjutnya, Jaka Tingkir memindahkan Keraton Demak ke Pajang. Berakhirlah Kerajaan Demak.

Sewaktu Kerajaan Pajang menyerang Demak, sekitar 24 keluarga Raden Fatah lari ke daerah Timur pulau Jawa.Nah, sebagian keluarga Raden Fatah ini bertahan di Jawa. Keluarga yang bertahan ini yang kemudian melahirkan leluhur Gus Dur. Sementara yang lari ke Palembang, dipimpin Ki Gede Sedo ing Lautan, merupakan leluhur Munarman.

Jadi, sebenarnya dasar ilmu ke-Islam-an yang dimiliki Gus Dur dan Munarman sebenarnya sama. Sama-sama dari satu puyang—nenek moyang--yakni Raden Fatah. Lalu, mengapa mereka berbeda dalam memandang Ahmadiyah? Mungkin terlalu naif mempertanyakan ini dengan kesamaan luluhur itu. Tetapi, kesamaan ini bisa saja menjadi awal sebuah dialog sehingga konflik mengenai Ahmadiyah ini tidak memicu perpecahan pada umat Islam. ***

Kamis, 05 Juni 2008

Esai Mencari Sahabat Rasul








T. WIJAYA
Mencari Sahabat Rasul

Siapa berani berkata Sukarno tidak pernah bersalah?
Siapa berani berkata Gandhi tidak pernah bersalah?
Siapa berani berkata Mao Tje Tung tidak pernah bersalah?
Pernah bersalah...
Tapi, Nabi, Rasul tidak pernah bersalah....


Demikian potongan pidato Bung Karno mengenai sosok Muhammad saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di awal 1960-an. Muhammad adalah sosok manusia sempurna. Manusia pilihan Allah.

Namun, mengapa hari ini waktu kita lebih banyak dihabiskan membicarakan Pemilu 2009 atau calon presiden, bukan merenungkan eksistensi maupun pesan dari Muhammad?

Tak ada politikus muslim berani menjawabnya. Semuanya menangis di malam Maulid Nabi. Menyesali diri. Lalu, mulut mereka sibuk memuji nama Allah dan Muhammad. Tubuh mereka melayang. Terbang. Kedua kaki yang sebelumnya “semutan” terasa lepas dari tubuh.

Betul-betul malam yang mengharukan. Kematian terasa begitu dekat. Harta begitu tak berarti. Korupsi begitu memalukan.

Mereka seperti mengamini pernyataan Bung Karno, 44 tahun lalu, yang mengatakan Bung Karno pernah bersalah, Gandhi pernah bersalah, sebab mereka manusia biasa. Tidak seperti Muhammad, yang merupakan manusia pilihan Allah.

PAGI ini, seharusnya kesadaran itu terus bertahan. Seharusnya. Ternyata, para politikus itu kembali membicarakan soal Pemilu 2009 dan calon presiden. Mereka membicarakan siapa calon presiden yang cocok, dan partai politik apa yang akan menjadi lawan yang tangguh.

Saat ditanya apa kaitan calon presiden Indonesia dengan nabi Muhammad? Mereka menjawab “kita butuh presiden seperti sahabat rasul”. Sahabat rasul yang jujur seperti Abubakar, yang cerdas seperti Syaidina Ali, yang memakmurkan seperti Usman, yang membangun karakter seperti Umar.

Benarkah? Ada yang pernah bilang, Indonesia sudah pernah dipimpin mereka yang mirip para sahabat Muhammad. Soekarno itu mirip Umar, BJ. Habibie itu mirip Syaidina Ali, Soeharto itu mirip Usman. Jadi, kita sekarang membutuhkan pemimpin seperti Abubakar. Pemimpin yang jujur.

Lalu, siapakah calon presiden Indonesia yang jujur seperti Abubakar? Yang berani mengatakan Indonesia ini miskin, yang berani mengatakan dirinya pernah melakukan kesalahan, yang berani mengakui dirinya manusia biasa. Entahlah. Sebab semuanya mengatakan dirinya paling bersih, paling benar, dan paling jujur, seperti Muhammad, meskipun rasul itu selalu merasa hina di hadapan Allah. * Dimuat Deticom, Maret 2008

Esai Sumbu Pendek








T. WIJAYA
Sumbu Pendek

SEJAK tujuh tahun lalu saya mendengar istilah ”sumbu pendek” dari sejumlah kawan-kawan di Jakarta. Artinya, gampang marah, gampang emosi.

Pada saat memimpin Kontras di Jakarta, oleh sejumlah aktifis di Jakarta, Munarman dinilai sebagai orang yang ”bersumbu pendek” alias gampang emosi atau marah. Jadi, pernyataan itu memberi kesan bahwa Munarman adalah orang yang gampang emosional.

Munarman yang kini selaku Panglima Komando Laskar Islam, menjadi tersangka dalam kasus bentrokan di Monas, Jakarta, 1 Juni 2008 lalu.

Sebetulnya, jika kita mengenal watak atau karakter orang Sumatra Selatan, karakter Munarman itu biasa saja, atau karakter umumnya wong Sumatra Selatan.

Bahkan, saya maupun kawan-kawan Palembang lainnya, sempat dinilai kawan-kawan di Jakarta sebagai orang ”bersumbu pendek”. Lebih jauhnya, sejumlah aktor politik seperti Taufiq Kiemas pun dinilai sebagai orang ”bersumbu pendek”.

Mengapa gampang marah? Menurut saya, bicara dengan nada tinggi dan penuh tekanan merupakan karakter orang Sumsel dalam mengungkapkan sesuatu yang diyakininya. Hampir setiap hari, di Sumsel kita akan menemukan orang Sumsel bicara seperti itu dalam mengungkapkan sebuah keyakinan. Tidak berbisik-bisik atau mengekspresikan wajah tidak senang.

Tetapi, jarang sekali ditemukan tindak kekerasan saat mereka berdebat soal keyakinan. Namun, sebagian muslim di Sumatra Selatan, akan marah besar jika Tuhan atau nabi mereka dibilang dengan kata-kata kotor. Kalaupun ditemukan tindak kekerasan dari sebuah perdebatan, sifatnya hanya satu-dua kasus. Ini sama seperti yang terjadi di bagian lain di Indonesia.

Lalu, jika karakter ini dikaitkan dengan tindak kekerasan, saya pikir menjadi sebuah perdebatan yang panjang. Kita akan bingung bila banyak bapak atau ibu di Sumatra Selatan, berteriak keras-keras dan mengeluarkan kata-kata kotor terhadap anaknya yang minta dibelikan sepatu baru. Lalu, beberapa menit kemudian, si orangtua akan memberikan sejumlah uang kepada si anak yang baru dimarahi. Besoknya, kejadian itu terlupakan.

Bagaimana dengan sikap Munarman seperti yang tergambar dalam foto saat bentrokan di Monas? Saya pikir, bisa saja itu sikap kepedulian Munarman pada lelaki bekaos hitam itu. Kalau betul-betul marah, lelaki itu mungkin langsung dipukul Munarman, bukan ditarik kaosnya. Entahlah.

Yang jelas, sejak kejadian di Monas itu, telepon genggam saya tak henti dikontak maupun dikirim SMS dari sejumlah kawan dari beberapa daerah di Indonesia. Sebagian mengomentari soal karakter Munarman yang “sumbu pendek” itu.

Jadi, benar kata orang bijak itu, sesuatu yang baik kalau disampaikan dengan cara yang emosial mungkin ditangkap buruk. Begitupun sebaliknya. Yang jelas, karakter wong Sumsel ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia ini memang tidak satu karakter, bhinneka karakternya.

Yang perlu diketahui, meskipun watak wong Sumatra Selatan yang “sumbu pendek” itu, tapi sejak puluhan abad tidak pernah terjadi kerusuhan antaretnis atau keyakinan. Berbagai agama atau kepercayaan tumbuh dan berkembang secara damai di Sumatra Selatan. Asal mereka saling menghargai. Bila tidak, seperti meletusnya perang kolonial Belanda dengan Kesultanan Palembang Darussalam beberapa abad lalu, akibat sejumlah tentara kolonial Belanda masuk masjid Agung menggunakan sepatu.

Bagaiamana dengan kejadian Monas? Jelas saja tindak kekerasan dalam bentuk apa pun adalah salah. Munarman selaku pimpinan massa harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Akan tetapi, perlu juga dikritisi dasar dari kekerasan itu, yakni adanya semacam pembiaran dari pemerintah adanya bentuk kekerasan tersebut. Sebab Munarman dan kawan-kawan mempesoalkan sikap pemerintah mengenai keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. ***

Rabu, 04 Juni 2008

Esai Migrasi dari Indonesia








T. WIJAYA
Migrasi Pikiran dari Indonesia

Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati
Air matanya berlinang, bak intan yang kau kenang
Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan
Kini, ibu sedang lara, merintih dan berdoa…

MENGAPA kita masih bertahan di Indonesia sampai hari ini, meskipun hidup di Indonesia tidaklah bahagia. Selain miskin, penuh kecemasan, juga nyaris tidak punya jaminan masa depan?

Seekor binatang, apa pun jenisnya, jika tempat hidupnya tidak layak lagi, misalnya tidak tersedianya makanan yang cukup, akan melakukan migrasi atau mencari tempat baru. Saat pergi, tanpa tangis dan kesedihan di wajah mereka. Tempat yang dicari adalah tempat yang menjanjikan bagi kemakmuran hidup mereka.

“Itulah bedanya manusia dengan binatang. Binatang hanya mengandalkan insting, sementara manusia punya emosi, akal, dan punya keyakinan terhadap Tuhan,” kata seseorang kepada saya malam ini.

Tapi, bukankah beranjak dari emosi, akal, dan kepercayaan terhadap Tuhan, hidup di Indonesia justru merugikan.

Secara emosi, misalnya soal rasa cinta, Indonesia yang telah kita cintai sejak lahir, tidak pernah membalasnya dengan baik. Kita selalu disodorkan dengan berbagai persoalan. Mulai dari bencana alam, korupsi, kemiskinan, tindak kekerasan, hingga kelaparan.
Secara akal, dengan kondisi yang ada saat ini, kira-kira apa yang akan kita dapatkan bagi diri kita untuk hari esok atau masa depan? Ketidakpastian. Dan, ironinya, kita justru terus melakukan reproduksi manusia untuk hidup di Indonesia .
Lalu, berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan, bukankah kita telah menyiksa diri sebagai makhluk. Kita membiarkan diri kita bodoh, miskin, dan terpancing untuk melakukan tindakan berdosa seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu, melacur, dan melakukan kekerasan terhadap orang lain, istri, bahkan anak. Apakah Tuhan rela dan maklum dengan pilihan kita ini?

PULUHAN abad lalu, nenek moyang saya tidak mampu bertahan hidup di Tiongkok dan India . Para rajanya kejam. Akibatnya nenek moyang saya lari, dan menetap di tepi sungai Musi. Di tepi sungai Musi, dia membangun rumah, mencari makan, berkeluarga, hingga meninggal dunia.

Hari ini, James Taylor dari London , meninggalkan Inggris dan menjadi warga negara Indonesia . Dia tidak tahan hidup di Inggris, yang menurutnya, sudah sangat individualistik. Berbeda dengan di Indonesia yang masih menjunjung sikap kebersamaan.

Sebelumnya, Deco, seorang pemain sepakbola asal Brasil, menjadi warga negara Portugal lantaran hanya ingin bermain di tim nasional.

MUNGKINKAH kita bertahan di Indonesia ini lantaran sikap nasionalisme? Jika itu benar, makhluk apa itu nasionalisme?

Secara umum, nasionalisme itu dimengerti sebagai sikap cinta terhadap tanah air. Rasa cinta ini diwujudkan dengan sikap membela, menjaga, dan membangun bangsa dan tanah air.

Abah saya dan teman-temannya berperang melawan Jepang dan Belanda di tahun 1940-an, merupakan wujud dari rasa cintanya terhadap tanah air. Mereka tidak takut mati. Mereka korbankan harta benda. Lalu, setelah negara Republik Indonesia berdiri, dan setelah sejumlah temannya menjadi pejabat negara atau pengusaha sukses, mereka mengeluh. Bukan bersyukur. Saya menjadi ragu sikap nasionalisme yang mereka teriakan. Saya curiga, jangan-jangan mereka berperang bukan untuk kepentingan bangsa dan tanah air, tapi semata untuk meraih sesuatu yang besar seperti menjadi pejabat atau pengusaha, yang sebelumnya dirampas Jepang dan Belanda. Ini juga sama dengan mereka yang menjadi pejabat dan pengusaha, yang lupa dengan rekan-rekan seperjuangan.

Maaf, mungkin mereka dapat diibaratkan segerombolan ikan juaro, berebut makanan bersama, tapi tidak berbagi dengan yang lain bila mendapatkan makanan. Entahlah. Saya tetap hormat dan berterimakasih dengan mereka yang mampu mengusir penjajah Jepang dan Belanda.

Hari ini, seorang teman saya, siang dan malam mencari rezeki atau berbisnis di Indonesia . Tapi, anaknya disekolahkan ke luar negeri dengan biaya yang mahal. Lalu, setiap tahun, dia dan keluarganya berlibur dengan menghamburkan uang ratusan juta rupiah di luar negeri, yang merupakan hasil bernisnis di Indonesia .

“Kau harus bangga sebagai bangsa Indonesia . Tanah air kita ini kaya dengan sumber alamnya. Apa pun bisa ditanam, seperti kata Koes Plus itu,” kata teman saya ini.

JANGAN-JANGAN kita bertahan di Indonesia ini, lantaran kita penasaran belum mendapat giliran menjadi raja, penguasa, pengusaha, atau kita melanjutkan dendam nenek moyang kita yang pernah berjaya tapi kemudian jatuh. Sekali lagi, entahlah.

Asumsi itu muncul karena hampir setiap saat kita mengeluh. Jika kita benar-benar cinta Indonesia , seharusnya kita tetap bangga dengan kemiskinan yang ada, bangga dengan kekurangan yang ada, bangga dengan ketidakpastian, bangga dengan kekacauan yang ada.

Asumsi lainnya, sebenarnya kita melakukan migrasi atau pelarian. Tapi migrasi itu baru sebatas pikiran, tidak bersama jasadnya. Yang miskin dan menderita seperti saya, melakukan migrasi pikiran ke masa nenek moyangnya yang pernah hidup makmur dan jaya, atau migrasi pikiran ke negara-negara maju dan makmur seperti Eropa, Amerika, dan Arab Saudi.

Migrasi pikiran juga dialami mereka yang sukses sebagai warga negara Indonesia . Seperti yakin lembaga pendidikan terbaik berada di Amerika Serikat, souvenir terbaik buatan Tiongkok, mobil terbaik buatan Jerman, pakaian terindah dari Italia, keju terenak dari Prancis, ulama yang baik dari Arab Saudi, pastur yang hebat dari Italia, hingga pelatih sepakbola terbaik dari negara-negara Eropa dan Amerika Latin.

Jadi, berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, saya meragukan semua rakyat Indonesia masih memiliki rasa nasionalisme. Guna membuktikannya, mari kita buat penawaran bagi rakyat Indonesia untuk memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia atau tidak? Lalu, bagi yang miskin, akan diberi biaya transportasi dan biaya hidup sekian bulan di negara pilihannya, bila memutuskan pindah dari Indonesia .
Jika itu dilakukan, kita akan mendapatkan rakyat Indonesia yang benar-benar menyintai Indonesia . Lalu, guna mendapatkan sumber daya manusia yang unggul, kita membuka peluang bagi orang Eropa, Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, menjadi warga negara Indonesia. Bagaimana? Entahlah. [*] Dimuat Sriwijaya Post, Berita Pagi, dan Detikcom, April 2008

Esai Pindahkan Ibukota Palembang








T. WIJAYA
Pindahkan Ibukota ke Palembang

BENCANA banjir yang sering melanda DKI Jakarta, yang berdampak lumpuhnya transportasi sehingga menyebabkan aktifitas pemerintahan dan bisnis terhenti atau terganggu, serta ancaman amblasnya tanah kota tersebut, membuktikan DKI Jakarta sudah tidak pantas menjadi ibukota Indonesia, sehingga ibukota negara ini harus pindah ke daerah lain. Jika sepakat, kira-kira ke mana ibukota itu dipindahkan? Saya menyarankan ke Palembang. Lo?



Beberapa waktu lalu, saya menulis dalam sebuah artikel mengapa ibukota Indonesia sebaiknya pindah ke Palembang . Namun, alasan saya itu tidak menggubris para politisi yang memiliki gagasan memindahkan ibukota Indonesia ke Bogor atau ke Kalimantan , seperti di Palangkarya atau Kutai.


Palembang merupakan kota tertua di Indonesia . Dia memiliki sejarah panjang dalam sejarah nusantara, yang merupakan wilayah kekuasaan Republik Indonesia . Sebagai kota tua, berumur berkisar 13 abad, Palembang telah membuktikan diri sebagai kawasan yang layak dijadikan pusat kekuasaan. Selama 8 abad, sebelum VOC dan kolonial Belanda menciptakan Jakarta, Palembang membuktikan diri sebagai kota yang paling ramai dan tersibuk di nusantara, dampak dijadikannya Palembang sebagai ibukota kerajaan Sriwijaya.


Berdasarkan catatan sejarah, di Palembang belum pernah terjadi bencana alam yang menyebabkan kota Palembang hancur, seperti gempa bumi, gunung meletus, atau bencana banjir seperti dialami DKI Jakarta. Itu tebukti sejak kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Islam Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam, hingga saat ini. Meskipun banjir mulai melanda Palembang dalam 10 tahun terakhir, tapi itu tidak separah yang dialami Jakarta . Banjir ini sebagai akibat dari pembangunan yang tidak memperhatikan daerah resapan air, atau terjadi penimbunan anak sungai Musi, yang dilakukan sejak kolonial Belanda pada awal abad 20.


Tapi, yang sangat penting, sumber daya alam yang berada di sekitar Palembang sangat mendukung, baik sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan energi. Selain di wilayah Sumatra Selatan yang kaya dengan sumber energi seperti gas, minyak bumi, batubara, juga hasil hutan, perkebunan, juga melimpah. Belum lagi sumber ini didukung oleh wilayah lain yang sangat dekat Sumatra Selatan, seperti Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Bangka-Belitung.


Di sisi lain, sejarah membuktikan di Palembang pembauran suku-bangsa di nusantara maupun dunia, berlangsung sejak kota itu didirikan. Bahkan, belum pernah terjadi konflik antaretnis atau suku yang cukup luas di Palembang . Banyak sekali ditemukan di Palembang , seseorang memiliki garis keturunan yang merupakan pembauran suku-bangsa. Misalnya saya yang memiliki puyang atau nenek moyang dari Tiongkok, Arab, Jawa, dan Melayu.


Bahkan, di daerah pinggiran Palembang, terdapat banyak dusun atau kampung yang warganya merupakan keturunan etnis dari berbagai daerah di nusantara, seperti Jawa, Bugis, Melayu, Minangkabau, hingga India, Arab, dan Tionghoa.


Di sisi lain, sampai saat ini berbagai komunitas kepercayaan, seperti Islam, Katolik, Hindu, Budha, Protestan, dan lainnya, hidup tenang dan damai. Tidak pernah terjadi pertentangan yang menjurus kekerasan. Gereja, pura, klenteng, masjid, berdiri dengan tenangnya, tanpa harus cemas diteror bom atau lainnya.


Kalaupun ada yang mencatat terjadinya kerusuhan massa pada Mei 1998 lalu, sebenarnya bukan konflik antaretnis, tapi reaksi kemarahan masyarakat miskin terhadap kelompok orang kaya.


Lalu, mengenai penilaian Palembang merupakan daerah tidak aman atau banyak terjadi tindak kriminalitas, itu pun merupakan ekses dari posisinya sebagai kota besar di Indonesia . Artinya Palembang tidak berbeda dengan DKI Jakarta, Medan , Bandung , Surabaya , atau Makasar, yang tingkat kriminalitasnya tinggi.

MEMANG, secara geografis Palembang tidak terlalu strategis dibandingkan Palangkarya atau Kutai. Tapi, itu mungkin menjadi pertimbangan berikutnya, jika di daerah lain tidak se-pluralitas dan aman dari bencana alam seperti Palembang .

Saya khawatir, jika ibukota dipindahkan ke Bogor , persoalan yang dihadapi DKI Jakarta, mengenai lingkungan hidup, akan kembali terjadi. Sementara di Kalimantan, yang saya cemaskan adalah proses pembauran suku-bangsa. Seperti konflik antara pendatang [Madura] dengan penduduk asli [Dayak], yang masih kuat dalam ingatan kita.

SECARA infrastruktur Palembang memang tidak selengkap DKI Jakarta. Tapi, itu mungkin tinggal disentuh sedikit lagi. Palembang telah memiliki bandara international Sultan Mahmud Badaruddin II, memiliki [cikal] pelabuhan international Tanjung Api-Api, serta fasilitas publik maupun bisnis yang cukup baik, seperti hotel, sarana olahraga, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, lembaga pendidikan, maupun wilayah atau lahan yang dapat dijadikan kawasan pengembangan kota, baik yang masuk wilayah Palembang, atau dari kabupaten terdekat seperti Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Ilir.


Khusus transportasi, Palembang selain memiliki fasilitas darat, udara, laut, juga sungai. Sungai Musi, sejak ratusan tahun lalu hingga hari ini, masih digunakan secara baik oleh masyarakat maupun pemerintah.


Artinya, persiapan Palembang sebagai ibukota Indonesia tinggal memoles, bukan membangun dari nol. Hanya, yang harus diperhatikan, pengembangan kota yang harus memperhatikan lingkungan hidup. Kawasan resapan air seperti rawa dan sungai, jangan lagi dijadikan lokasi pembangunan. Lokasi pembangunan betul-betul dikembangkan pada wilayah kering, atau tidak melakukan penimbunan.


Bila Palembang dijadikan ibukota Indonesia , sebenarnya bukan suatu yang mengejutkan. Sejak dahulu, sebelum Indonesia berdiri, bangsa Tiongkok, Arab, Afrika, maupun Eropa, telah mengenal Palembang . Dampak dari hubungan politik dan ekonomi, yang dijalankan kerajaan Sriwijaya, kerajaan Islam Palembang, maupun Kesultanan Palembang Darussalam. Sehingga tidak heran, sebagian warga Malaysia , Thailand selatan, Filipina selatan, Srilangka, maupun di Afrika timur, mengaku berasal dari Palembang . [*]

Esai Dendam Parameswara







T. WIJAYA
Dendam Parameswara

SEJAK 5 abad lalu, Parameswara, seorang pangeran, terusir dari Palembang. Dia tersusir lantaran Palembang diserbu para perompak dari Kanton, Tiongkok, yang didukung Majapahit. Tentunya, saat itu hati Parameswara sangat dongkol. Mungkinkah kedongkolan itu terus menyala di dada keturunannya yang kini membangun Malaysia?

Awalnya, setelah berlari dari Palembang, Parameswara menetap di pulau Tumasik. Dia membangun sebuah perkampungan di sana . Tak lama kemudian dia menyeberang ke Malaka, yang sebelumnya telah dikuasai kerajaan Samudera Pasai dari tangan Sriwijaya pada abad ke-13.

Dan, di Malaka dia membangun kekuatan dan menjadikan dirinya seorang raja. Selanjutnya Malaka kembali berkembang menjadi pusat perdagangan terpenting di Asia Tenggara, seperti di masa kerajaan Fukian dan kerajaan Sriwijaya. Lantaran cemas diserang kekuatan Islam yang mulai berkembang pesat di nusantara, dia pun memeluk agama Islam kemudian menikahi perempuan ningrat dari Aceh.

Selain menjadi pusat perdagangan, Malaka berkembang menjadi pusat pertemuan para penyiar Islam di nusantara. Baik yang berasal Persia , Turki, Arab, Tiongkok, maupun Gujarat . Ini terbukti ketika Raden Fatah diminta Sunan Ampel untuk memperdalam ilmu pengetahuan Islam ke Malaka selain ke Palembang, sebelum membangun kerajaan Demak.

Melihat perkembangan Malaka yang pesat, baik sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam, plus ditambah konflik kekuasaan di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, yang terus berlangsung, Malaka menjadi tempat pelarian yang menjanjikan. Orang-orang Minangkabau, Palembang, Jawa, Bugis, Aceh, yang berlari ke Malaka kemudian membangun masyarakatnya sendiri. Mereka berkembang bersama budaya, tradisi, adat-istiadat, yang dibawa, yang kini melahirkan masyarakat Negeri Sembilan, Johor, Selangor, Kucing, atau Serawak.

Jadi, saat itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kebudayaan yang berkembang di Malaka dengan daerah lain di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi . Bahkan, apa yang berkembang di Palembang, misalnya, juga berkembang di Malaka.

Bahkan, pada abad ke-16, ketika Malaka diserang Portugis, bala tentara dari Palembang, Jambi, Jawa, dan Sulawesi, turut membantu perlawanan. Tapi, ketika para penjajah dari Eropa menguasai nusantara, kondisi Malaka dengan saudaranya, mulai berjarak. Ini lantaran Malaka dan sebagian Kalimantan dikuasai Inggris, sementara Sumatra, Jawa, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa, Bali, dikuasai Belanda. Ketika terjadi perlawanan kemerdekaan terhadap para penjajah, misi perjuangan merucut menjadi pembentukan dua negara, lantaran perbedaan bangsa yang menjajah tersebut. Maka, ketika terbentuk negara Republik Indonesia , Malaka tidak bergabung lantaran dijajah Inggris. Mereka kemudian membentuk negara sendiri yakni Malaysia . Sejak itu pula, Malaysia dan Indonesia membangun sendiri nasionalismenya, meskipun mereka lahir dari kebudayaan yang sama.

Ribut
DALAM beberapa bulan ini, terjadi keributan antara Malaysia dengan Indonesia . Pemicunya lantaran Malaysia mengklaim sejumlah karya seni yang diyakini berasal atau milik Indonesia, seperti lagu Rasa Sayange, Reok, Wayang, Songket, dan sebagainya. Gelombang protes bermunculan di sejumlah daerah di Indonesia .

Tuduhan Malaysia sebagai pencuri menjadi pemberitaan semua media massa , dan perbincangan sehari-hari. Tapi, benarkah Malaysia telah mencuri? Menurut saya Malaysia tidak mencuri. Mereka benar-benar mengakui karya seni yang berkembang di Malaysia . Persoalannya, mungkin, karya seni itu bukan lahir dan muncul di Malaysia , melainkan di sejumlah daerah di Indonesia .

Artinya, karya seni itu, dalam pengertian wilayah negara, lahir di Indonesia tapi turut berkembang di Malaysia . Dan , Malaysia menandai karya seni itu dalam wilayah perkembangan dan pengaruhnya, bukan wilayah kelahirannya. Selain itu, bukankah berdasarkan sejarah, seperti yang saya gambarkan di atas, produk budaya itu dibawa orang Indonesia ke Malaysia , dan kemudian dikembangkan menjadi kebudayaan setempat.

Saya curiga, protes sebagian rakyat Indonesia itu sebenarnya dipicu oleh peristiwa politik dan sosial sebelumnya. Sekian tahun sebelum saya lahir, tepatnya ketika Soekarno menjadi pemimpin Indonesia , awal tahun 1960-an, hubungan Indonesia-Malaysia memanas lantaran pemerintah Indonesia menuduh Malaysia sebagai antek Barat.

Saat itu Soekarno menyatakan, "Ganyang Malaysia !" Perkembangan selanjutnya, mulai tahun 1990-an, ketika sebagian besar rakyat Indonesia miskin, pilihan menjadi tenaga kerja di Malaysia merupakan jawaban atas kemiskinan tersebut.

Tetapi, ini menimbulkan persoalan, lantaran hingga hari ini, begitu banyak kasus kekerasan yang menimpa tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Di sisi lain, masyarakat Malaysia pun kesal, lantaran begitu banyaknya orang Indonesia di Malaysia yang menjadi pelaku kriminal, meskipun sebagian besar berasal dari Palembang yang diyakini sebagai tanah air puyang atau nenek moyang mereka. Lalu, perebutan sejumlah pulau di Laut Cina Selatan juga menjadi pemicu ketegangan antara Indonesia-Malaysia.

Pengaruh Luar
APAKAH betul produk kebudayaan yang berkembang di nusantara, baik di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, murni hasil dari pengolahan atau kreatifitas masyarakat setempat?

Saya meragukannya. Sebab menurut bacaan sejarah saya, mulai dari etnis, tradisi, agama, yang berkembang di nusantara, merupakan pendatang atau kiriman dari kebudayaan luar, seperti dari Persia , Arab , India , dan Tiongkok. Meskipun selanjutnya produk kebudayaan itu mengalami perubahan lantaran adanya pembauran dengan kebudayaan yang lebih dahulu berkembang di nusantara. Misalnya kesenian Wayang, yang sebelumnya sudah berkembang di India dan Tiongkok. Musik keroncong yang sebelumnya sudah berkembang di Portugis.

Mungkin, yang lebih gampang dilihat adalah produk makanan dan arsitektur. Makanan rendang, yang menjadi khas Minangkabau, sebetulnya dari tata cara memasak dan komposisi bumbunya, lebih mendekati masakan masyarakat Gujarat atau India. Pempek yang menjadi icon Palembang , juga dilihat dari cara memasak dan komposisi bumbunya lebih mendekati tradisi makanan di Tiongkok. Dari sisi arsitektur, begitu banyak bangunan, ukiran, ragam hias, yang ada di Indonesia memadukan berbagai kebudayaan luar, baik dari Persia, Arab, India, Tiongkok atau Eropa. Contohnya rumah Limas di Palembang, atau produk kain di Minangkabau, Lampung, dan Palembang.

Mungkin, contoh di atas, tidak memiliki dalil yang kuat. Tapi, jika dilihat dari perkembangan agama, hampir semua agama yang berkembang di nusantara hingga hari ini berasal dari luar, seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Lalu, bangsa Arab pemeluk pertama agama Islam, misalnya, tidak memersoalkan Islam dijadikan agama resmi Indonesia.

Di era modern, pengaruh produk budaya luar juga sangat dirasakan, seperti sepakbola, musik rock, musik pop, musik jazz, musik blues, gaya pakaian, lukisan, sastra, ilmu pengetahuan moden, ajaran terorisme, hingga makanan fast food. Dan, sekian abad nanti, kita mungkin akan mengklaim ayam goreng peniru ayam goreng dijual KFC yang dijajakan di jalanan, merupakan produk makanan khas Indonesia .

Pencuri
SEBAGAI wilayah persinggahan bisnis atau perdagangan, terutama di kawasan selat Malaka, tradisi mencuri di nusantara ini sudah berjalan sejak berabad-abad lalu. Dulu, sebagian bangsa di nusantara menjadi perompak di laut, kini menjadi pembajak produk dari luar negeri, seperti di Indonesia.

Bahkan, sebagian orang Indonesia menjadi perampok harta saudaranya sendiri. Maka, jika dimengerti sebagai pencurian, tindakan Malaysia itu merupakan cerminan bersama, sebagai bangsa nusantara. Apalagi , Malaysia itu sebenarnya miniatur Indonesia, seperti yang tergambar dalam perjalanan sejarahnya.

Namun, bila kita melihat dari sisi positifnya, tindakan Malaysia itu dapat dimengerti sebagai penyelamatan produk kebudayaan nusantara, sebelum dirampas bangsa lain, seperti kasus makanan tempe yang telah dipatenkan Jepang dan Amerika Serikat.

Pelajaran lainnya, Indonesia yang tidak memiliki Menteri Kebudayaan, ini sudah seharusnya menjaga produk kebudayaan dari sisi hukum, dan jangan terlalu sibuk memperdebatkan, menunggu, mencari seorang "raja" yang mampu menjamin sandang dan pangan secara gratis atau murah.

Di sisi lain, nasib yang dialami Indonesia ini, dalam istilah kunonya, mungkin kualat dengan puyang atau nenek moyang lantaran memakan daging saudaranya, atau mengkhianati sumpah di Bukit Siguntang—yang sangat ditakuti wong Malaysia —bahwa raja yang lalim akan ditinggalkan dan dilawan rakyatnya, atau sebaliknya rakyat yang tidak patuh dengan hukum dan norma yang ditegakkan raja akan dimusnahkan.

Terakhir, saya berharap tindakan bangsa Malaysia itu bukan mewujudkan dendam Parameswara yang sakit hati dengan Majapahit, yang terusir dari Palembang . Entahlah.[*] Dimuat harian Berita Pagi, Desember 2007